Menilik Tren Meromantisasi Gangguan Mental

Fenomena meromantisasi gangguan mental kian marak di media sosial. Ketahui bahayanya dan pahami cara menyikapi isu kesehatan mental dengan bijak.
Sumber : Envato

Masyarakat Indonesia mulai aktif menggaungkan isu kesehatan mental di ranah publik. Di satu sisi, meningkatnya kesadaran ini jelas patut diapresiasi karena menunjukkan bahwa masyarakat mulai peduli terhadap kondisi psikologis mereka. Namun, di sisi lain, muncul fenomena yang membutuhkan perhatian, yakni tren meromantisasi gangguan mental.

Tren meromantisasi kondisi mental muncul di media sosial, musik, hingga bahkan konten kreatif yang menggambarkan gangguan mental sebagai sesuatu yang estetik dan layak untuk dibanggakan. Contoh paling nyata adalah ketika ada penyanyi muda mencuitkan kalimat yang dianggap cukup mengglorifikasi kondisi mental yang tak pernah stabil. Dari sini muncul banyak perdebatan, apakah berbicara soal isu kesehatan mental dengan gaya ekspresif merupakan sesuatu yang wajar atau justru menimbulkan dampak negatif bagi orang lain?

Masalah Kesehatan Mental Memang Serius

gangguan mental
Sumber : Envato

Kesehatan mental jelas bukan topik yang ringan. Dalam buku Psikoedukasi Deromantisasi Gangguan Mental pada Komunitas Online yang dilansir dalam artikel Kumparan, individu yang mengalami gangguan mental sering kali mengalami penurunan kualitas hidup, enggan mencari bantuan, bahkan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Kondisi mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan bipolar bukan sekadar label, melainkan kondisi serius yang harus ditangani oleh tenaga profesional.

Sementara itu, psikologis klinis Tara Adhisti de Thouars dari Universitas Indonesia juga menegaskan bahwa gangguan mental sering kali disebabkan oleh diri sendiri yang terlalu menekan diri karena tuntutan hidup dan kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Dalam kondisi seperti ini, mencari bantuan profesional adalah solusi terbaik, bukan malah menggunakannya sebagai bahan untuk mencari atensi dan validasi.

Sayangnya, tak sedikit orang, khususnya mereka yang aktif di media sosial, justru menjadikan isu-isu kesehatan mental sebagai ajang aktualisasi diri. Alih-alih fokus pada pemulihan, mereka malah sibuk menonjolkan sisi yang dianggap “unik” yang seolah berasal dari kondisi mental tersebut.

Tapi Gangguan Mental Tidak untuk Diromantisasi

Melek dan peduli soal isu kesehatan mental memang penting, tetapi bukan untuk diromantisasi. Faktanya, di media sosial saat ini banyak sekali konten-konten yang menggambarkan depresi atau kecemasan sebagai sesuatu yang estetik, puitis, dan keren. 

Melansir laman ITS Online, kondisi semacam ini sering kali dipahami sebagai beautifully painful, yakni rasa sakit dianggap sebagai sesuatu yang indah dan layak untuk dipamerkan. Sebenarnya tidak masalah jika menunjukkan rasa sakit itu. Namun jika dilakukan secara berlebihan, justru bisa menimbulkan miskonsepsi. Gangguan mental yang sebenarnya sangat kompleks malah dipersempit menjadi sekadar simbol estetika.

Bahkan, ada anggapan bahwa makin menyedihkan pengalaman hidup seseorang, makin layak orang tersebut untuk dipandang menarik. Inilah yang membuat fenomena meromantisasi gangguan mental berbahaya. Padahal, gangguan mental bukan kompetisi siapa yang kondisinya paling “rusak”. Bagi pengidap nyata, glorifikasi ini justru malah memperkuat stigma dan membuat mereka enggan mencari pertolongan.

Ciri-Ciri Orang yang Meromantisasi Gangguan Mental

gangguan mental
Sumber : Envato

Agar kamu lebih waspada, di bawah ini ada beberapa ciri orang yang cenderung meromantisasi kondisi mental, berdasarkan hasil telaah dari beberapa artikel.

1. Mudah menjustifikasi perasaan negatif sebagai gangguan mental

Perasaan sedih sering kali diartikan sebagai depresi. Padahal, kesedihan adalah emosi wajar yang bukan berarti ada masalah psikologis berat. Namun, di media sosial, perasaan sedih justru dikemas seperti cerita tragis yang memiliki nilai estetika.

2. Mengglorifikasi gangguan mental sebagai estetika

Foto-foto melukai diri, kutipan depresi, atau bahkan konten “gelap” sering dianggap keren. Padahal, menurut Cambridge Dictionary, aesthetic atau estetik adalah sesuatu yang menyenangkan untuk dilihat. Jelas, gangguan mental bukan sesuatu yang indah, melainkan kondisi kesehatan yang membutuhkan penanganan serius.

3. Menolak upaya untuk menyembuhkan diri

Alih-alih mencari bantuan profesional, sebagian orang justru lebih memilih untuk menunjukkan citra “rusak” di media sosial”. Tindakan semacam ini tidak hanya memperburuk kondisi pribadi, melainkan juga melemahkan pesan penting bahwa kondisi mental harus mendapatkan penanganan yang tepat.

4. Memperkuat stereotip yang tidak akurat

Tak sedikit orang yang menganggap bahwa penderita gangguan mental itu otomatis jenius, kreatif, atau bahkan misterius. Faktanya, kondisi setiap orang yang mengalami gangguan mental itu berbeda-beda. Otomatis, anggapan semacam ini justru menambah stigma buruk dan membuat pemahaman masyarakat makin keliru soal kesehatan mental.

Jadi, Stop Meromantisasi Gangguan Mental

Pada dasarnya, semua lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menghentikan tren meromantisasi gangguan mental. Pertama, pahamilah bahwa gangguan mental bukan bahan untuk konten di media sosial yang dikemas agar terkesan estetik. Bagi mereka yang benar-benar mengalaminya, perjuangan mereka penuh dengan rasa sakit.

Kedua, berhentilah menganggap bahwa gangguan mental sebagai tren kekinian. Kesehatan mental itu nyata dan merupakan masalah serius yang harus ditangani oleh profesional. Jadi, kalau kamu merasa ada yang tidak beres dengan mental kamu, lebih baik segera konsultasi ke psikolog atau psikiater alih-alih mengunggah konten dramatis di media sosial.

Ketiga, biasakan diri untuk kritis terhadap semua konten media sosial yang kamu konsumsi. Pasalnya, tak semua yang terlihat menarik itu benar. Ingat, banyak orang di media sosial hanya menampilkan sisi terbaik atau sisi paling menyedihkan dari hidupnya untuk mendulang atensi. Jangan sampai kamu terbawa arus yang justru merugikan kesehatan mentalmu sendiri.

Terakhir, mari belajar mengubah pola pikir. Daripada meromantisasi gangguan mental dan menganggapnya sebagai sesuatu yang keren, lebih baik membangun empati untuk mendukung orang-orang terdekat yang benar-benar sedang berjuang melawan kondisi tersebut. Sebab, dukungan nyata jauh lebih berarti dan berdampak daripada sekadar validasi online.

Leave a Reply