Dewasa ini, sejumlah anak usia SD sudah mengikuti kursus program komputer dan bahkan belajar soal coding. Menariknya, keterampilan tersebut akan masuk ke dalam kurikulum pendidikan dasar mulai tahun ajaran 2025/2026.
Meskipun pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tidak mewajibkan mata pelajaran coding dan AI, tetap saja kebijakan tersebut menarik banyak pro dan kontra. Banyak yang menyambut dengan optimis, tetapi tak sedikit juga yang mempertanyakan kesiapan sekolah dan bahkan relevansinya untuk siswa SD.
Kabar bahwa coding dan AI akan diajarkan di sekolah dasar bukan hanya rumor belaka. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, melalui Liputan6 telah mengonfirmasi bahwa kedua mata pelajaran teknologi ini akan masuk ke dalam kurikulum nasional sebagai mata pelajaran pilihan, bukan wajib.
Menurut Abdul Mu’ti, saat ini Kemendikdasmen sedang menyelesaikan naskah akademik dan capaian pembelajaran untuk mata pelajaran tersebut. Bahkan, rancangan Peraturan Menteri-nya pun sedang dalam tahap penyesuaian dengan Kementerian Hukum dan kementerian terkait lainnya.
Mu’ti juga menegaskan bahwa langkah ini merupakan jawaban terhadap perkembangan teknologi global yang sangat cepat. Ia meyakini bahwa generasi masa depan yang menjadi tonggak Indonesia Emas 2045 harus dibekali sejak dini dengan kemampuan teknologi digital. Tujuannya tak hanya untuk menciptakan generasi yang melek teknologi, tetapi juga mampu menciptakan dan mengelola teknologi secara bijak.
Ide ini juga mendapatkan dukungan kuat dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam pidatonya tahun lalu, Gibran menyampaikan keinginan agar anak-anak Indonesia tak kalah dari negara seperti India dalam hal penguasaan teknologi, seperti bahasa pemrograman, AI, dan machine learning.
Namun tunggu dulu, meskipun terdengar menjanjikan, implementasi coding dan AI sebagai mata pelajaran di tingkat SD tidak akan merata di seluruh Indonesia. Sebab, mata pelajaran ini hanya akan diterapkan di sekolah-sekolah yang sudah siap secara infrastruktur dan sumber daya.
Mu’ti juga menegaskan bahwa hanya sekolah yang siap saja yang bisa melaksanakan. Ini artinya, jika sekolah belum memiliki komputer, akses internet stabil, dan guru yang kompeten di bidang ini, maka pelajaran coding dan AI belum bisa diterapkan di sekolah tersebut.
Lagi pula, belum semua sekolah dasar di Tanah Air memiliki fasilitas teknologi yang memadai. Hal ini lantaran kondisi geografis Indonesia dan peran pemerintah daerah membuat distribusi teknologi ke seluruh pelosok negeri tidak mudah.
Namun, pemerintah tetap membuka peluang kolaborasi bersama dengan berbagai pihak, termasuk pihak swasta yang menyediakan layanan pembelajaran coding guna membantu pelaksanaan program ini. Harapannya, melalui kolaborasi, sekolah yang kurang mampu bisa tetap mendapatkan akses teknologi yang dibutuhkan.
Di samping itu, mata pelajaran coding dan AI juga akan disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan anak SD. Jadi, coding yang diajarkan bukan berarti mendorong anak-anak untuk langsung bisa membuat aplikasi. Poin penting dalam mata pelajaran ini adalah membentuk pola pikir logis, kreatif, dan problem solving sejak dini.
Kualitas pendidikan dasar di Indonesia memang masih terbilang rendah. Namun, apakah dengan memasukkan coding dan AI ke kurikulum bisa meningkatkan kualitas pendidikan dasar? Jawabannya bisa saja iya, tetapi dengan beberapa catatan.
Seperti yang disinggung sebelumnya, coding dan AI bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal cara berpikir modern. Anak-anak yang belajar coding sejak dini terbukti memiliki kemampuan logika yang lebih baik, lebih kreatif, dan bahkan lebih siap menghadapi tantangan masa depan. Studi yang dipublikasikan di PubMed Central juga menunjukkan bahwa aktivitas coding mampu meningkatkan penalaran matematika anak-anak sebelum usia sekolah.
Namun di sisi lain, teknologi juga bisa menjadi pedang bermata dua. Jika tidak dibarengi dengan bimbingan etis dan literasi digital yang kuat, maka anak-anak bisa saja terpapar informasi yang salah dan bahkan menggunakan teknologi untuk melakukan tindakan yang merugikan.
Abdul Mu’ti juga menyadari adanya risiko tersebut. Oleh sebab itu, ia juga menekankan bahwa penggunaan teknologi di sekolah harus diiringi dengan kegiatan lainnya seperti pembelajaran konvensional dan membaca buku. Dengan kata lain, mata pelajaran coding dan AI bukan untuk menggantikan metode pembelajaran lama, melainkan pelengkap yang harus dimanfaatkan secara bijak.
Di samping itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa tenaga pengajar sudah mendapatkan pelatihan yang memadai. Jangan sampai penerapan teknologi hanya menjadi beban tambahan bagi guru atau malah tidak mampu memanfaatkannya secara maksimal karena minimnya pemahaman.
Bila dijalankan dengan tepat, maka kurikulum ini bisa menjadi pencapaian besar dalam pendidikan Indonesia. Pada akhirnya, penerapan kurikulum ini tak hanya bisa mengurangi kesenjangan digital, tetapi juga menciptakan generasi muda yang melek teknologi sejak dini.
Jadi, benarkah coding dan AI akan masuk kurikulum SD? Jawabannya adalah iya, tetapi akan diberlakukan secara bertahap dan tidak menyeluruh. Mata pelajaran ini juga sifatnya pilihan dan bukan wajib.
Apabila sekolah sudah siap secara infrastruktur dan sumber daya, maka mata pelajaran tersebut bisa diterapkan. Namun jika belum, tidak perlu diterapkan karena yang paling penting adalah sekolah memiliki infrastruktur dan sumber daya teknologi yang memadai terlebih dahulu.