Buat kamu yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia, mungkin sudah biasa bayar di warung madura dengan scan QR. Inilah QRIS (Quick Response Indonesian Standard) yang menjadi standar pembayaran digital di Indonesia dan kini mulai go international. Dari sekadar memudahkan transaksi di warung kelontong hingga membuka akses di banyak negara lain, fakta bahwa QRIS mendunia tentu bukan isapan jempol belaka.
Namun, langkah berani RI ini ternyata juga dilirik oleh Amerika Serikat dan bahkan sempat dikritik. Lantas, apa sebenarnya strategi Indonesia dan peluang besarnya di tengah kondisi global saat ini?
Selama puluhan tahun, sistem pembayaran global dikuasai oleh para pemain lama seperti Visa dan Mastercard yang berasal dari Amerika Serikat. Mereka tak hanya memimpin transaksi lintas negara, tetapi juga mendominasi infrastruktur dan regulasi internasional. Di Indonesia sendiri, Visa dan Mastercard masing-masing menguasai lebih dari 75% pangsa pasar kartu kredit hingga 2025.
Namun, kemunculan QRIS pada 2019 mengubah segalanya. QRIS mengusung prinsip interoperabilitas antar-penyedia jasa pembayaran dan dibangun berdasarkan standar internasional EMVco. Dengan kata lain, QRIS mampu terhubung dengan sistem pembayaran global tanpa harus tunduk sepenuhnya pada standar asing.
Kemudian, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan penggunaan QRIS dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) untuk transaksi domestik, termasuk kartu kredit pemerintah. Hal tersebut disampaikan melalui Peraturan BI No. 19/08/2017 terkait Gerbang Pembayaran Nasional.
Hanya saja, kebijakan tersebut ternyata dianggap membatasi ruang gerak perusahaan-perusahaan asing. Bahkan, Amerika Serikat melalui lembaga USTR (United States Trade Representative) tak ketinggalan melontarkan kritik begitu kabar soal QRIS mendunia ke berbagai negara. Namun, justru dari sinilah, kita bisa melihat posisi Indonesia yang mulai berani menentukan arah moneternya sendiri.
Kritik AS terhadap QRIS menunjukkan kekhawatiran bahwa dominasi mereka di ranah fast payment mulai terganggu. Dalam laporan National Trade Estimate 2025, AS menyampaikan keprihatinannya terhadap kurangnya pelibatan pemangku kepentingan internasional dalam proses perumusan kebijakan QRIS.
Padahal, QRIS tidak lahir begitu saja. Sistem ini justru muncul sebagai respons terhadap kebutuhan riil masyarakat Indonesia, seperti UMKM yang tidak sanggup membeli mesin EDC karena mahal hingga konsumen yang ingin mendapatkan kemudahan transaksi dengan satu kode universal.
Mukhamad Misbakhun, Ketua Komisi XI DPR RI melalui CNBC Indonesia pun menegaskan bahwa QRIS bukan saingan langsung Visa dan Mastercard. Hal ini lantaran keduanya berada di segmentasi yang berbeda.
QRIS fokus pada ranah ritel harian, mikro dan inklusi keuangan. Sementara itu, kartu kredit yang didukung oleh Visa dan Mastercard menyasar segmen menengah ke atas. Jadi, jika AS merasa terganggu, mungkin mereka menyadari bahwa QRIS bisa menjadi sistem fast payment yang lebih efisien dan inklusif.
Seperti yang dijelaskan, QRIS mendunia dan saat ini sudah digunakan di beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Bahkan, menurut Filianingsih Hendarta selaku Deputi Gubernur RI, sistem pembayaran ini juga akan diterapkan di negara seperti Jepang, Korea Selatan, Arab Saudi, dan India.
Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nyali untuk memperkenalkan standar pembayaran nasionalnya ke pasar internasional. Hal ini sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa dunia butuh alternatif fast payment yang lebih terbuka, efisien, dan berasal dari non-Barat di tengah sistem pembayaran Barat.
Terlebih lagi, QRIS mendunia bukan sekadar retorika belaka. Data pada kuartal I 2025 mencatat bahwa QRIS sudah digunakan oleh 56,3 juta pengguna dan volume transaksi mencapai 2,6 miliar. Selain itu, merchant QRIS saat ini didominasi oleh UMKM dengan total mencapai 38,1 juta pengguna. Angka ini jelas bukan main-main dan menjadi bukti bahwa QRIS mampu mendorong perkembangan ekosistem ekonomi digital Indonesia.
Melihat antusiasme dari negara-negara ASI, bukan tidak mungkin sistem fast payment kebanggaan Indonesia, QRIS, akan menjadi standar regional di masa depan. Adopsi lintas negara ini dapat membuka peluang kerja sama ekonomi digital ASEAN yang lebih kuat, khususnya di tengah kondisi geopolitik dan fragmentasi pasar global.
Bank Indonesia juga terus meluncurkan inovasi baru, seperti QRIS Tap, yakni fitur berbasis NFC yang membuat proses transaksi menjadi lebih cepat dan seamless. Hingga April 2025, fitur ini sudah digunakan oleh 20,8 juta pengguna dengan volume transaksi mencapai sekitar 42,9 juta kali. Dengan inovasi ini, QRIS membuktikan bahwa sistem ini siap bersaing di kancah global.
Menariknya lagi, negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menunjukkan minat yang cukup tinggi terhadap QRIS. Hal ini mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar dan memiliki jutaan jemaah umrah dan haji tiap tahunnya. Sebab itu, QRIS lintas negara bisa menjadi solusi praktis untuk transaksi di negara-negara tersebut.
Namun, bukan berarti QRIS tidak ada kendalanya. Untuk bisa menjadi standar regional, otomatis QRIS harus terus meningkatkan skalabilitas, keamanan data, sekaligus interoperabilitas dengan sistem pembayaran internasional lainnya. Hanya saja, jika melihat kuatnya dukungan politik dan sosial di dalam negeri, serta respons positif dari negara-negara mitra, tampaknya impian ini bukan hal yang mustahil.
Jadi, fakta bahwa QRIS mendunia bukanlah sekadar ambisi di bidang teknologi. Justru ini menjadi langkah strategis dalam membangun ekosistem digital Indonesia yang lebih kuat lagi.
Kalau kamu aktif menggunakan QRIS, maka secara tidak langsung kamu ikut berkontribusi dalam perjuangan ingin. Sebab, setiap transaksi QRIS yang kamu lakukan bukan hanya soal kepraktisan, melainkan juga soal cara bangsa Indonesia untuk mandiri dan tidak terus-menerus bergantung pada produk asing.