Generasi Muda Mudah Terbawa Arus Algoritma Media Sosial

Generasi muda saat ini hidup di tengah arus algoritma media sosial. Yuk, cari tahu apa dampaknya dan bagaimana caranya untuk tetap berpikir kritis di era digital.
Sumber : Envato

Saat ini, media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap kali kamu membuka ponsel, langsung muncul deretan konten-konten baru, mulai dari berita hingga opini. 

Namun di balik itu semua, ada yang namanya algoritma, yakni sistem yang ‘mengatur’ apa yang kamu sukai dan juga perlahan membentuk cara kamu berpikir. Sebab itulah, banyak yang menilai bahwa generasi muda mudah terbawa arus algoritma media sosial tanpa benar-benar mereka sadari.

Algoritma Media Sosial dan Pengaruhnya

Algoritma Media Sosial
Sumber : Envato

Menurut Rektor Universitas Mercu Buana, Prof. Dr. Andi Adriansyah, seperti yang dikutip dalam artikel Antara News, algoritma media sosial memiliki kemampuan besar dalam membentuk pola pikir, memengaruhi sikap, dan bahkan mengarahkan tindakan seseorang.

Hal tersebut terjadi karena platform digital secara otomatis menampilkan konten yang paling sering kamu tonton, sukai, atau bagaikan. Jadi, makin sering kamu berinteraksi dengan satu jenis informasi, maka makin kuat pula algoritma media sosial menegaskan bahwa konten semacam itulah yang “kamu mau”.

Masalahnya, perusahaan media sosial tidak memiliki tanggung jawab dalam membuat algoritma yang mampu menentukan mana yang benar dan salah. Algoritma dibuat hanya untuk mengetahui apa yang sering kamu lihat. 

Akibatnya, pengguna media sosial bisa terjebak dalam lingkaran informasi yang sifatnya berulang. Fenomena ini sering juga disebut sebagai echo chamber, yakni ketika seseorang hanya ingin mendengar pendapat yang sejalan dengan keyakinannya sendiri. Lama-kelamaan, pandangan berbeda akan dianggap salah dan bahkan ruang dialog yang sehat pun menyempit.

Kondisi semacam ini sangat memengaruhi anak muda yang cenderung sedang mencari jati diri. Tanpa disadari, cara berpikir kritis dan kemampuan refleksi diri bisa menurun meskipun mereka menganggap diri mereka kritis. Terlebih, jika semua pengguna media sosial hanya mengikuti apa yang disodorkan oleh algoritma, maka tidak akan ada lagi yang namanya ide-ide baru.

Fenomena “Bandwagon Effect” di Kalangan Anak Muda

Selanjutnya ada bandwagon effect, fenomena yang dapat memperkuat polarisasi sosial karena masyarakat cenderung mengikuti tren algoritma. Istilah bandwagon effect menggambarkan kecenderungan seseorang untuk mengikuti tren atau opini populer hanya karena banyak pengguna media sosial yang melakukannya. 

Di ranah digital, hal ini bisa berupa mengikuti challenge viral, mendukung tokoh tertentu, atau ikut menyebarkan opini politik tanpa memahami benar substansinya.

Survei dari Napoleon Cat menunjukkan bahwa pengguna media sosial terbesar di Indonesia adalah kelompok usia 18-24 tahun. Artinya, anak muda merupakan kelompok yang paling rentang terhadap bandwagon effect. Karena ketika teman, komunitas, atau influencer yang mereka ikuti melakukan sesuatu di dunia maya, ada dorongan untuk ikut-ikutan agar tidak merasa tertinggal.

Efek ini sebenarnya tak begitu berat, terutama jika hanya ikut-ikutan masalah tren fesyen atau mungkin dance viral. Namun jika sudah merambah ke ranah sosial dan politik, maka bandwagon effect dapat menimbulkan bias besar. 

Pasalnya, ketika seseorang melihat sebuah konten yang mungkin mendapatkan banyak dukungan, ia cenderung percaya bahwa pandangan itu pasti benar. Padahal, kebenaran tidak bergantung pada jumlah “like”, komentar positif, atau bahkan siapa yang menyampaikan.

Dampak Negatif Jika Terbawa Arus Algoritma

Algoritma Media Sosial
Sumber : Envato

Berbicara soal efek negatif dari terlalu mengikuti arus algoritma media sosial, bisa dibilang dampaknya tidak hanya sekadar sulit fokus. Pertama, kemungkinan besar kamu akan kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. 

Ketika kamu hanya fokus melihat konten yang sesuai dengan keyakinanmu, kamu tidak akan tertarik mencari sudut pandang lain. Akibatnya, kamu berpotensi menjadi korban hoaks atau propaganda.

Kedua, kebiasaan ini dapat menurunkan kepekaan sosial. Sebab, saat algoritma hanya menunjukkan hal-hal yang kamu sukai, otomatis kamu akan jarang bersentuhan dengan isu-isu yang berbeda dari yang sebelumnya kamu konsumsi. Lambat laun, kamu bisa kehilangan empati terhadap orang-orang yang memiliki cara berpikir atau hidup dengan cara lain.

Ketiga, terlalu mengikuti algoritma media sosial juga bisa berdampak terhadap sisi psikologis. Salah satunya adalah menjadi terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial. Sudah menjadi hal umum untuk saat ini ketika anak muda merasa tidak cukup dengan dirinya sendiri karena melihat pencapaian orang lain yang terlihat lebih sempurna di media sosial. Padahal, seperti yang dikatakan oleh banyak ahli, apa yang ada di media sosial belum tentu mencerminkan kenyataan.

Selain itu, fenomena di media sosial seperti echo chamber dan bandwagon effect juga dapat memperkuat terjadinya polarisasi masyarakat. Orang menjadi cenderung mudah terprovokasi, baik dalam urusan politik atau bahkan gaya hidup. 

Misalnya, ketika algoritma terus menampilkan konten-konten dari satu kubu politik, maka pengguna cenderung makin yakin bahwa kubu itulah yang paling benar. Akibatnya, ruang dialog sehat menjadi sempit dan konflik di media sosial pun terbawa ke dunia nyata.

Menurut John Ias Ganesha, pendiri Voice of Democracy Indonesia seperti yang dikutip oleh RRI, sikap terbuka atau open minded penting untuk dimiliki agar tidak terjebak dalam ruang gema algoritma. Dengan selalu memperluas sumber informasi, maka kamu bisa mulai melihat berbagai perspektif yang berbeda. Hal ini tujuan bukan hanya untuk memperkaya wawasan, tetapi juga membantu membentuk pola pikir yang lebih objektif.

Untuk itu, penting sekali bagi generasi muda yang mendominasi kanal-kanal media sosial untuk bisa memiliki kesadaran digital. Kamu perlu bertanya pada diri sendiri apakah informasi yang kamu konsumsi ini benar atau apakah kamu ingin membagikannya hanya karena yakin dan banyak orang yang melakukannya. Dengan melakukan refleksi seperti ini, maka kamu bisa keluar dari arus algoritma yang menyesatkan.

Pada akhirnya, media sosial hanyalah alat.  Ia bisa menjadi tempat kamu belajar banyak hal jika kamu tahu cara menggunakannya, tetapi juga bisa menjadi jebakan kalau kamu terlalu larut di dalamnya. Sebagai generasi yang melek teknologi, kamu harus berani melawan harus dan tidak hanya mengikuti arus agar dianggap relevan dengan topik-topik yang sedang hangat dibicarakan di media sosial.

Leave a Reply