
Beberapa tahun terakhir, dunia kerja sedang ramai dengan munculnya fenomena quiet quitting. Istilah ini muncul sebagai bentuk respons terhadap budaya kerja yang selalu menuntut seseorang untuk produktif tanpa henti. Menariknya, sebagian besar dari pelaku tren ini adalah gen Z yang kini mulai mempertanyakan makna sebenarnya dari “kerja keras”. Lantas, apa itu quiet quitting sebenarnya?

Istilah quiet quitting pertama kali populer pada sekitar tahun 2022 lewat platform TikTok di Amerika Serikat. Meskipun istilah tersebut secara harfiah berarti “berhenti diam-diam”, fenomena ini bukan berarti seseorang benar-benar mengundurkan diri dari pekerjaannya. Sebaliknya, tren ini menggambarkan sikap bekerja secukupnya dan hanya sesuai dengan tanggung jawab utama tanpa menambah beban kerja ekstra.
Menurut artikel dari The Guardian yang dikutip laman Talenta, quiet quitting merupakan antitesis dari konsep hustle culture yang menganggap pekerjaan adalah segalanya. Karyawan yang menerapkan prinsip ini tetap menyelesaikan semua tanggung jawab pekerjaannya, tetapi menolak bekerja di luar jam kantor, membalas pesan kerja saat akhir pekan, hingga menolak pekerjaan tambahan di luar job desk-nya. Dengan begitu, mereka tetap menjalankan kewajiban profesionalnya, tetapi juga mampu mewujudkan work-life balance.
Tak sedikit juga yang menganggap quiet quitting sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kerja yang terlalu menuntut. Namun, ada juga yang menganggap fenomena ini sebagai bentuk kesadaran baru akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan profesional dan kehidupan pribadi serta kesehatan mental.
Di Jepang, tren quiet quitting sudah menjadi gaya hidup baru yang dijalani oleh banyak pekerja muda. Berdasarkan survei Mynavi yang dikutip oleh detikEdu, sekitar 45% karyawan penuh waktu di Jepan telah menerapkan tren quiet quitting dan 46,7% di antaranya merupakan gen Z yang berusia 20-an tahun.
Sementara itu, menurut Akari Asahini, peneliti dari Mynavi Career Research Lab, fenomena ini menunjukkan bahwa dunia profesional saat ini mulai menerima keberagaman gaya bekerja. Tak semua orang memiliki ambisi untuk naik jabatan atau mengejar penghasilan lebih tinggi. Banyak juga yang memilih untuk bekerja stabil, mendapatkan penghasilan cukup, dan bisa menikmati hidup di luar pekerjaan.
Dalam survei yang sama, sebanyak 60% responden mengaku menerapkan quiet quitting karena sudah puas dengan kondisi kerja mereka saat ini. Mereka merasa cukup dengan pekerjaan yang ada dan ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk diri sendiri maupun bersama orang-orang terkasih. Banyak 70% dari responden menyatakan ingin melanjutkan kebiasaan tersebut di masa yang akan datang.
Fenomena ini menunjukkan adanya perubahan besar dalam pola pikir generasi saat ini terhadap pekerjaan. Jika pada generasi sebelumnya kesuksesan diukur dari jabatan, kini lebih banyak anak muda yang menilai kesuksesan dari seberapa imbang hidup mereka antara karier dan kebahagiaan pribadi.

Setelah memahami apa itu quiet quitting, mungkin banyak dari kamu yang penasaran apa sebenarnya yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ada beberapa alasan mengapa generasi muda saat ini memilih jalan lain dibanding mengikuti budaya kerja generasi sebelumnya yang serba ambisius.
Selama bertahun-tahun, banyak pekerja muda yang terjebak dalam budaya hustle culture. Budaya ini menganggap bahwa bekerja kerja tanpa henti merupakan satu-satunya cara untuk sukses. Namun, gaya hidup seperti ini membuat orang mudah mengalami burnout.
Di sisi lain, generasi muda seperti gen Z tumbuh di era digital yang penuh dengan tekanan sosial dan informasi. Jadi, wajar sekali apabila mereka menjadi generasi yang sangat sadar akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Dalam hal ini, quiet quitting menjadi salah satu cara untuk melindungi diri dari kelelahan mental di dunia kerja.
Berdasarkan analisis Talenta, salah satu pemicu quiet quitting adalah minimnya apresiasi. Banyak pekerja yang sudah merasa all out dalam bekerja tetapi tidak mendapatkan apresiasi atau bahkan kompensasi yang sepadan. Menghadapi situasi seperti ini, mereka memilih untuk bekerja sesuai dengan bayaran yang mereka dapatkan.
Selain itu, hubungan pekerja dengan atasan juga memainkan peran yang cukup besar. Sebagaimana dijelaskan dalam laporan Harvard Business Review yang dikutip Talenta, banyak manajer mulai introspeksi karena menyadari bahwa gaya kepemimpinan mereka terlalu menekan dan justru membuat karyawan melakukan quiet quitting. Jadi, ketika bawahan merasa tidak didengarkan, wajar jika mereka memilih untuk menurunkan intensitas kerja sebagai bentuk melindungi diri.
Pekerja muda saat ini sangat menghargai pentingnya memiliki kehidupan di luar pekerjaan. Mereka tidak ingin hidup hanya dihabiskan untuk bekerja. Kesadaran akan pentingnya work-life balance ini membuat banyak anak muda menolak untuk terus-menerus lembur atau bahkan membawa pekerjaan ke rumah. Semuanya demi menciptakan batasan yang sehat antara karier dan kehidupan pribadi.
Lantas, apakah fenomena quiet quitting memiliki sisi negatif? Fenomena ini membawa dua sisi yang berbeda, baik untuk perusahaan maupun karyawan. Dari sisi positif, pekerja bisa lebih tenang dan produktif dalam batas wajar. Mereka tidak perlu lagi harus mengalami tekanan mental yang membuat mereka burnout.
Namun, di sisi lain, jika quiet quitting terjadi secara berlebihan, maka bisa berdampak terhadap kinerja tim. Ketika banyak karyawan yang bekerja secukupnya, maka produktivitas perusahaan bisa menurun. Hubungan antaranggota tim pun bisa ikut terpengaruh karena minimnya kolaborasi atau inisiatif.
Sebab itu, perlu adanya keseimbangan. Karyawan tetap harus menjaga tanggung jawab pekerjaannya sementara perusahaan harus mulai terbuka dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan suportif. Jadi, fenomena quiet quitting ini sebenarnya adalah bukti bahwa dunia kerja telah berubah dan perusahaan mau tidak mau harus menyesuaikan diri.