Pendidikan seharusnya menjadi jembatan bagi setiap insan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik. Namun, bagaimana jika pendidikan justru menjadi ladang bisnis yang menguntungkan segilintir pihak saja?
Kamu sendiri mungkin pernah merenungkan mengapa sekolah dan kuliah sekarang makin mahal. Pernyataan tersebut tentu bukan alasan, sebab faktanya, dunia pendidikan saat ini sudah bukan lagi soal mencari ilmu dan membangun karakter, tetapi juga soal angka dan profit. Lantas, apa yang akan terjadi jika pendidikan terus-menerus dianggap sebagai ladang bisnis?
Awalnya, pendidikan adalah proses pembebasan. Pada masa pencerahan, para pemikir seperti John Dewey dan Jean-Jacques Rousseau meyakini bahwa pendidikan seharusnya bisa memanusiakan manusia, yakni membentuk manusia menjadi pribadi merdeka yang berpikir kritis.
Di Indonesia sendiri, sistem pendidikan modern yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda bukan untuk membebaskan rakyat, melainkan untuk melahirkan tenaga kerja yang mau dibayar murah dan pegawai yang tunduk pada sistem kolonial.
Bahkan Pramoedya Ananta Toer pernah menyebut lulusan sekolah pada masa kolonial itu sebagai “jongos dan babu”. Pasalnya, mereka hanya diarahkan untuk melayani semua kepentingan kolonial, bukan untuk memerdekakan pikiran.
Setelah Indonesia dinyatakan merdeka, struktur pendidikan warisan zaman kolonial masih dipertahankan. Akibatnya, pendidikan hanya menghasilkan jutaan siswa yang saling bersaing demi nilai, ijazah, dan pekerjaan.
Tidak munafik bahwa sekolah adalah salah satu pintu untuk mendapatkan kehidupan yang layak melalui pekerjaan. Namun, bukan itu yang seharusnya menjadi tujuan utama dari sekolah. Sekolah harusnya mampu memerdekakan pikiran, bukan malah menjadi tempat produksi tenaga kerja yang siap masuk pasar dan bahkan mau dibayar murah.
Berbicara soal kapitalisme, ideologi ini tidak muncul begitu saja. Ia masuk pelan-pelan ke setiap lini kehidupan, tak terkecuali pendidikan. Dalam sistem ini, pendidikan bukan lagi hak bagi setiap warga negara, melainkan sebagai komoditas. Jadi, kamu tidak lagi belajar untuk mendapatkan ilmu, melainkan demi ijazah, status sosial, dan pekerjaan dengan gaji yang terkadang tak selalu sesuai ekspektasi.
Kapitalisme mengubah cara pandang mayoritas masyarakat terkait tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan kini bukan lagi untuk melahirkan manusia yang utuh, manusia yang mampu berpikir kritis, berempati, dan berkarya. Justru pendidikan hanya untuk mencetak manusia kompetitif yang bisa “menang” dalam sistem ekonomi.
Menurut laporan World Bank yang berjudul “Indonesia: Higher Education Financing”, total biaya pendidikan tinggi di Indonesia bisa mencapai lebih dari 1.000 dolar AS per tahun per rumah tangga. Hal ini membuat biaya pendidikan tinggi sebagai salah satu pengeluaran terbesar bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia.
Selain itu, data juga menyebutkan bahwa biaya pendidikan di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahun, yakni sekitar 10-15%. Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa mahalnya biaya pendidikan tidak selalu sebanding dengan kualitas berpikir para lulusan dan bahkan peluang kerja yang mereka terima.
Dalam sistem kapitalistik, setiap manusia didorong untuk saling berkompetisi mendapatkan gelar. Namun, gelar itu pun pada akhirnya hanya menjadi “tiket masuk” ke dunia kerja, bukan jaminan kualitas berpikir atau bahkan bukti bahwa lulusan tersebut memiliki kecakapan berpikir dan moralitas. Di sinilah pendidikan mulai kehilangan rohnya.
Pendidikan tinggi kian mahal di Indonesia. Kampus-kampus negeri yang dulunya terjangkau, kini menerapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang melambung tinggi. Misalnya saja Universitas Jenderal Soedirman yang mengalami kenaikan UKT hingga 100% pada tahun 2024. Di Universitas Negeri Semarang, para mahasiswa mengeluhkan adanya Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang memberatkan.
Mengapa bisa terjadi? Pada dasarnya, pemerintah memang telah menerapkan sistem Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) melalui UU No. 12 Tahun 2012, yang memberi otonomi pada kampus untuk mengelola keuangannya. Namun, kebijakan ini justru menjadi peluang emas bagi kampus untuk mencari dana dari luar, termasuk dari mahasiswa, seperti melalui ujian masuk mandiri. Alhasil, kampus pun makin mirip seperti perusahaan.
Mungkin kamu juga pernah melihat brosur-brosur universitas yang menjanjikan fasilitas mewah, koneksi ke perusahaan-perusahaan ternama. Intinya, mereka menawarkan “jalur cepat” menuju kesuksesan. Sayangnya, semua itu hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar. Akibatnya, pendidikan seolah menjadi barang dagangan dan sebagai peserta didik, kamu hanya dipandang sebagai konsumen.
Fenomena bimbingan belajar yang mahal, sekolah full day yang harganya di luar nalar, hingga sistem pinjaman pendidikan berbunga yang sempat dicoba di ITB, merupakan cerminan nyata betapa pendidikan di Indonesia kini makin seperti korporasi. Makin banyak uang yang orang tuamu miliki, makin besar pula peluang untuk mendapatkan pendidikan yang “layak”.
Lantas, apakah pendidikan yang mahal otomatis lebih berkualitas? Tentu saja tidak. Ketika anak didik dipaksa untuk mengejar nilai, ranking, dan bahkan akreditasi sekolah, maka esensi pendidikan bisa hilang. Seperti yang disinggung di atas, sekolah dan kampus kini seolah hanya menjadi pabrik ijazah.
Tak sedikit anak didik yang sekolah hanya untuk mengejar nilai dengan cara-cara instan, seperti mencontek, memakai jasa joki tugas atau skripsi, dan bahkan menyuap. Praktik-praktik licik semacam ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia sedang sakit parah, karena ketika semua hanya dinilai dari angka, maka etika, karakter, dan bahkan empati sudah tidak lagi dianggap penting.
Padahal, pendidikan seharusnya mampu membentuk pribadi manusia yang utuh, yang memiliki nurani, mampu berpikir kritis, dan mampu melihat dunia secara adil. Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil, mengatakan bahwa pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan penindasan. Namun, jika pendidikan justru memperkuat ketimpangan sosial karena hanya mampu diakses oleh mereka yang mampu membayar dan bahkan dianggap sebagai alat untuk meningkatkan status sosial, maka kita sedang berjalan mundur.
Terlebih, kapitalisme membuat kita semua menjadi individu yang cenderung egois dan kompetitif. Pasalnya, sejak kecil kita sudah diajarkan untuk “menang” dalam ujian, bukan untuk bekerja sama. Padahal, hidup ini bukan soal menang atau kalah, tetapi soal tumbuh bersama demi kemajuan peradaban manusia.