Buat kamu yang aktif di media sosial, mungkin sering melihat orang-orang membuat konten olahraga lari, IG story saat lagi nge-gym atau yang terbaru adalah padel. Melihat konten-konten tersebut, kamu mungkin pernah merasa harus ikut. Nah, fenomena ini disebut dengan istilah olahraga karena FOMO, yakni perasaan takut tertinggal tren gaya hidup sehat.
Namun, yang jadi pertanyaan adalah apakah salah kalau kamu mulai olahraga karena ikut-ikutan tren? Atau justru sebaliknya, mungkinkan FOMO justru bisa jadi awal mula menuju kebiasaan sehat? Yuk, kita bahas lebih dalam.
Tren hidup sehat dengan berolahraga lagi happening beberapa tahun terakhir ini. Di berbagai kota besar, kamu bisa melihat tempat-tempat gym makin menjamur, komunitas lari yang makin eksklusif, serta para influencer yang rutin membagikan momen bermain padel di Instagram dan TikTok. Tak heran jika banyak dari kamu mulai merasa “harus” ikut-ikutan biar nggak ketinggalan.
Melansir laman Liputan, banyak orang mulai berolahraga bukan semata-mata karena sadar pentingnya kesehatan, tetapi karena tidak ingin ketinggalan tren atau lingkungan pergaulannya. Bahkan, beberapa penggiat olahraga yang didominasi oleh kalangan gen Z, secara terbuka mengaku mulai olahraga lari atau nge-gym karena faktor sosial.
Generasi muda tersebut berolahraga karena ingin eksis di media sosial, ingin pamer perlengkapan olahraga yang tak jarang harganya sangat fantastis, atau karena merasa aneh ketika melihat banyak temannya sudah olahraga tetapi mereka belum.
Kendati demikian, kamu juga harus paham bahwa olahraga karena FOMO tak selalu buruk. Banyak orang yang memang awalnya hanya ikut-ikutan, tetapi akhirnya bisa mendapatkan manfaat olahraga, baik secara fisik maupun mental. Banyak yang awalnya olahraga untuk dikontenin, tetapi akhirnya merasa olahraga bisa membantunya melawan depresi.
Olahraga yang awalnya dilakukan karena FOMO memang bisa jadi hal yang positif. Namun pertanyaannya apakah hal tersebut bisa jadi kebiasaan jangka panjang? Jawabannya tentu tergantung pada motivasi masing-masing orang.
Kalau kamu olahraga hanya karena tren dan ingin tampil keren di media sosial, maka kemungkinan besar kamu akan berhenti di tengah jalan. Sebaliknya, kalau kamu mulai mengulik manfaat olahraga untuk tubuh dan pikiranmu sendiri, maka besar kemungkinannya kamu akan lebih konsisten.
Menurut Antonious Andi Kurniawan, spesialis kedokteran olahraga RS Pondok Indah-Bintaro, melalui Tempo menyampaikan bahwa olahraga yang baik adalah yang dilakukan sesuai kebutuhan tubuh, bukan karena tuntutan sosial. Idealnya, olahraga dilakukan setidaknya 30 menit per hari selama 5 kali dalam seminggu dengan variasi latihan seperti kardio, kekuatan otot, dan fleksibilitas.
Bukan hanya itu, penting juga untuk menghindari tren olahraga ekstrem hanya karena gengsi. Misalnya, kamu ikut lomba maraton padahal sebelumnya belum pernah latihan intens hanya karena takut ketinggalan tren. Hal semacam ini berbahaya dan bahkan berisiko memicu masalah seperti dehidrasi, heatstroke, atau bahkan cedera serius.
Di sisi lain, olahraga yang dilakukan secara rutin dan terarah justru bisa menjadi investasi kesehatan jangka panjang. Bukan hanya untuk menjaga berat badan, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas tidur, memperkuat imun tubuh, dan bahkan memperbaiki mood yang bisa berdampak positif pada kesehatan mental.
Egas dan Gani, dua pelari muda asal Yogyakarta, melalui Detik.com, bahkan mengakui bahwa awalnya mereka juga sempat termotivasi oleh tren di media sosial. Namun lama-lama, mereka mulai bisa menemukan kenyamanan dalam rutinitas berlari karena mendapatkan manfaat positif, seperti membantu program diet dan memperbaiki pola tidur.
Jadi, terkadang FOMO bisa menjadi awal dari sesuatu yang baik, selama kamu bisa menemukan makna tersendiri di dalamnya. Selain itu, olahraga karena FOMO bisa dibilang adalah “FOMO yang positif”.
Kalau saat ini kamu sedang terjebak dalam siklus olahraga karena tren semata, jangan khawatir. Kamu bisa loh mengubahnya menjadi kebiasaan sehat jangka panjang. Berikut beberapa tips yang dapat kamu terapkan:
Jangan terlalu memaksakan diri untuk turun berkilo-kilo dalam dua minggu. Tentukan tujuan yang masuk akal. Misalnya kamu olahraga agar bisa tidur lebih nyenyak, untuk meningkatkan konsentrasi, atau sekadar ingin tubuh lebih segar.
Tidak semua orang cocok dengan olahraga yang sedang booming, seperti lari atau gym. Cobalah jenis olahraga lain seperti bersepeda, yoga, badminton, atau apa pun itu yang bisa kamu nikmati prosesnya. Dengan begitu, kamu bisa melakukannya dalam jangka panjang.
Pada dasarnya, setiap orang memiliki ritme dan kebutuhan tubuh yang berbeda-beda. Kalau kamu membandingkan dirimu dengan influencer yang hidupnya fleksibel, punya banyak waktu dan resources untuk melakukan olahraga ‘mahal’, maka ini tidak akan membantumu sama sekali. Justru fokus saja pada progres dan kenyamananmu sendiri.
Punya teman dengan hobi olahraga yang sama dan suportif adalah poin plus. Maka dari itu, cobalah untuk mencari komunitas yang benar-benar fokus pada olahraga itu sendiri, bukan malah fokus pada fashion olahraga. Pastikan juga kamu tidak tergoda untuk hanya mengikuti gaya hidup rekan sekomunitas demi eksistensi sosial semata.
Kalau kamu merasa harus olahraga hanya untuk mendapatkan views dan likes di Instagram, cobalah untuk berhenti sejenak. Sekali, mungkin bisa menjadi motivasi buat kamu agar rajin berolahraga. Namun kalau kamu tidak rutin melakukannya dan sekadar ingin mencari validasi orang lain, tidak ada manfaat yang akan kamu dapatkan.
Jadi, coba kurangi keinginan untuk selalu mengunggah kegiatan olahraga kamu. Sekali dua kali boleh, tetapi fokuslah pada manfaat kesehatan yang ingin kamu dapatkan dari olahraga. Sebab, kalau kamu hanya fokus mencari pengakuan, yang ada kamu malah menambah beban mental.
Bagaimana, apakah kamu masih mau olahraga karena FOMO? Sah-sah saja kalau kamu mulai berolahraga karena FOMO. Namun pastikan kegiatan ini bisa menjadi kebiasaan positif dan mampu memberikan manfaat kesehatan dalam jangka panjang.