Pemerintah Indonesia memiliki cita-cita yang sangat mulia, salah satunya adalah mewujudkan Indonesia Emas 2045. Untuk mencapai cita-cita tersebut, tentunya seluruh lapisan masyarakat harus berkontribusi, pun begitu dengan generasi muda. Namun, generasi muda saat ini sedang diguncang masalah sosial yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak.
Masalah tersebut tak lain adalah pernikahan dini. Pemerintah memang sudah melakukan berbagai upaya guna menanggulangi masalah tersebut. Hanya saja, angka pernikahan dini di Indonesia masih tergolong tinggi. Menurut data dari UNICEF, Indonesia berada di peringkat ke-8 dunia dan ke-2 di Asia Tenggara dengan jumlah kasus pernikahan dini tertinggi, yakni mencapai 1,5 juta pada 2022.
Dampak dari kasus pernikahan dini tak bisa dianggap sebelah mata. Bukan hanya berdampak buruk terhadap kesehatan saja, tetapi juga kondisi sosial, ekonomi, dan bahkan mengancam masa depan generasi muda yang seharusnya berperan sebagai penerus bangsa.
Pernikahan dini di Tanah Air masih menjadi salah satu persoalan yang mengkhawatirkan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2022, sebanyak 19,24% pemuda di Indonesia melakukan pernikahan pada usia 16-18 tahun.
Meskipun pemerintah sudah menaikkan minimum usia untuk menikah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan melalui amandemen Undang-Undang Perkawinan pada tahun 2019, faktanya angka pernikahan dini di negara ini belum menunjukkan adanya penurunan yang signifikan.
Di samping itu, jumlah permohonan dispensasi pernikahan dini di pengadilan agama juga mengalami lonjakan. Pada tahun 2022, ada sekitar 55.000 permohonan yang diterima oleh pengadilan agama setempat. Angka ini menunjukkan adanya kenaikan hingga dua kali lipat dari periode sebelumnya.
Terjadinya lonjakan kasus pernikahan dini pada 2022 juga dipengaruhi oleh pandemi COVID-19. Faktor-faktor seperti meningkatnya jumlah anak yang putus sekolah, tekanan ekonomi, kepatuhan terhadap norma adat dan agama, serta pengaruh pergaulan menjadi faktor-faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini selama pandemi.
Hal tersebut juga menunjukkan bahwa masalah pernikahan dini tak hanya berkaitan dengan hukum yang berlaku di suatu negara. Pernikahan dini juga berkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi yang sangat kompleks.
Pernikahan dini terjadi karena beberapa faktor yang umumnya saling berkaitan. Salah satu faktor utama penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur adalah kondisi kemiskinan. Keluarga dengan kondisi ekonomi yang sulit sering kali beranggapan bahwa menikahkan anaknya akan menjadi jalan untuk mengurangi beban ekonomi orang tua sekaligus keluar dari jerat kemiskinan.
Padahal, hal ini justru sebaliknya, menikah dini dan dalam kondisi yang belum siap secara mental dan finansial hanya akan memperpanjang rantai kemiskinan. Selain karena kemiskinan, norma adat dan agama juga memainkan peran krusial dalam mendorong terjadinya pernikahan dini, khususnya di daerah pedesaan. Minimnya pendidikan dan informasi terkait risiko pernikahan dini juga menjadi salah satu faktor pendorong praktik ini.
Dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini juga sangat luas dan serius. Dari segi kesehatan, pernikahan dini bisa meningkatkan risiko kehamilan pada usia yang belum matang. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya komplikasi kesehatan baik bagi ibu maupun bayi.
Perempuan yang menikah pada usia dini juga berisiko mengalami kanker serviks dan kondisi reproduksi lainnya. Selain dari segi kesehatan fisik, pernikahan dini juga berdampak buruk terhadap kondisi psikologis pasangan.. Pasangan yang menikah dini berisiko mengalami gangguan mental seperti kecemasan dan depresi, terutama bagi perempuan karena terisolasi dari keluarga atau teman setelah menikah.
Dampak pada kondisi sosial dari praktik pernikahan dini juga harus dijadikan perhatian. Anak-anak yang lahir dari hasil pernikahan dini cenderung mengalami masalah dalam hal polah asuh dan perkembangan. Hal ini lantaran orang tua mereka masih berada dalam usia yang relatif muda dan belum matang secara emosional.
Di samping itu, pernikahan dini juga berpotensi memutus akses kaum perempuan muda terhadap pendidikan. Di Indonesia, hal tersebut pada akhirnya akan mempersulit mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan mampu menjadi pribadi yang mandiri secara ekonomi. Dalam jangka yang lebih panjang, pernikahan dini berpotensi memperpanjang siklus kemiskinan dan bahkan ketidaksetaraan gender.
Mengatasi masalah pernikahan dini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan generasi muda yang mampu mewujudkan Indonesia Emas 2045. Masalah ini harus diatasi dengan melakukan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak.
Pemerintah Indonesia pada dasarnya sudah melakukan banyak upaya guna menekan angka pernikahan dini. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menaikkan batas usia minimum menikah menjadi 19 tahun dan tercantum dalam UU Pernikahan Tahun 2019.
Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 pula, pemerintah menargetkan penurunan jumlah perkawinan anak dari 11,2% menjadi 8,74%. Selain itu, pemerintah menjalin kolaborasi sinergis dengan berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) dan sektor swasta guna menjalankan program-program edukasi serta kampanye mengenai bahaya pernikahan dini.
Sebagai contoh, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membuat usulan bahwa usia ideal menikah bagi laki-laki adalah minimal 25 tahun dan perempuan 21 tahun. Program-program ini ditujukan untuk membangun kesadaran masyarakat terkait risiko pernikahan dini sekaligus mendorong remaja untuk mengejar pendidikan dan karier sebelum memutuskan untuk menikah.
Contoh lainnya adalah upaya dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Yayasan Pemantauan Hak Anak (YPHA). Kedua yayasan ini aktif dalam menyuarakan perlindungan hak-hak anak dan perempuan. Mereka juga mendesak peningkatan batas usia menikah sebelum akhirnya disahkan UU No. 16 Tahun 2019.
Program-program seperti layanan konseling, pendidikan kesehatan reproduksi, dan pemberdayaan ekonomi bagi perempuan muda juga menjadi salah bagian dari strategi untuk menekan jumlah pernikahan dini di Indonesia.
Jadi, pernikahan dini merupakan masalah yang sangat kompleks dan membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Pemerintah memang sudah mengambil langkah-langkah preventif dalam upaya menekan jumlah pernikahan dini. Namun, masih banyak sekali tantangan yang harus dihadapi.
Upaya untuk menekan angka perkawinan dini harus melibatkan peran dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat, dan komunitas setempat.
Melalui pendekatan yang dilakukan secara komprehensif dan kolaboratif, diharapkan kasus pernikahan dini di Indonesia bisa terus menurun sehingga generasi muda Tanah Air bisa terus tumbuh dan berkembang serta berkontribusi terhadap cita-cita Indonesia Emas 2045.