
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat bahwa sektor ini menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional dan bahkan menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB).
Sayangnya, meski UMKM memiliki kontribusi besar, kredit masih sulit mengucur ke UMKM. Banyak pelaku UMKM mengaku kesulitan mendapatkan akses permodalan formal baik dari lembaga perbankan maupun non-perbankan.
Penyebabnya banyak, di antaranya rendahnya literasi finansial, lemahnya pencatatan administrasi, hingga keterbatasan jaminan. Namun ada yang menarik di sini, yakni soal rendahnya literasi keuangan. Benarkah hal tersebut jadi biang utama mengapa pelaku UMKM sulit mendapatkan akses pembiayaan?

Salah satu tantangan terbesar bagi pelaku UMKM di Indonesia adalah kurang optimalnya pencatatan keuangan. Menurut Adityo Putranto dari Amartha seperti yang dilansir oleh Liputan6, banyak pelaku usaha yang bahkan belum memiliki laporan arus kas sederhana.
Padahal, lembaga keuangan sendiri membutuhkan dana akurat untuk bisa menilai kelayakan pinjaman calon kreditur. Tanpa adanya catatan keuangan usaha, wajar jika bank ragu memberikan pinjaman.
Kondisi ini menciptakan suatu rantai yang sulit untuk diputus. UMKM jelas butuh modal untuk bisa berkembang, tetapi mereka tidak mampu mendapatkannya karena rendahnya literasi keuangan. Alhasil, mereka harus bertahan dengan modal terbatas. Padahal produk mereka memiliki potensi besar untuk bisa mendapatkan pasar yang lebih luas.
Selain itu, masih banyak pelaku usaha yang tidak mampu memisahkan mana yang termasuk uang pribadi dan mana yang termasuk uang bisnis. Mungkin sepele tetapi bisa berdampak buruk terhadap kemampuan kredit pelaku UMKM itu sendiri karena kreditur menganggap calon debitur tidak mampu membayar kredit setelah melihat arus kas bisnis mereka yang tidak transparan.
Selain soal pembukuan, ada faktor struktural lain yang menghambat akses kredit bagi UMKM. Pertama, distribusi kredit di Indonesia masih terlalu Jawa sentris. Data pada kuartal I 2025 menunjukkan 55,89% penyaluran kredit UMKM hanya berputar di Pulau Jawa sementara wilayah lainnya masih sulit terjangkau.
Kedua, sektor yang mendapatkan kredit juga cenderung terbatas. Hampir separuh dari penerima kredit merupakan UMKM yang bergerak di bidang perdagangan. Sementara itu, sektor pertanian, perikanan, dan industri pengolahan yang sebenarnya menyerap banyak tenaga kerja justru kurang mendapatkan dukungan.
Ketiga, biaya pinjaman yang tinggi juga menjadi penghambat. Saat ini, suku bunga dasar kredit UMKM berada di kisaran 9,55% hingga 10,28% per tahun. Sementara itu, bagi usaha mikro dengan margin keuntungan tipis, angka ini jelas berat bagi mereka. Oleh sebab itu, banyak sekali pelaku usaha memilih untuk menghindar dari pinjaman bank meskipun sebenarnya mereka sangat membutuhkan tambahan modal.
Di sisi lain, ada faktor psikologis berupa stigma negatif terhadap utang. Sebagian pelaku usaha masih menganggap utang identik dengan masalah keuangan. Padahal, utang produktif yang dikelola dengan bijak bisa membantu meningkatkan pertumbuhan usaha.

Di tengah sulitnya akses kredit konvensional, fintech hadir sebagai alternatif. Melalui skema pinjaman digital atau pembiayaan modal usaha, UMKM bisa mengajukan pendanaan dengan syarat yang lebih fleksibel. Teknologi yang diterapkan oleh fintech seperti sistem untuk menganalisis rekam jejak transaksi digital calon debitur membuat proses background checking menjadi lebih efisien.
Selain itu, OJK sendiri telah menerbitkan kebijakan terkait Pemeringkatan Kredit Alternatif (PKA) pada 2024. Aturan ini memungkinkan kreditur untuk menilai kelayakan debitur melalui data digital lain yang relevan. Jadi, penilaian kelayakan debitur tidak hanya mengandalkan laporan keuangan formal.
Namun, peran fintech tetap tidak sepenuhnya bisa menggantikan pentingnya literasi digital dan finansial. Tanpa adanya pemahaman soal fintech itu sendiri, pelaku usaha bisa saja salah dalam memanfaatkan fasilitas pinjaman. Literasi digital juga tak kalah penting agar pelaku UMKM tidak terjebak pada pinjaman online ilegal.
Dengan kata lain, teknologi pada dasarnya hanyalah alat. Tanpa adanya edukasi yang memadai, maka pelaku UMKM tetap akan kesulitan memanfaatkan peluang yang ada.
Sebenarnya ada banyak sekali program yang telah diluncurkan untuk membantu UMKM agar lebih naik kelas, salah satunya Futuremakers Innofound Programme. Program ini tidak hanya ditujukan untuk menyalurkan pinjaman, tetapi juga memberikan pendampingan pada UMKM terkait pencatatan keuangan.
Dari pengalaman yang didapatkan dari program tersebut, pelaku usaha bisa belajar bagaimana caranya menyusun laporan keuangan bisnis secara lebih rapi. Mereka juga pada akhirnya bisa memahami betapa pentingnya memisahkan keuangan pribadi dengan keuangan bisnis.
Puni Ayu Anjungsari dari Standard Chartered Indonesia seperti yang dilansir oleh laman Marketing, menegaskan bahwa pendampingan ini lebih dari sekadar teori. Para pelaku UMKM juga diajak untuk praktik langsung agar memahami bagaimana pencatatan keuangan yang rapi bisa membuat akses permodalan menjadi lebih mudah. Bahkan, pelaku usaha yang belum lolos program pun masih tetap mendapatkan manfaat, yakni berupa edukasi literasi finansial.
Nah, program tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa edukasi finansial harus diperluas hingga seluruh daerah di Indonesia. Sebab, banyak pelaku UMKM di daerah masih kesulitan dalam memahami mekanisme pendanaan, bahkan mereka pun masih kesulitan dalam memahami istilah-istilah keuangan.
Edukasi juga berperan untuk mengubah pola pikir pelaku usaha terkait pinjaman. Jika selama ini utang dianggap sebagai beban, maka pelaku usaha perlu diarahkan bahwa utang produktif justru bisa menjadi motor untuk mengembangkan bisnis. Dengan catatan, pelaku usaha bisa disiplin dalam mengalokasikan sebagian pendapatan usaha untuk membayar cicilan, maka utang bisa menjadi modal untuk ekspansi usaha, bukan jerat finansial.
Jadi, memang literasi keuangan yang rendah menjadi salah satu alasan mengapa kredit masih sulit mengucur ke UMKM. Sebab, dengan literasi keuangan yang mumpuni, otomatis pelaku UMKM mampu membuat laporan keuangan dengan rapi sehingga bisa mengajukan pinjaman modal, bahkan ke lembaga perbankan.
Selain itu, literasi keuangan juga membantu pelaku usaha untuk bisa mencari peluang permodalan sehingga tidak sepenuhnya bergantung pada lembaga konvensional. Pada akhirnya, meningkatkan literasi bukan hanya soal membuka akses pembiayaan, tetapi juga menjadi kunci agar UMKM bisa terus bertahan dan bahkan tumbuh lebih kuat sehingga mampu memberikan kontribusi lebih besar bagi perekonomian Indonesia.