Harus diakui bahwa guru adalah sosok penting dalam kehidupan kita semua. Mereka bukan hanya profesional yang memberikan ilmu, tetapi juga mendidik kita untuk menjadi individu yang lebih baik.
Namun, belakangan ini, dunia pendidikan di Tanah Air diwarnai dengan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh murid terhadap guru. Fenomena ini tak hanya menyakitkan, tetapi juga menunjukkan adanya persoalan serius dalam sistem pendidikan Indonesia.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa guru yang seharusnya dihormati justru menjadi korban kekerasan?
Sepanjang tahun 2024, dunia pendidikan Indonesia diwarnai dengan sejumlah kasus kekerasan terhadap guru. Salah satu kasus yang cukup mencuri perhatian publik adalah peristiwa yang menimpa Supriyani, seorang guru asal Sulawesi Tenggara, yang harus berurusan dengan penegak hukum setelah menegur muridnya. Kasus ini menjadi salah satu contoh nyata betapa rapuhnya posisi guru di tengah masyarakat saat ini.
Tak hanya itu, kekerasan terhadap guru bahkan juga terjadi dalam bentuk fisik. Di Bengkulu, seorang guru harus kehilangan kedua penglihatannya akibat terkena serangan ketapel oleh orang tua murid.
Fenomena tersebut langsung mengundang keprihatian dari sejumlah pihak, termasuk Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Mengetahui kasus-kasus kekerasan ini, Wapres Gibran mengusulkan adanya Undang-Undang Perlindungan Guru guna melindungi semua tenaga pendidik dari berbagai ancaman kekerasan dan kriminalisasi yang kerap dilayangkan oleh orang tua murid.
Kasus-kasus ini tak hanya membuat guru merasa tidak aman, tetapi juga memengaruhi kualitas belajar mengajar di dalam kelas yang seharusnya berjalan dengan kondusif. Kini, banyak tenaga pendidik merasa khawatir dalam mendisiplinkan murid karena takut dianggap melakukan kekerasan hingga berujung dilaporkan. Hal ini jelas sangat berdampak pada kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Melonjaknya kasus kekerasan terhadap guru tentu terjadi bukan tanpa alasan. Ada sejumlah faktor utama yang mendasari kasus-kasus tersebut.
Salah satu pemicu siswa berani kepada guru adalah kesalahan pola asuh dalam keluarga. Ketika anak mengadu kepada orang tua bahwa dia mendapat kesulitan di sekolah, beberapa orang tua justru malah membela anaknya tanpa melihat masalah dari kedua sisi. Akibatnya, anak merasa bebas melakukan apa saja, termasuk menentang guru.
Padahal, setiap aspek dalam kehidupan memiliki aturannya masing-masing, termasuk saat sekolah. Jika anak melakukan kesalahan di sekolah dan justru 100% dibela oleh orang tua, maka secara langsung orang tua mendidik anak untuk berani melanggar aturan di sekolah.
Menurut pengamat pendidikan, Darmaningtyas, melalui Detik.com, saat ini siswa bisa mendapatkan informasi dari mana saja. Hal ini membuat siswa memiliki banyak pandangan hingga menganggap sekolah hanya untuk formalitas saja.
Apabila dibandingkan dengan satu dekade yang lalu, guru masih sangat berwibawa karena dianggap sebagai satu-satunya panutan dan sumber pengetahuan. Di satu sisi, hal ini positif karena anak bisa memiliki banyak wawasan. Namun di sisi lain, mereka menjadi meremehkan pentingnya sekolah.
Masih melansir dari Detik.com, salah satu alasan murid berani kepada guru adalah karena murid tersebut memiliki masalah perilaku. Kekerasan antara murid terhadap guru bisa terjadi karena anak tak bisa menahan amarahnya dan melampiaskannya lewat kekerasan fisik atau maupun verbal. Kondisi ini umumnya terbentuk di keluarga dan bahkan sudah terjadi sejak kecil.
Hingga saat ini, masih belum ada regulasi yang secara khusus digunakan untuk melindungi guru dari berbagai ancaman kekerasan maupun kriminalisasi. Akibatnya, guru kerap kali menjadi korban salah tafsir. Di sisi lain, UU tentang perlindungan anak juga kerap disalahgunakan oleh pihak orang tua untuk mengkriminalisasi guru yang mendisiplinkan muridnya.
Melihat kasus-kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap guru, pemerintah segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi dan mencegah masalah ini. Berikut beberapa inisiatif yang telah atau sedang diupayakan:
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengusulkan pembentukan Undang-Undang Perlindungan Guru sebagai payung hukum untuk melindungi para tenaga pendidik. Dengan adanya UU ini, semua guru diharapkan bisa mendidik dengan rasa aman tanpa takut dikriminalisasi oleh orang tua murid.
Kementerian Pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah, menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Polri, untuk mencegah kasus kekerasan terhadap tenaga pendidik. Salah satu fokus dari upaya ini adalah edukasi karakter siswa agar memiliki rasa segan terhadap guru.
Pemerintah mulai menekankan pentingnya edukasi karakter di sekolah. Upaya ini dilakukan melalui program-program seperti penguatan nilai-nilai Pancasila dan keagamaan yang diharapkan dapat membentuk individu yang lebih beradab.
Selain memberikan perlindungan hukum terhadap guru dari ancaman kekerasan, pemerintah era Prabowo-Gibran juga mulai memperhatikan kesejahteraan mereka. Upaya tersebut dapat dilihat dari sejumlah agenda, seperti menaikkan gaji, mengurangi beban kerja administratif guru, hingga peningkatan fasilitas sekolah.
Upaya-upaya di atas masih terus dibenahi demi kualitas pendidikan yang lebih baik. Pasalnya, kekerasan terhadap guru adalah salah satu bukti betapa suramnya kualitas pendidikan Indonesia. Mungkin kamu bertanya, apa yang bisa kamu lakukan untuk membantu. Jawabannya dimulai dari hal-hal kecil, seperti mengajarkan anak, saudara, atau adik yang masih sekolah soal pendidikan karakter.
Ingat, masalah siswa berani kepada guru selalu dimulai dari pola asuh dalam keluarga dan lingkungan. Jadi, orang tua, keluarga, dan lingkungan harus benar-benar sadar akan pentingnya membangun karakter baik pada anak sejak usia dini. Dengan begitu, anak bisa menjadi individu yang beretika dan mampu mematuhi aturan yang berlaku di mana pun mereka berada, baik di sekolah maupun di lingkungan lainnya.