Belakangan ini, generasi Z menjadi topik panas dalam diskusi dunia kerja. Mereka adalah generasi yang lahir antara tahun 1997-2012 dan kini mulai mendominasi angkatan kerja muda.
Sayangnya, tak sedikit pula stigma negatif yang mereka terima, khususnya soal kemampuan menghadapi tekanan. Bahkan, ada survei yang menyebutkan bahwa gen Z tidak tahan tekanan kerja sehingga banyak perusahaan yang ragu mempekerjakan mereka.
Lantas, benarkan generasi Z memang “lembek” seperti yang banyak dibahas oleh orang-orang? Atau, ada faktor lain di balik mentalitas generasi ini yang belum banyak dibicarakan?
Survei terbaru dari Intelligent seperti yang dilansir oleh CNBC Indonesia, menemukan bahwa satu dari enam perusahaan di Amerika Serikat menyatakan ragu untuk mempekerjakan generasi Z.
Mengejutkannya lagi, sekitar 60% perusahaan mengakut sudah memberhentikan para pekerja dari generasi ini sepanjang tahun 2024. Mereka dianggap kurang profesional, mentalitasnya kurang tangguh, dan tidak siap menghadapi realitas dunia kerja.
Bukan hanya itu saja, sejumlah HR juga menyebutkan alasan mereka tidak merekrut karyawan gen Z. Adapun alasan yang dimaksud antara lain minimnya motivasi, kemampuan komunikasi yang buruk, serta kesulitan dalam menerima kritik atau feedback.
Pun, banyak gen Z yang langsung diberhentikan setelah menyelesaikan masa probation karena tidak mampu memenuhi ekspektasi pekerjaan. Namun, benarkah semua ini sepenuhnya kesalahan para generasi Z?
Di kawasan Asia Timur, istilah “Strawberry Generation” telah lama digunakan untuk menyebut generasi muda yang terlihat manis dan menarik di luar, tetapi mudah “memar” begitu menghadapi tekanan. Julukan ini kerap ditujukan pada generasi Z yang dianggap kurang tahan banting dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.
Namun harus dipahami juga bahwa generasi Z menghadapi banyak tekanan di zaman modern ini. Beberapa tekanan tersebut antara lain menyangkut soal akademik, kecanduan media sosial, dan tingginya ekspektasi diri karena sering membandingkan diri dengan orang lain.
Di masa-masa sekolah atau kuliah pun, banyak dari mereka yang mengalami stres berat hingga burnout akibat tuntutan akademik, masalah finansial, dan masih banyak lagi.
Bukan hanya itu saja, generasi Z juga tumbuh di era teknologi digital yang cenderung membuat segalanya menjadi serba mudah. Akibatnya, mereka cenderung kurang terbiasa menghadapi proses yang panjang dan berat, terlebih jika harus berhadapan dengan tekanan sosial dan profesional secara langsung.
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan cara subjektif. Jika dilihat secara objektif, semua generasi pada dasarnya memiliki tantangan tersendiri, pun begitu dengan gen Z. Namun, jika menyimpulkan generasi Z sebagai generasi bermental tempe yang tidak tahan terhadap tekanan kerja, rasanya terlalu pukul rata.
Coba kita kembali ke tahun 2020 di mana pandemi COVID-19 telah menghilangkan banyak kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan pengalaman sekolah, kuliah, dan kerja seperti sebelum pandemi.
Banyak yang harus menjalani perkuliahan secara daring, tidak sempat magang, atau menjalani kegiatan praktik kerja lapangan. Hal ini tentu saja berpengaruh pada kemampuan mereka dalam memahami hal-hal terkait etika profesional, budaya kerja, hingga cara beradaptasi di lingkungan profesional yang dinamis.
Sementara itu, sistem pendidikan pun masih terlalu fokus pada aspek teoritis dan akademis, bukan keterampilan praktis seperti komunikasi, kerja tim, atau manajemen emosi. Akibatnya, begitu para generasi Z ini masuk ke dunia kerja, mereka mengalami “culture shock” yang berat.
Lebih jauh lagi, pola asuh dan lingkungan sosial juga sangat berperan. Banyak generasi Z yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak mengajarkan pentingnya kemandirian, kerja keras, dan pentingnya menghargai proses. Alhasil, mereka mudah tersinggung atau stres begitu mendapatkan tekanan sedikit.
Jika gen Z tidak tahan tekanan kerja, lantas apakah perusahaan tidak seharusnya menerima mereka? Tentu saja tidak, justru perusahaan juga harus beradaptasi dengan angkatan kerja dari generasi Z.
Meskipun gen Z dicap bermental “tempe” atau tidak memiliki etika di dunia kerja, mereka tetap memiliki sisi positif. Generasi yang tumbuh di era digital ini justru memiliki pikiran terbuka, fokus pada makna dalam pekerjaan, dan menolak budaya kerja yang dianggap toxic, seperti feodalisme dalam pekerjaan.
Sayangnya, masih banyak perusahaan dan institusi pemerintahan yang berpegang pada cara kerja lama, yakni dengan hierarki yang kaku, jam kerja tidak fleksibel, dan ekspektasi bahwa karyawan muda harus “patuh” meskipun atasan terbukti bersalah.
Lebih lanjut, menurut laporan Deloitte 2023, banyak gen Z menjadikan work-life balance sebagai prioritas utama saat memilih pekerjaan. Mereka juga cenderung lebih berani speak up dan tidak ragu untuk resign dari lingkungan kerja yang tidak sehat secara mental. Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, termasuk milenial.
Nah, perbedaan ekspektasi inilah yang sering memunculkan kontra antar generasi. Gen Z cenderung ingin memiliki pekerjaan yang bermakna. Sementara itu, banyak pekerja dari generasi lama yang menganggap gen Z tidak loyal atau tidak serius karena cepat resign. Padahal, ketidakcocokan tersebut sering kali hanya soal gaya kerja yang berbeda bukan karena gen Z tidak tahan tekanan kerja semata.
Kalau kamu sendiri termasuk gen Z, penting sekali untuk menyadari bahwa apa yang kamu alami itu memang benar adanya dan harus diatasi. Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk membuktikan bahwa kamu siap dan mampu berkembang di dunia profesional.
Pertama, kamu harus rajin mengasah soft skills sejak dini, seperti keterampilan berkomunikasi, kerja tim, dan kemampuan menerima kritik serta saran. Kamu bisa mendapatkan keterampilan ini dengan aktif di organisasi atau mungkin aktif di kegiatan-kegiatan kampung.
Kedua, usahakan untuk mencari pengalaman kerja nyata, terutama saat masih kuliah. Jangan pernah malu atau minder untuk mengambil pekerjaan yang selama ini dianggap remeh. Sebab, yang terpenting adalah kamu memiliki kemauan untuk mencoba dan mau menjalani proses belajarnya.
Ketiga, soal tekanan mental ini memang menjadi momok yang menghantui banyak generasi Z. Kondisi ini sebenarnya bisa kamu hindari, salah satunya dengan mengurangi konsumsi konten-konten di media sosial yang membuat kamu mudah membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ingat, tidak ada yang mewajibkan kamu untuk punya segalanya sebelum umur 30 tahun. Itu semua hanya ekspektasi sosial dan yang paling penting adalah fokus pada diri sendiri.
Terakhir, sadarilah bahwa dunia kerja itu dinamis. Maka, berusahalah untuk menjadi pribadi yang senantiasa mau belajar, terbuka terhadap kritik, dan tidak takut mencoba hal baru. Inilah nilai plus yang banyak dicari oleh perusahaan.
Jadi, stigma bahwa gen Z tidak tahan tekanan kerja memang sedang banyak dibicarakan dalam forum-forum diskusi. Namun, jika kamu melihatnya secara lebih luas, ada banyak faktor di balik persepsi ini.
Gen Z tidak bisa disebut begitu saja sebagai generasi yang lemah. Mereka hanya berbeda dan perbedaan ini bisa menjadi kekuatan besar jika dipahami dari sudut pandang yang tepat. Justru, dengan dukungan yang seimbang dari lingkungan kerja dan upaya dari individu itu sendiri, gen Z bisa menjadi pionir baru dalam dunia kerja.