Hayo siapa di sini yang gampang tergoda membeli barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan hanya karena ada iming-iming diskon jika menggunakan fitur “beli sekarang, bayar nanti”? Nah, itulah kekuatan paylater.
Sekilas memang tampak praktis, kamu tinggal klik, barang sampai, dan bayar belakangan. Namun di balik kemudahan yang ditawarkan, paylater memiliki potensi masalah besar, terlebih kalau kamu tidak bijak menggunakannya.
Mirisnya lagi, kini makin banyak anak muda, khususnya gen Z dan milenial yang terjerat dalam jebakan manis ini. Apa saja ancamannya dan bagaimana dampaknya?
Menurut riset Kredivo dan Katadata Insight Center pada 2022, sebanyak 56% responden dari kalangan gen Z dan milenial menyatakan bahwa mereka memilih paylater karena fleksibilitasnya. Mereka menganggap layanan ini sebagai bagian dari solusi saat keuangan sedang seret tetapi hasrat untuk belanja tak tertahankan.
Tidak heran, karena memang sebagian pengguna paylater didominasi oleh generasi muda yang aktif belanja online. Bahkan, platform marketplace dan e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, Gojek, Grab, hingga Traveloka, berlomba-lomba menambahkan fitur paylater agar makin menarik banyak pengguna. Terlebih, fitur paylater ini kerap menawarkan keuntungan plus-plus, seperti diskon tambahan sehingga terlihat makin menggiurkan bagi para pengguna.
Namun, apakah kemudahan yang ditawarkan paylater membuat kamu menjadi lebih pintar dalam mengelola keuangan? Sayangnya, tidak selalu. Alih-alih menolong, justru paylater bisa menyeretmu ke jurang utang atau sifat konsumerisme.
Paylater memang menawarkan kemudahan layaknya kartu kredit tetapi lebih ungguh karena fleksibilitas yang ditawarkan. Namun di balik keunggulan tersebut, ada ancaman di baliknya jika pengguna tidak menggunakannya dengan bijak.
Bayangkan saja, jika kamu punya gaji Rp4 juta per bulan, tetapi karena kamu punya paylater kamu merasa seolah punya “limit tambahan” untuk belanja. Akhirnya, kamu belanja banyak baju baru, order makanan lewat ojek online, dan bahkan pesan tiket liburan meskipun uang kamu belum cukup.
Prita Hapsari Ghozie, dosen ekonomi dari Universitas Indonesia, melalui laman Universitas Indonesia menyampaikan bahwa budaya konsumtif akibat kemudahan akses kredit seperti layanan paylater menjadi salah satu alasan generasi muda gagal punya rumah sendiri.
Bahkan, menurut survei Indonesia Property Watch, lebih dari 50% milenial yang punya rumah masih bergantung pada bantuan orang tua, baik untuk membayar DP atau bahkan cicilan.
Jika kamu terus-menerus mengikuti gaya hidup hedonisme dengan menggunakan paylater, maka kamu tidak hanya akan kehilangan kesempatan untuk menabung, tetapi juga gagal mewujudkan mimpi besar seperti memiliki rumah atau mungkin kendaraan sendiri.
Salah satu ancaman di balik penggunaan paylater secara tidak bijak adalah kamu bisa menjadi korban pencurian data pribadi. Sebab, setiap kamu mendaftar layanan paylater, kamu wajib mengisi data pribadi mulai dari KTP, nomor telepon, dan nomor telepon orang yang kamu jadikan kontak darurat.
Meskipun banyak platform paylater yang diawasi oleh OJK, risiko kebocoran data tetap ada, terlebih bila kamu menggunakan layanan dari fintech yang belum resmi atau ilegal. Bahkan jika kamu telah membayar angsuran, bahkan sampai berlarut-larut, data pribadi kamu berisiko digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Bayangkan saja jika data pribadi kamu bocor dan disalahgunakan untuk pengajuan pinjaman online fiktif. Kamu bisa saja tiba-tiba ditagih utang yang tidak pernah kamu ajukan. Masalah ini sudah terlalu sering terjadi dan seharusnya menjadi perhatian pemerintah serta regulator untuk meningkatkan kebijakan terkait perlindungan data-data pribadi.
Nah, yang satu ini mungkin bikin kamu kaget. Jadi, skor kredit, termasuk di dalamnya adalah paylater, yang buruk bisa membuat kamu gagal diterima kerja. Tentu, ini tidak diterapkan di semua perusahaan dan institusi yang ada di Indonesia.
Akan tetapi, beberapa bulan yang lalu sempat viral di media sosial bahwa ada sejumlah fresh graduate yang gagal melamar kerja gara-gara skor SLIK (BI Checking) mereka jelek. Bahkan, sampai ada yang masuk ke dalam kategori kolektibilitas 5 alias tunggakan parah. Padahal, banyak dari mereka yang merasa hanya telat bayar paylater beberapa kali.
Friderica Widyasari Dewi selaku Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, melalui Detik.com menyampaikan bahwa kini sejumlah perusahaan mulai menggunakan SLIK untuk mengetahui kondisi finansial pelamar kerja. Jadi, kalau kamu memiliki tagihan paylater dan kamu sering telat atau bahkan cenderung menunggak, peluangmu diterima kerja bisa langsung sirna.
Coba bayangkan saja, kamu sudah berjuang kuliah 4 tahun, punya IPK bagus, dan pengalaman organisasi banyak, tetapi gagal diterima kerja hanya karena tidak bijak menggunakan paylater. Sia-sia bukan?
Namun, tenang saja, buat kamu yang aktif menggunakan paylater dan tidak pernah terlambat membayar angsuran. Skor kredit kamu tetap akan bagus dan ini tidak akan berpengaruh terhadap proses rekrutmen kerja. Seperti yang disinggung sebelumnya, kebijakan cek SLIK pada proses rekrutmen kerja tidak diterapkan oleh semua perusahaan di Indonesia. Hanya beberapa yang mungkin sangat selektif terhadap kandidat yang akan mereka pilih.
Jadi, ancaman di balik paylater ini seharusnya bisa menjadi pembelajaran untuk tahu batasan. Gunakan saat benar-benar mendesak saja, pastikan juga bayar tepat waktu, dan jangan jadikan paylater sebagai kebiasaan untuk membeli barang konsumtif. Memang, setiap checkout yang kamu lakukan akan memberikan kepuasan, tetapi itu hanya kepuasan sekejap mata. Ingat, masa depan kamu jauh lebih berharga dibanding sekadar checkout baju dengan promo paylater.