Bayangkan kamu datang ke kantor setiap hari dengan rasa cemas. Bukan, bukan karena beban kerja, melainkan karena perilaku rekan kerja yang terus-menerus menjatuhkan kamu, baik secara halus ataupun terang-terangan. Inilah yang dialami oleh banyak pekerja, yakni menjadi korban bullying di lingkungan kerja.
Hingga saat ini, bullying masih dianggap sepele, bahkan oleh orang dewasa sekali pun. Padahal, tindakan ini bisa berdampak besar pada kesehatan mental, produktivitas, maupun masa depan karier seseorang. Sayangnya, masih banyak yang menganggap praktik ini sebagai “bagian dari proses” beradaptasi di lingkungan kerja dan bahkan dinormalisasi.
Di Indonesia, banyak kasus bullying di tempat kerja yang makin sering muncul ke permukaan. Salah satu yang baru saja ramai dibicarakan adalah kasus di suatu perusahaan tambang. Jadi, di perusahaan tersebut ada karyawan dipecat karena sengaja membuat konten yang isinya merendahkan rekan kerjanya.
Lalu, pada 2021 yang lalu, ada salah satu karyawan di lembaga pertelevisian yang menjadi korban pelecehan sekaligus bullying oleh senior-seniornya. Parahnya lagi, korban bullying tersebut hingga terdiagnosa depresi.
Kasus-kasus di atas menjadi pengingat bahwa bullying yang dilakukan oleh orang dewasa lebih dari sekadar candaan yang kelewat batas. Justru, apa yang mereka lakukan tersebut sudah tergolong masalah serius yang dapat merusak kesehatan mental dan bahkan reputasi institusi.
Berdasarkan penelitian dari University of Phoenix di Amerika Serikat yang dikutip oleh Liputan6, hampir 75% karyawan pernah menjadi korban bullying di tempat kerja. Meskipun di Indonesia belum ada data yang sekomprehensif itu, peningkatan laporan dan diskusi di kanal-kanal media sosial menunjukkan tren serupa. Hal ini otomatis menunjukkan bahwa bullying bukan lagi kasus individual, melainkan sudah menjadi fenomena sistemik yang harus mendapatkan penanganan secara kolektif.
Di banyak kantor, baik swasta maupun negeri, kalimat-kalimat seperti “gitu aja baper” atau “kan gue cuma bercanda” sering kali digunakan untuk membenarkan perilaku tukang bully. Selain itu, feodalisme, budaya senioritas, hierarki yang kaku, dan tekanan target yang tinggi kerap menjadi alasan untuk melanggengkan perilaku ini.
Masalahnya, masih banyak orang tidak memiliki kesadaran bahwa perilaku bullying ini bisa muncul dalam berbagai bentuk. Jadi, bukan hanya dalam bentuk hinaan atau bentakan langsung, tetapi juga bisa berupa pengucilan, gosip, sabotase pekerjaan, hingga bahkan pengawasan berlebihan. Nah, ketika semua tindakan tersebut dianggap biasa, bahkan oleh divisi HRD yang seharusnya memberikan solusi, maka korban pun tidak akan punya ruang untuk mengadu, apalagi melawan.
Lebih lanjut, kondisi ini diperparah dengan adanya “bystander effect”, yakni kondisi ketika rekan kerja yang melihat aksi bullying justru memilih diam karena takut terkena imbas. Padahal, tanpa disadari, diam bisa menjadi salah satu bentuk persetujuan diam-diam terhadap perilaku dan posisi pelaku.
Ada banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya bullying di lingkungan kerja. Melansir laman Verywellmind, biasanya bullying di kantor terjadi karena dipengaruhi oleh rasa iri, butuh pengakuan, atau takut kehilangan posisi di tempat kerja.
Misalnya, kamu termasuk pekerja yang cara kerjanya cepat, ide-ide kamu selalu didengar oleh atasan, dan bahkan sering mendapatkan apresiasi. Hal-hal seperti ini bisa membuat orang lain yang cenderung insecure merasa terancam. Bukan karena kamu salah, tetapi karena mereka minder dan merasa kalah saing. Akhirnya, kamu menjadi sasaran bullying, sering disindir, dikucilkan, atau bahkan disabotase agar kamu terlihat “tidak sebaik itu”.
Bukan hanya soal kualitas kerja, terkadang bullying juga bisa muncul karena kamu disukai banyak orang. Di lingkungan kerja yang cenderung kompetitif, popularitas bisa dianggap sebagai ancaman. Apalagi kalau di kantor ada geng-gengan, bisa jadi mereka akan menyebarkan gosip atau bahkan memblokir kamu dari lingkaran sosial kantor.
Terkadang bullying di kantor bisa terjadi pada karyawan yang cenderung memilih untuk tidak terlibat dalam office politic. Namun ternyata karyawan yang memilih diam pun tidak lolos dari ancaman bullying.
Sementara itu, secara umum, faktor umum penyebab bullying di lingkungan kerja antara lain:
Jika tidak ada intervensi, maka praktik-praktik bullying akan terus menjamur dan bahkan menular ke generasi pekerja berikutnya.
Mengatasi bullying di lingkungan kerja bukan hal yang mudah. Namun bukan berarti praktik ini tidak bisa dientaskan. Bahkan sangat mungkin dientaskan dengan catatan seluruh pihak memiliki kesadaran dan mau diajak bekerja sama. Nah, berikut beberapa langkah yang bisa kamu ambil, baik sebagai karyawan maupun sebagai bagian eksekutif dari perusahaan:
Langkah pertama untuk mencegah sekaligus mengatasi masalah bullying adalah dengan mengenali bentuk-bentuk dari tindakan tersebut. Berikut beberapa bentuk bullying yang sering terjadi di tempat kerja:
Jika kamu, rekanmu, atau bawahanmu sering mendapatkan perlakuan di atas, jangan tinggal diam. Segera ambil tindakan dan laporkan ke pihak HRD. Jika, divisi HRD di kantormu kurang mengakomodasi, laporkan ke atasan.
Cobalah untuk berbicara langsung dengan pelaku. Bicarakan secara baik-baik mengapa pelaku melakukan hal tersebut. Tanyakan apa yang salah dari kamu sehingga pelaku melakukan bullying. Tunjukkan bahwa kamu merasa terganggu dan sangat tidak nyaman atas sikap mereka. Sampaikan dengan tegas tetapi tetap tenang agar situasi ini tidak berlarut-larut. Terkadang, pelaku memang harus dihadapi secara langsung tetapi tidak menggunakan kekerasan fisik.
Jika posisi kamu di tempat kerja cukup tinggi dan kamu menyadari bahwa bullying bisa mengganggu produktivitas perusahaan, maka ciptakan lingkungan kerja yang sehat. Kamu bisa mewujudkannya dengan melibatkan pihak ketiga dengan mengundang psikolog atau konselor yang relevan untuk memberikan penyuluhan terkait bahaya, pencegahan, dan penanganan bullying di tempat kerja.
Selain itu, kamu juga bisa membuat kebijakan ketat bagi siapa pun yang melakukan tindakan bullying. Dengan cara ini, maka akan tercipta budaya kerja yang sehat yang pada akhirnya bisa menjadi investasi jangka panjang bagi perusahaan. Pasalnya, budaya kerja yang sehat bisa mengurangi turnover dan meningkatkan citra perusahaan.
Bullying pada orang dewasa pun bisa sangat berdampak pada kesehatan mental. Bahkan korban bisa mengalami stres, insomnia, gangguan kecemasan, hingga depresi. Untuk itu, jika kamu menjadi korban, jangan ragu untuk segera mencari bantuan profesional. Ingat, konseling atau terapi bukan tanda bahwa kamu lemah, melainkan bukti bahwa kamu berani untuk menyelamatkan diri.
Jika semua upaya sudah kamu lakukan dan tidak ada tindakan dari pihak perusahaan, jangan ragu untuk segera resign. Ingat, di luar sana masih ada banyak perusahaan yang bersedia menerima kamu dan memiliki budaya kerja yang sehat. Di sisi lain, kesehatan mental dan harga dirimu juga jauh lebih penting daripada harus bertahan di tempat yang merusak kamu dari dalam.
Perlu dicatat bahwa bullying di lingkungan kerja bukan masalah sepele. Namun praktik ini sudah termasuk pelanggaran etika dan jika dibiarkan, maka bisa menghancurkan individu dan bahkan kinerja perusahaan. Untuk itu, mari mulai sadari, kenali, cegah, dan atasi bullying di tempat kerja. Sebab, perubahan selalu dimulai dari kesadaran.