Properti merupakan salah satu sektor industri paling krusial di China. Bahkan industri ini pernah menyumbang produk domestik bruto (PDB) China hingga mencapai 30%. Sayangnya, dalam beberapa periode terakhir, sektor properti di China sedang tidak baik dan bahkan bisa dibilang makin terpuruk. Dampaknya pun luas, tak hanya bagi masyarakat China tetapi juga ekonomi dunia.
Buat kamu yang aktif menyimak berita soal properti, tentu sudah mendengar soal anjloknya pasar properti di China. Namun tahukah kamu seberapa parah situasinya saat ini? Berdasarkan laporan dari IMF, sektor properti yang sebelumnya mampu menyumbang 30% PDB kini berada di level terendah sejak 2015.
Penjualan produk properti menurun drastis, harga properti juga ikut anjlok. Bahkan beberapa pengembang besar, termasuk Evergande, ikut mengalami masalah finansial. Perusahaan tersebut dikabarkan memiliki utang mencapai 300 miliar dolar AS dan pendirinya, Hui Ka Yan, sedang dalam penyelidikan atas dugaan kegiatan ilegal.
Sementara itu pada kuartal pertama tahun 2024, harga produk properti residensial di China terus mengalami penurunan mecapai 2,7%. Jumlah ini belum termasuk perumahan yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Meskipun harganya menurun, nyatanya masih banyak rumah kosong yang belum berpenghuni di China. Menariknya, sebagian besar dari rumah tersebut sudah memiliki pemilik. Hal ini tak hanya terjadi di daerah-daerah pinggiran tetapi juga di kota-kota besar seperti Shanghai, Beijing, dan Shenzhen.
Lalu, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah dari krisis ini? Ada sejumlah faktor utama yang membuat sektor properti di China berada di titik nadir.
Pada awal tahun 2000-an, pemerintah China mendorong program pembangunan kota-kota futuristik dengan investasi jor-joran. Namun, banyak dari proyek ini tidak mampu menarik minat konsumen.
Salah satu contohnya adalah Ordos City yang berada di Inner Mongolia. Kota ini dirancang untuk menampung lebih dari satu juta orang, tetapi kini hanya dihuni oleh sekitar 150.000 orang. Bahkan pemerintah China juga berharap kota ini mampu menarik minat warga asing untuk datang dan menetap.
Namun, nyatanya apa yang mereka harapkan sulit menjadi kenyataan. Masyarakat China lebih senang tinggal di kota-kota besar lainnya yang sudah tumbuh dan mapan. Kebijakan investasi ini jelas keliru hingga membuat banyak pengembang dan bahkan pemerintah mengalami kerugian besar. Parahnya lagi, kejadian ini menimbulkan sentimen buruk pada perkembangan pasar properti di kawasan pinggiran.
Tahukah kamu bahwa tingkat kepemilikan properti residensial di China mencapai 90%? Angka ini jauh lebih tinggi apabila dibanding-bandingkan dengan negara-negara lain. Sama seperti mayoritas orang Indonesia, banyak penduduk China yang membeli rumah kedua atau ketiga hanya untuk aset investasi. Bahkan rumah-rumah tersebut mayoritas tidak dihuni hingga mendapatkan sebutan “Ghost Communities”.
Obsesi ini didorong oleh budaya yang menganggap kepemilikan rumah sebagai salah satu simbol status sosial dan persyaratan pernikahan. Namun, faktanya fenomena ini justru memicu munculnya fenomen property bubble yang akhirnya meledak ketika permintaan terhadap produk properti mulai melemah.
Banyak pengembang properti di China, seperti Evergrande, yang melakukan utang secara besar-besaran untuk membiayai proyek mereka. Dengan utang yang mencapai angka ratusan miliar dolar, para pengembang raksasa tersebut sangat rentan terhadap perubahan kecil yang terjadi dalam pasar. Akibatnya, saat penjualan properti menurun, mereka tidak mampu membayar utang yang pada akhirnya memicu kebangkrutan dan bahkan mengganggu kondisi perekonomian negara.
Krisis properti di China tak hanya memengaruhi kondisi domestik. Sebagai salah satu pemain ekonomi terbesar dunia, gangguan pada pasar properti mereka bisa menjadi efek domino ke sejumlah negara. Bagaimana bisa?
Pertama, sektor properti di China menyumbang hampir sepertiga PDB-nya sehingga dianggap memainkan peran krusial dalam pergerakan ekonomi dunia. Kejatuhan pengembang besar seperti Evergrande membuat makin memperburuk krisis properti yang sudah melanda negara ini sejak 2021.
Selain itu, menurunnya penjualan properti mencapai 17,3% oleh sekitar 100 pengembang utama pada 2023 menunjukkan lemahnya permintaan dari dalam negeri. Hal ini pada akhirnya dapat memengaruhi kepercayaan global terhadap investasi properti di China.
Lebih lanjut, ketidakstabilan properti ini juga berpotensi menurunkan pasar properti di negara lain. Utamanya, pada mitra dagang utama seperti Indonesia yang sangat bergantung pada investasi dan perdagangan dengan Negeri Tirai Bambu tersebut.
Kedua, melemahnya sektor properti China juga berdampak terhadap permintaan komoditas global. Mengingat investasi properti terus menurun mencapai 9,4% dari Januari-November 2023, konsumsi bahan konstruksi seperti baja, semen, dan tembaga yang mayoritas diimpor dari negara lain pun ikut menurun.
Bahkan mitra dagang utama China, seperti Indonesia, yang mengandalkan ekspor bahan mentah ke China (salah satunya semen) dapat mengalami penurunan permintaan yang berdampak langsung terhadap neraca perdagangan.
Pemerintah China melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah krisis pasar properti domestik, salah satunya dengan meningkatkan defisit sekaligus utang untuk mendorong stimulus ekonomi.
Di samping itu, Kementerian Perumahan China akan memperluas “daftar putih” proyek pembangunan properti yang didukung pemerintah dan jugs mendorong percepatan pemberian pinjamn kepada proyek-proyek yang masih tertunda.
Pihak IMF menanggapi bahwa upaya-upaya tersebut bisa saja membawa hasil yang positif. Namun kenyataannya saat ini ekonomi China menunjukkan pencapaian yang mengecewakan pada kuartal ketiga. IMF juga menyampaikan bahwa stimulus dari pemerintah China dapat membebani anggaran negara.
Sementara, bila pemerintah China memberikan subsidi untuk meningkatkan ekspor, maka langkah ini bisa memburuk relasi dagang negara tersebut dengan negara-negara mitra. Dalam hal ini, Indonesia kemungkinan juga akan terkena dampaknya.
Jadi, kira-kira bagaimana pendapatmu tentang kondisi ini? Apakah menurutmu otoritas China bisa mengatasi krisis properti ini?