Mengenal Hustle Culture, Obsesi Anak Muda Zaman Now

Akhir-akhir ini, hustle culture jadi tren di kalangan anak muda. Yuk, cari tahu arti serta dampak positif dan negatifnya di sini.
Sumber : Envato

Pernah mendengar istilah hustle culture? Ternyata, istilah ini sudah menjadi fenomena yang sangat lekat dengan gaya hidup anak muda zaman sekarang, khususnya mereka yang terobsesi ingin sukses lebih cepat.

Kalimat-kalimat seperti “kerja keras biar bisa beli rumah sebelum umur 30” atau “tidur siang itu buat yang gagal” sering bertebaran di media sosial. Tak sedikit pula generasi muda yang menjadikannya motivasi tetapi juga tak sedikit yang merasa tertekan. 

Di satu sisi, budaya ini sekilas terlihat keren karena menunjukkan semangat anak muda untuk terus bekerja keras tanpa henti. Namun, di balik itu semua, tersimpan cerita tentang tekanan, kelelahan, bahkan krisis kesehatan mental.

Apa Itu Hustle Culture?

hustle culture
Sumber : Envato

Sederhananya, hustle culture adalah budaya kerja keras yang mendorong individu untuk terus produktif tanpa henti, bahkan sampai harus mengorbankan kesehatan dan waktu untuk diri sendiri. Fenomena ini mirip seperti workaholism atau kecanduan kerja. Bedanya, hustle culture dibungkus dalam citra glamor dan bahkan dianggap sebagai success lifestyle.

Bayangkan saja kamu bangun tidur langsung cek email, berangkat kerja lalu lembur hingga larut malam. Bahkan, setelah pulang pun kamu masih harus mengerjakan pekerjaan sampingan. Aktivitas semacam ini dianggap normal untuk zaman sekarang, bahkan keren. 

Padahal, fenomena ini membuat orang tidak mengenal batas kapan waktunya untuk kerja dan kapan waktunya untuk istirahat serta meluangkan waktu untuk diri sendiri.

Melansir laman Jobstreet, hustle culture membuat banyak orang percaya bahwa kesuksesan hanya bisa diraih dengan terus bekerja tanpa henti. Padahal, pola pikir ini menciptakan standar baru yang tidak realistis dan cenderung merusak keseimbangan hidup.

Mengapa Anak Muda Terobsesi dengan Hustle Culture?

Fenomena ini sangat menjamur di kalangan anak muda zaman sekarang. Ada beberapa alasan mengapa mereka mudah terjebak dalam obsesi ini.

1. Pengaruh media sosial

Media sosial memainkan peran krusial dalam membentuk persepsi masyarakat terkait apa itu sukses. Di Instagram dan LinkedIn, kamu bisa melihat bagaimana orang-orang seusiamu sudah punya bisnis, rumah, karier mapan, atau bahkan bisa jalan-jalan ke luar negeri. 

Melihat itu, kamu mungkin akan merasa tertinggal. Akhirnya, muncul dorongan untuk bekerja lebih keras lagi agar terlihat setara dengan mereka.

Sebuah studi yang dikutip oleh laman DJKN Kemenkeu, 45% pengguna media sosial cenderung senang menunjukkan betapa sibuknya hidup mereka. Misalnya, mengunggah foto saat lembur atau membagikan cerita tentang target besar yang mereka kejar. Nah, kebiasaan ini menciptakan efek domino, yakni orang lain terdorong untuk membuktikan bahwa hidupnya juga produktif.

2. Standar sosial yang tinggi

Masyarakat Indonesia sering mengukur kesuksesan dari jabatan, gaji, atau kepemilikan materi. Misalnya, anak muda saat ini menciptakan target tidak realistis seperti “harus punya rumah sebelum usia 30”. Pada akhirnya, mereka akan terjebak pada standar sosial karena takut dicap tidak sukses jika belum mencapainya.

3. Perkembangan teknologi

Kemajuan teknologi memang membuka banyak lapangan kerja. Namun kemajuan ini juga membuat banyak individu sulit untuk mewujudkan work-life balance. Dengan adanya model kerja remote dan komunikasi jarak jauh, pekerjaan bisa dilakukan kapan saja dan bahkan di luar jam kerja. Akibatnya, banyak anak muda usia produktif yang merasa harus selalu available hingga berpikir bahwa 24 jam sehari itu tidak cukup.

4. Rasa takut tertinggal (FOMO)

Generasi muda saat ini tumbuh di era yang serba cepat. Kamu bahkan bisa mendapatkan informasi dari mana saja. Bahkan peluang karier pun rasanya sangat tidak terbatas asalkan kamu mau mencarinya.

Sayangnya, hal ini justru memicu perasaan takut tertinggal atau istilah kerennya FOMO (Fear of Missing Out). Kalau teman sebaya terlihat lebih sukses karena punya jabatan atau usaha yang berhasil, kamu pun merasa harus mengikuti jejak mereka meskipun tubuh dan pikiran sudah sangat kelelahan.

Hustle Culture, Tren Positif atau Negatif

hustle culture
Sumber : Envato

Lantas, apakah hustle culture membawa manfaat atau justru merugikan?

Jika dilihat dari sisi positifnya, harus diakui bahwa bekerja keras memang bisa membantu kamu mencapai cita-cita lebih cepat. Budaya ini juga memupuk mental disiplin, rasa tanggung jawab, dan motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih berkembang. Bagi sebagian orang, hustle culture justru menjadi pendorong untuk berani keluar dari zona nyaman dan menggapai impian.

Namun di sisi lain, hustle culture juga membawa dampak buruk terhadap kesehatan. Menurut Current Cardiology Reports yang dilansir oleh DJKN Kemenkeu, pekerja dengan jam kerja lebih dari 55 jam per minggu justru berisiko terkena penyakit jantung. Penelitian lain juga mengungkap bahwa produktivitas karyawan justru menurun bila mereka bekerja lebih dari 48 jam seminggu.

Selain berdampak buruk pada kesehatan fisik, fenomena hustle culture ini juga berdampak serius terhadap kesehatan mental. Banyak anak muda mengaku mengalami burnout, yakni kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental akibat bekerja secara berlebihan. Biasanya, gejalanya berupa sulit tidur, mudah marah, kehilangan motivasi, bahkan depresi.

Dari segi sosial, hustle culture membuat seseorang kehilangan waktu untuk diri sendiri atau bahkan orang-orang terkasih. Hubungan personal juga menjadi terabaikan dan hidup rasanya hanya soal pekerjaan. Sayangnya, banyak yang tetap merasa tak pernah puas karena kecenderungan untuk terus membandingkan diri dengan orang lain.

Jadi, hustle culture lahir dari semangat untuk terus bekerja kerja. Namun dalam praktiknya, fenomena ini berubah menjadi obsesi. Anak mudah zaman sekarang bahkan terjebak di dalamnya karena pengaruh tekanan sosial, media, hingga kemajuan teknologi. Meskipun ada sisi positifnya seperti motivasi dan disiplin, tetap saja ada dampak negatifnya yang harus diperhatikan, seperti burnout dan hilangnya kehidupan sosial.

Pada akhirnya, sukses itu bukan soal jabatan maupun materi atau bahkan diukur dari seberapa lama kamu bekerja atau seberapa cepat kamu bisa kaya. Sukses adalah saat kamu mampu menciptakan keseimbangan dalam hidup, tahu kapan waktunya bekerja dan kapan waktunya berkumpul bersama orang-orang terkasih. Ingat, kamu bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.

Leave a Reply