Harga properti cenderung naik setiap tahun. Penyebabnya beragam, antara lain inflasi, ketersediaan lahan menurun, suku bunga kredit meningkat, dan lain sebagainya. Namun, ada satu fenomena yang mungkin banyak dari kamu masih asing, tetapi sangat berdampak pada harga properti, yakni property bubble. Apa itu? Simak ulasan lengkapnya di bawah ini!
Sebelum membahas mengenai apa itu property bubble, mari kita bahas terlebih dahulu mengenai economic bubble atau gelembung ekonomi karena keduanya pada dasarnya mirip. Secara umum, economic bubble adalah kondisi di mana nilai barang dan jasa meningkat secara cepat. Fenomena ini pernah terjadi di Jepang, tepatnya pada sekitar tahun 1986 hingga 1991.
Akibatnya, harga saham dan properti di Jepang pada saat itu mengalami peningkatan drastis. Nah, inilah yang disebut dengan property bubble. Secara harfiah, property bubble berarti gelembung properti, yakni situasi di mana harga properti mengalami lonjakan secara signifikan. Penyebab utamanya ada dua, yaitu munculnya spekulasi dan permintaan pasar.
Kata “bubble” di sini digunakan sebagai perumpamaan atas meningkatnya nilai suatu objek yang kian melambung seperti gelembung yang membesar. Bukannya mirip seperti kasus inflasi? Jelas tidak, sebab kenaikan harga tidak terjadi secara terus-menerus. Ada saatnya nilai objek akan menyentuh titik jenuh atau gelembung akan meletus yang dikenal dengan istilah property bubble burst.
Bila sudah sampai pada titik jenuh, harga properti akan mengalami penurunan secara sedikit demi sedikit seiring dengan menurunnya tingkat permintaan pasar. Tidak ada rumus untuk bisa memprediksi kapan gelembung properti akan meledak atau berakhir, tetapi penyebabnya bisa diketahui.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kondisi property bubble di suatu negara atau wilayah. Adapun faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:
Hal paling umum yang dapat menimbulkan property bubble adalah melonjaknya permintaan pasar akan properti. Peningkatan permintaan ini terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Alhasil, harga properti pun ikut meroket. Terlebih bila tidak diiringi dengan adanya persediaan, jelas harga produk-produk properti akan makin mahal.
Selain menurunnya kondisi ekonomi suatu negara, harga saham yang anjlok juga dapat memengaruhi situasi negara. Akibatnya, harga barang dan jasa pun melonjak drastis, pun begitu dengan properti. Namun ingat, lonjakan ini tidak terjadi secara terus-menerus, melainkan secara cepat dan ada saatnya akan mencapai titik kulminasi.
Gelembung ekonomi dapat terjadi karena kondisi ekonomi suatu negara sedang mengalami likuiditas. Nah, likuiditas ini membuat masyarakat makin mudah mengajukan pinjaman dan menggunakannya untuk membeli produk-produk properti.
Hal tersebut tentu akan membuat jumlah permintaan properti ikut meningkat. Akibatnya, harga tanah, apartemen, rumah, dan produk properti lainnya juga meningkat tajam. Alhasil, terjadilah kondisi property bubbble.
Tidak sedikit orang membeli properti untuk aset investasi. Mereka yang memiliki modal banyak umumnya akan membeli banyak unit di perumahan berbeda-beda. Akibatnya, timbul fenomena gelembung properti. Tidak hanya itu, perilaku spekulan ini juga mengakibatkan munculnya ghost community (perumahan tanpa penghuni), khususnya di kompleks perumahan elite.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa milenial adalah generasi yang sulit untuk bisa punya rumah sendiri. Alasannya adalah karena daya beli mereka rendah meskipun sebenarnya mereka ingin bisa segera membeli hunian. Ditambah lagi dengan harga properti yang cenderung naik per tahun, fenomena property bubble pun makin tidak terhindarkan.
Properti adalah salah satu sumber pemasukan terbesar bagi setiap negara. Bila kondisi property bubble terjadi, dampak negatif yang ditimbulkan sangatlah masif. Di antaranya sebagai berikut:
Meletusnya gelembung properti pernah terjadi di beberapa negara dunia, seperti Amerika Serikat dan Jepang. Di AS, meletusnya property bubble pada 2008 membuat para investor menjual aset mereka dengan harga cuma-cuma karena minat pasar menurun akibat tidak wajarnya harga properti.
Fenomena meletusnya properti bubble juga mulai terlihat di Tiongkok, tepatnya di Beijing. Alasannya karena banyak pembeli properti menangguhkan pembayaran mereka kepada pihak developer. Sebab, banyak proyek properti yang belum selesai dibangun, tetapi sudah ditawarkan oleh pengembang. Lantas, apakah hal ini juga akan terjadi di Indonesia?
Melansir Kompas, harga tanah di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta bisa menyentuh angka Rp50 juta lebih per meter persegi. Sementara melansir data dari Survei Harga Properti Residensial (SHPR) BI, harga properti pada kuartal IV pada 2021 mencapai 1,47 persen (yoy). Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, ada peningkatan sekitar 0,06 persen (yoy).
Namun menurut Ali Tranghanda, Direktur Indonesia Property Watch, Indonesia belum bisa dikatakan dalam kondisi property bubble. Sektor properti Tanah Air memang sedang mengalami kenaikan dan tidak sedikit developer yang berbondong-bondong membangun banyak proyek properti.
Meski demikian, melonjaknya pertumbuhan properti di Indonesia tidak menimbulkan property bubble, melainkan over value. Di sisi lain, fundamental pasar properti di negara ini berbeda dengan negara lain. Lebih lanjut, gelembung properti hanya akan terjadi bila kebanyakan konsumen properti dalam negeri adalah para investor asing.
Saat ini, pasar properti Indonesia masih didominasi oleh konsumen lokal, yakni mencapai 98 persen. Dengan kata lain, kondisi property bubble burst dapat dipastikan tidak akan terjadi mengingat Indonesia belum mengalami tahap gelembung properti.
Property bubble memang belum terjadi di Indonesia. Namun, ada beberapa tanda-tanda yang menunjukkan bahwa suatu negara atau wilayah akan mengalami gelembung properti. Berikut tanda-tandanya:
Tingginya permintaan akan produk properti juga menjadi salah satu tanda property bubble. Saat permintaan meningkat, tetapi stok terbatas, otomatis harga akan melonjak. Bila harga sudah mahal, permintaan pasar akan menurun dan harga properti pun akan anjlok.
Bila suku bunga mengalami peningkatan, otomatis harga properti akan lebih mahal daripada biasanya. Bahkan, kredit properti pun juga akan lebih mahal karena tinggi rendahnya suku bunga mengikuti kebijakan bank sentral dan biasanya terjadi saat ada inflasi.
Mengetahui tren harga properti dari tahun ke tahun dapat digunakan untuk mengetahui apakah pasar properti masuk ke tahap property bubble atau tidak. Misalnya harga properti tahun 2023 lebih tinggi dari 2022, kemungkinan nilai properti di pasaran saat ini sudah masuk atau hampir masuk ke tahap property bubble.
Jadi, itulah penjelasan mengenai property bubble. Bila disimpulkan, property bubble adalah meningkatnya harga properti secara signifikan dalam waktu yang singkat. Kondisi ini juga menjadi penyebab utama naiknya harga properti. Berbeda dengan inflasi, property bubble akan menyentuh titik kulminasi atau meletus dan membuat harga properti anjlok secara drastis.