Ekonomi Dunia Lesu, Apa Dampaknya pada Industri Fintech?

Ekonomi dunia melambat, apa dampaknya terhadap industri fintech Indonesia? Simak analisisnya dalam artikel berikut.
Sumber : Envato

Beberapa tahun terakhir, dunia sedang menghadapi kondisi ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian. Mulai dari konflik dagang, kebijakan tarif resiprokal, hingga anjloknya harga komoditas membuat pertumbuhan ekonomi dunia makin melambat.

Bahkan Bank Indonesia pun memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 hanya berada di kisaran 3%. Angka ini jelas lebih rendah dari prediksi sebelumnya dan ini menjadi perhatian khusus bagi banyak negara, tak terkecuali Indonesia.

Kondisi ini tidak hanya berpengaruh terhadap ekonomi makro, tetapi juga berdampak pada sektor-sektor yang lebih spesifik, seperti industri keuangan digital atau fintech. Padahal, fintech di Indonesia menjadi salah satu penggerak roda inklusi keuangan dengan menyediakan kemudahan akses layanan keuangan. Lantas, bagaimana industri fintech bisa bertahan di tengah ekonomi dunia yang sedang lesu ini?

Kondisi Ekonomi Dunia Diprediksi Makin Lesu

Ekonomi dunia
Sumber : Envato

Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, melalui CNBC Indonesia, perlambatan ekonomi global disebabkan oleh kondisi pasar dan faktor kebijakan. Salah satu penyebabnya tak lain adalah perang tarif yang digencarkan oleh negara adidaya Amerika Serikat.

Dampak dari perang tarif ini tentu terasa di banyak negara, mulai dari menurunnya angka ekspor hingga anjloknya konsumsi rumah tangga. Bahkan AS sendiri juga terkena imbasnya, yakni meningkatnya angka pengangguran seiring dengan turunnya kepercayaan para pelaku ekonomi.

Sementara itu, Tiongkok yang menjadi mesin penggerak ekonomi Asia juga terkena pukulan hebat akibat menurunnya ekspor ke AS. Tarif resiprokal sebesar 30% yang dikenakan oleh otoritas AS membuat banyak produk Tiongkok kehilangan daya saing di pasar. Bukan itu saja, permintaan domestik di Tiongkok juga ikut anjlok, khususnya dari sektor investasi. Kondisi yang dialami oleh Tiongkok menimbulkan efek domino. Jepang dan negara-negara Eropa ikut terkena imbas akibat menurunnya kinerja ekspor.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global ini, hanya India yang masih mampu mempertahankan pertumbuhan positif. Hal ini didukung oleh adanya stimulus fiskal yang turut mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Kendati demikian, secara keseluruhan tren ekonomi dunia saat ini masih menunjukkan kondisi lesu. Hal ini otomatis membuat volatilitas pasar keuangan global makin tinggi. Alhasil, negara-negara berkembang seperti Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menyusun strategi ekonomi demi menjaga ketahanan ekonomi.

Efek Tarif Resiprokal Trump

Salah satu penyebab lesunya ekonomi dunia adalah kebijakan tarif resiprokal AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Kebijakan Trump ini ditujukan untuk melindungi industri dalam negeri AS. Namun justru strategi tersebut membuat pasar internasional bergejolak. Ekspor dari negara-negara besar seperti Tiongkok, Jepang, dan negara-negara Eropa anjlok secara drastis. Akibatnya, aktivitas perdagangan global menurun.

Namun dampak dari kebijakan resiprokal ini tak hanya dirasakan oleh negara-negara maju. Negara berkembang pun ikut terkena imbasnya mengingat rantai pasok global melambat. Bagi Indonesia, kondisi ini membuat angka permintaan terhadap komoditas ekspor unggulan ikut menurun. Akibatnya, penerimaan negara dari sektor ekspor pun ikut terdampak. Hal tersebut sesuai dengan peringatan dari CSIS bahwa melemahnya harga komoditas ekspor dapat berpengaruh terhadap target pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 5,4% di tahun 2026.

Efek ke Ekonomi Indonesia

Indonesia sendiri termasuk negara Asia yang tak bisa lepas dari kondisi global. Menurunnya harga komoditas global otomatis membuat penerimaan negara menyusut. Sejak 2022-2024, penerimaan dari pajak ekspor sangat bisa membantu keuangan negara, tetapi kondisi ini berubah begitu masuk tahun 2025. Akibatnya, pemerintah menghadapi tantangan besar untuk menjadi kondisi fiskal.

CSIS sendiri menilai bahwa proyeksi pemerintah Indonesia yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4% pada 2026 terlampau optimis. Sebab, lembaga internasional seperti IMF hanya memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada angka 4,8%. Jika target ekonomi nasional terlalu tinggi, maka risiko kekecewaan pasar makin besar.

Di samping itu, melemahnya ekonomi global berdampak terhadap menurunnya investasi asing ke Indonesia. Para investor akan cenderung menahan diri untuk menanam modal mengingat pasar global masih tidak stabil. Kondisi ini otomatis berpengaruh terhadap industri dalam negeri, termasuk sektor digital. 

Dampak pada Industri Fintech

Ekonomi dunia
Sumber : Envato

Nah, di tengah kondisi ekonomi dunia yang lesu, industri fintech Indonesia termasuk salah satu yang terkena dampaknya. Di satu sisi, tingkat penggunaan layanan keuangan digital masih tinggi. Masyarakat masih aktif menggunakan aplikasi pembayaran digital, pinjaman online, hingga platform investasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun di sisi lain, industri fintech tak bisa dibilang sepenuhnya kebal terhadap tekanan ekonomi global.

Pertama, melemahnya daya beli masyarakat karena melambatnya laju pertumbuhan ekonomi bisa berpengaruh terhadap tingkat transaksi digital. Ketika konsumsi rumah tangga menurun, otomatis frekuensi penggunaan layanan fintech juga berkurang. Hal ini tentunya bisa membuat pendapatan perusahaan fintech terdampak, khususnya yang mengandalkan fee transaksi.

Kedua, pendanaan untuk startup fintech mungkin akan mengalami penurunan. Investor akan cenderung lebih hati-hati dalam menaruh modal di tengah kondisi ekonomi yang tak menentu. Sementara itu, fintech yang masih dalam masa pertumbuhan harus berhadapan dengan tantangan besar, yakni kesulitan mencari pendanaan baru.

Ketiga, ekonomi dunia yang lesu bisa meningkatkan risiko kredit macet di sektor pinjaman digital. Sebab, ekonomi yang tidak stabil membuat sebagian pengguna kesulitan membayar cicilan tepat waktu. Hal ini otomatis bisa meningkatkan risiko NPL (non-performing loan) pada perusahaan fintech lending.

Dampak ekonomi dua yang lesu terhadap industri fintech memang bukan masalah sepele. Ketika daya beli masyarakat melemah, pendanaan terbatas, dan risiko kredit macet meningkat, otomatis fintech harus menyusun strategi operasional mereka agar tetap bertahan.

Namun di balik kondisi ini, ada celah yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh fintech. Misalnya, menghadirkan produk investasi mikro yang lebih terjangkau atau mungkin layanan pembayaran dengan fee lebih rendah. Dengan demikian, fintech tetap bisa bertahan meski diterjang oleh tekanan eksternal.

Leave a Reply