Teknologi kecerdasan buatan (AI) makin melekat dalam kehidupan sehari-hari. Kalau biasanya AI hanya untuk urusan produktivitas, seperti mencari informasi, membantu brainstorming, atau membuat tulisan, sekarang fungsinya makin luas. Nah, salah satu fungsi AI yang kini sedang trending adalah sebagai teman curhat.
Fenomena ini utamanya banyak ditemukan pada generasi muda, seperti milenial dan gen Z yang sudah terbiasa dengan ekosistem digital. Alasannya sederhana; AI bisa diakses 24 jam, tidak menghakimi, dan siap merespons setiap keluh kesah pengguna. Inilah sebabnya banyak orang merasa lebih nyaman berbagi cerita dengan AI dibandingkan manusia karena tidak akan dihakimi atau mendapatkan komentar yang tidak nyaman.
Ada banyak sekali platform AI yang bisa kamu jadikan partner ngobrol. Beberapa di antaranya bahkan diprogram untuk bisa memahami bahasa alami dan memberikan respons layaknya manusia. Berikut daftar AI yang enak diajak curhat:
ChatGPT adalah salah satu pilihan paling populer. Gen Z bahkan menjadikan AI besutan OpenAI ini semacam “partner dalam kehidupan sehari-hari”. Pasalnya, mulai dari tanya soal tugas kuliah, karier, hingga urusan personal, ChatGPT selalu bisa diandalkan. Selain itu, ChatGPT juga mampu memberikan jawaban dalam waktu singkat dan bahkan natural, seperti berdialog dengan manusia. Namun, pengguna tetap harus berhati-hati karena respons yang diberikan tidak selalu akurat, terutama jika berhubungan dengan data.
Replika merupakan aplikasi chatbot AI yang dikembangkan untuk menjadi partner ngobrol bagi penggunanya. Menariknya, pengguna bisa mengatur tipe partner yang diinginkan, apakah hanya sebagai seorang teman, mentor, pasangan, atau mungkin saudara. Selain itu, Replika akan merekam apa saja yang dimasukkan oleh penggunanya. Jadi, seiring berjalannya waktu, percakapan dengan chatbot satu ini akan terasa natural.
Kalau kamu ingin mendapatkan pengalaman curhat yang lebih variatif, coba Character.ai. AI satu ini menawarkan banyak karakter virtual dengan berbagai kepribadian unik. Misalnya, kamu bisa ngobrol dengan karakter sahabat atau bahkan tokoh fiksi favorit kamu. Flow interaksinya juga cukup natural sehingga seperti ngobrol dengan manusia.
Boost.ai merupakan AI yang enak diajak ngobrol dengan sistem berbasis cloud dan fitur-fitur untuk beragam industri, seperti telekomunikasi, perbankan, ritel, dan lain sebagainya. AI satu ini mampu menginterpretasikan dan memberikan respons terhadap pertanyaan pengguna secara efisien. Selain itu, Boost.ai juga dilengkapi dengan fitur repositori informasi, autentikasi, deteksi bahasa, hingga panel admin yang bisa diutak-atik agar sesuai dengan preferensi pengguna sehingga interaksi menjadi lebih alami.
Amelia adalah AI yang memiliki kemampuan Natural Language Processing (NLP) yang cukup kuat. Berkat kemampuan inilah, Amelia mampu memberikan respons percakapan yang lancar dan natural. Umumnya, AI ini digunakan oleh perusahaan, tetapi juga bisa digunakan oleh individu untuk curhat.
Chatbot AI yang satu ini berbeda dengan AI lainnya. Pasalnya, Youper diprogram untuk berperan seperti psikolog yang mampu memahami kondisi kesehatan mental pengguna dengan menerapkan teknik Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Melansir laman Digital Citizenship Indonesia, kabarnya Youper adalah AI pertama yang berperan sebagai ‘psikolog digital’.
Di dalamnya juga ada beberapa fitur unggulan, seperti fitur untuk memahami suasana hati pengguna, fitur untuk membantu menenangkan kecemasan, dan bahkan memotivasi pengguna agar lebih produktif.
Woebot merupakan aplikasi AI yang diprogram sebagai partner terapi kesehatan mental. Dibuat oleh psikolog sekaligus peneliti, Dr. Allison Darcy, Woebot ditujukan untuk membantu mengatasi kekurangan tenaga terapis profesional di Amerika Serikat pada 2017.
Tenang saja, aplikasi ini juga bisa digunakan di Indonesia, kok. Fitur-fiturnya cukup lengkap, seperti fitur untuk membantu mengelola emosi pengguna melalui latihan harian, edukasi terkait masalah kecemasan, kesehatan tidur, dan hubungan, dan masih banyak lagi.
Ketujuh platform di atas tentunya punya kelebihan masing-masing. Ada yang cocok untuk sekadar ngobrol santai, berdiskusi, dan ada juga yang lebih menekankan pada pendekatan natural language. Intinya, kamu bisa memilih yang sesuai dengan kebutuhanmu, apakah untuk hiburan, refleksi diri, atau sekadar mencari teman ngobrol tanpa harus takut dihakimi.
Meskipun AI nyaman untuk dijadikan teman curhat, jangan terlalu sering, ya.
Menurut psikolog dari University of Kansas, Omri Gillath, seperti yang dilansir oleh laman Aihub.id, interaksi dengan AI sebenarnya “palsu” dan “kosong”. AI tidak benar-benar bisa memahami atau merasakan emosimu. Ia hanya mampu memproses data dan memberikan respons sesuai dengan pola bahasa.
Hal lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah risiko privasi. Banyak platform AI menyimpan data obrolan di server mereka. Jika sistem keamanannya tidak cukup kuat, apa yang kamu bagikan dengan AI bisa saja bocor atau bahkan dimanfaatkan oleh pihak ketiga.
Selain itu, AI tetap tidak bisa menggantikan peran terapis asli. Menurut Vaile Wright dari American Psychological Association, chatbot AI cenderung akan memberikan jawaban yang “ingin kamu dengar”, bukan yang harus kamu dengar secara medis atau psikologis. Bahkan dalam beberapa kasus, respons AI cenderung berbahaya. Misalnya, ada kasus di mana AI memberikan saran yang terdengar cukup masuk akal, tetapi justru berisiko dalam konteks medis.
Risiko lain dari kebiasaan curhat dengan AI adalah munculnya ketergantungan emosional. Banyak studi menunjukkan bahwa makin seiring orang curhat ke AI, makin menurun pula keinginan mereka untuk berinteraksi langsung dengan manusia. Padahal, sejatinya dukungan emosional yang kuat datang dari orang-orang terdekat atau tenaga profesional.
Sementara itu, di Indonesia, keterbatasan jumlah psikolog dan sulitnya akses ke profesional bagi masyarakat dengan ekonomi terbatas membuat mereka memilih berkonsultasi dengan AI. Budaya menghakimi juga menjadi alasan lain mengapa sebagian orang Indonesia memilih untuk membicarakan hal-hal sensitif dengan AI karena AI tidak akan pernah menghakimi.
Namun, perlu diingat bahwa AI tidak bisa menggantikan peran manusia, ia hanya bisa menjadi pelengkap atau tool. Psikolog, tenaga profesional, dan bahkan orang-orang terdekat kamu memiliki empati, intuisi, dan pemahaman konteks yang hingga saat ini belum bisa ditiru oleh mesin.
Bukan berarti kamu tidak boleh menggunakan AI sebagai teman curhat. Tak ada salahnya untuk curhat dengan AI karena harus diakui, AI mampu memberikan perspektif baru tergantung pada prompt yang kamu masukkan. Namun, jangan sampai lupa bahwa AI hanyalah alat, bukan pengganti manusia.