Pernah gak kamu masuk ke rumah tua peninggalan zaman Belanda lalu merasakan hawa sejuk yang berbeda? Rasanya adem meskipun tidak ada AC atau bahkan kipas. Ternyata, alasan mengapa rumah zaman Belanda dingin adalah karena desain arsitekturnya yang sangat memperhatikan kenyamanan iklim tropis Indonesia.
Meskipun saat ini kota-kota besar sudah sangat berkembang, masih banyak bangunan kolonial yang berdiri tegak. Contohnya saja Lawang Sewu di Semarang, Gedung Sate di Bandung, atau rumah-rumah bergaya indis di Solo dan Yogyakarta. Bangunan-bangunan itu memiliki satu kesamaan, yakni dinding tebal, plafon tinggi, dan jendela besar. Semua detail konstruksi ini mampu membuat suhu dalam ruangan terasa lebih stabil dan cenderung dingin.
Menariknya, ada penelitian yang menunjukkan bahwa suhu dalam rumah kolonial rata-rata bisa 3-5 derajat lebih rendah dibandingkan dengan suhu di luar ruangan. Dengan demikian, arsitektur zaman itu sebenarnya sangat mendukung konsep “green building” bahkan sebelum konsep tersebut populer seperti sekarang.
Guna memahami alasan mengapa rumah zaman Belanda dingin, penting untuk memahami sejarah pembangunannya. Sejak akhir abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda di Indonesia mulai memperkenalkan gaya arsitektur indis. Gaya ini merupakan hasil kombinasi antara desain arsitektur Eropa dengan kearifan lokal Nusantara.
Awalnya, para arsitek dari Belanda yang datang ke Hindia Belanda membawa konsep rumah bergaya Eropa yang terkenal dengan atapnya yang rendah dan berdinding tipis. Hanya saja, iklim tropis yang panas dan lembap membuat desain tersebut kurang cocok. Akhirnya, para arsitektur tersebut mencoba menyesuaikannya dengan menambahkan beberapa arsitektur lokal, seperti ventilasi lebar, penggunaan material batu alam, dan atap limasan khas rumah Jawa.
Menurut penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta yang dilansir oleh Detik, rumah indis dibangun menggunakan prinsip thermal comfort atau kenyamanan termal. Tujuannya agar penghuni rumah betah di dalam rumah meskipun cuaca di luar sedang terik dan bahkan mencapai 35 derajat Celcius. Inilah alasan mengapa banyak rumah zaman Belanda dingin dan tetap nyaman hingga sekarang meskipun usianya sudah lebih dari satu abad.
Selain itu, rumah Belanda umumnya memiliki halaman luas, taman depan, dan kolam kecil. Nah, elemen-elemen hijau semacam ini efektif untuk menurunkan suhu udara sekitar. Jadi, rumah Belanda bukan hanya bangunan tempat tinggal, melainkan juga sebagai cerminan strategi arsitektur yang sangat memperhatikan lingkungan.
Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa faktor yang membuat rumah zaman Belanda dingin. Yuk, simak.
Salah satu ciri khas utama rumah bergaya kolonial adalah dindingnya yang sangat tebal. Menurut dosen UGM, Ashar Saputra, melalui Kompas, dinding tebal berfungsi untuk meredam suhu panas dari luar. Selain itu, rumah khas kolonial umumnya menggunakan batu bata. Material ini sendiri mampu menyerap panas pada siang hari dan melepaskannya secara perlahan pada malam hari. Hasilnya, kestabilan suhu di dalam rumah tetap terjaga.
Ciri khas lain dari rumah Belanda adalah plafonnya yang menjulang hingga 4-6 meter. Desain ini tujuan bukan hanya untuk estetika, melainkan strategi agar udara panas yang masuk bisa naik ke atas. Selain itu, di bagian atap biasanya juga ada ruang loteng yang lumayan besar. Fungsinya untuk menangkap udara panas dan membuangnya keluar. Dengan begitu, ruangan di bawah tetap adem.
Rumah Belanda juga terkenal dengan desain jendela yang besar dan pintu berderet. Menurut Dalhar Susanto dari Universitas Indonesia melalui Kompas, desain ini ditujukan untuk memperlancar sirkulasi udara. Jadi, angin yang masuk dari satu sisi rumah akan keluar melalui sisi lain sehingga terciptalah efek ventilasi silang (cross ventilation). Dengan adanya aliran udara yang terus bergerak ini, maka hawa dalam rumah terasa segar.
Faktor lain yang membuat rumah zaman Belanda dingin adalah penggunaan material alam untuk lantainya, seperti dari granit, teraso, atau marmer. Material ini bisa menyerap panas sekaligus memberikan sensasi sejuk ketika disentuh. Ini juga menjadi alasan mengapa jika berjalan tanpa alas kaki di rumah kolonial terasa lebih adem dibandingkan rumah modern yang menggunakan keramik.
Jika diperhatikan, banyak rumah kolonial menggunakan cat berwarna netral, seperti putih, krem, atau cokelat muda. Warna-warna netral ini membantu memantulkan panas matahari sehingga dinding tidak menyerap terlalu banyak energi panas. Meskipun sekilas terkesan sederhana, justru elemen desain ini berkontribusi besar dalam menjaga suhu dalam rumah tetap nyaman.
Selain atap utama yang tinggi, rumah Belanda juga umumnya memiliki overhang atau tritisan yang lebar. Bagian ini sendiri berfungsi untuk melindungi dinding dari paparan langsung sinar matahari. Dengan begitu, suhu panas yang masuk ke dalam ruangan bisa dikurangi.
Penempatan lorong dan pintu rumah juga menjadi aspek yang sangat diperhatikan dalam pembangunan rumah Belanda. Misalnya, pintu utama biasanya berada di ujung jalan agar angin bisa langsung masuk ke dalam rumah. Selain itu, juga ada pintu penghubung antarruangan di dalam rumah untuk membantu menciptakan sirkulasi udara secara alami.
Nah, dari uraian di atas, jelas sekali bahwa kenyamanan rumah zaman Belanda bukanlah kebetulan semata. Rumah zaman kolonial dingin karena memang desainnya disesuaikan dengan kondisi tropis di Indonesia. Mulai dari dinding tebal, plafon tinggi, jendela besar, hingga lantai dari material alam, semua dipertimbangkan untuk menciptakan rumah yang nyaman. Buat kamu yang berencana membangun rumah, bangunan kolonial bisa kamu jadikan inspirasi.