Begini Dampak Kebijakan Trump ke Industri Keuangan RI

Kebijakan Donald Trump selalu membuat ketar-ketir banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Kali ini kebijakan ekonominya berdampak terhadap industri keuangan RI.

Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat membuat banyak negara ketar-ketir. Hal ini karena kebijakannya akan berpengaruh ke semua negara, tak terkecuali Indonesia.

Salah satunya kebijakan ekonomi yang telah menimbulkan cukup banyak dampak signifikan terhadap industri keuangan di Tanah Air. Kebijakan ala Trump seperti proteksionisme dan kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah, arus investasi, hingga stabilitas ekonomi dalam negeri. 

Dampak Kebijakan Trump

Kebijakan Trump Guncang Perbankan RI

Salah satu kebijakan utama Trump yang memiliki dampak signifikan terhadap Indonesia adalah proteksionisme perdagangan. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya ketidakpastian di pasar global dan bahkan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah.

Saat Trump menerapkan tarif perdagangan yang tinggi di Tiongkok, terjadilah perang dagang yang membuat investor global harus beralih ke aset yang jauh lebih aman seperti dolar AS. Akibatnya, permintaan terhadap mata uang dolar AS meningkat dan mata uang asing seperti rupiah tertekan.

Bukan hanya itu saja, keputusan The Fed dalam menaikkan dan menurunkan suku bunga juga akan berpengaruh terhadap terhadap cash flow dari negara berkembang. Akibatnya, hal ini akan membuat ketidakpastian dan risiko pasar makin membesar.

Melemahnya nilai uang rupiah juga bisa berpengaruh terhadap sektor-sektor yang sangat bergantung pada kegiatan impor dan utang dalam mata uang asing. Tak sedikit perusahaan di Indonesia yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS. Jadi, saat rupiah melemah, maka utang mereka meningkat. Di samping itu, harga bahan baku juga ikut naik sehingga berdampak pada harga barang dan inflasi dalam negeri.

Langkah Sektor Perbankan RI Hadapi Ketidakpastian Global

Meskipun harus dihadapkan dengan tantangan global, sektor perbankan di Indonesia tampaknya masih memiliki pondasi yang cukup kuat. Lembaga-lembaga perbankan di Tanah Air telah menerapkan prinsip kehati-hatian yang jauh lebih baik pascar-reformasi 1998. Mereka juga telah memenuhi standar kehati-hatian yang sudah diharapkan sehingga bisa menjadi kunci untuk menghadapi ketidakpastian global.

Dalam hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas keuangan. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah mendukung perbankan untuk lebih memperkuat manajemen risiko, khususnya dalam menghadapi volatilitas nilai tukar.

Di samping itu, OJK juga harus mendorong perbankan untuk terus berkembang, khususnya di sektor yang berhubungan dengan hilirisasi dan proyek atau program pemerintah lainnya.

Sektor Keuangan RI Cenderung Stabil

Meskipun harus menghadapi sejumlah tantangan global, sektor keuangan Indonesia diprediksi masih tetap akan stabil. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, melalui Liputan6 menyampaikan bahwa pertumbuhan sektor jasa keuangan di Indonesia terjaga stabil di tengah dinamika perekonomian domestik dan global. Bahkan pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 diprediksi masih berada dalam level terbatas.

Sementara itu perkembangan terkini perekonomian dunia menunjukkan adanya pergerakan yang cenderung sideways. Hal ini ditandai dengan melemahnya aktivitas di sektor manufaktur dan perdagangan global. Kondisi ini menyebabkan terjadinya stance bank sentral dunia sedikit dovish ke depan dan mayoritas bank sentral di mayoritas negara harus menurunkan suku bunga kebijakan dalam tiga bulan terakhir.

Di Amerika Serikat, perekonomian dan data ketenagakerjaan menunjukkan adanya pertumbuhan yang cukup solid dan tekanan inflasi mulai mereda. Hal ini mendorong terjadinya perkiraan pasar terhadap pemangkasan Fed Fund Rate (FFR) secara lebih cepat.

Namun, kendati probabilitas pemangkasan pertama pada tahun 2025 di bulan Mei akan meningkat, tampaknya pasar akan terus mencermati arah kebijakan yang diterapkan Presiden Trump. Bahkan hal ini diprediksi akan turut memengaruhi kenaikan volatilitas pasar keuangan dan juga ekspektasi inflasi.

Di Tiongkok yang merupakan rival berat AS, mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 5,4% yoy. Angka ini di atas ekspektasi pasar seiring dan terjadi seiring dengan meningkatnya sektor real estat dan jasa keuangan di negara tersebut.

Namun, permintaan di Tiongkok cenderung masih stagnan, terbukti dalam data Consumer Price Index (CPI) yang mencapai sekitar 0,2% dan Producer Price Index (PPI) yang terus mengalami kontraksi. Perlu dipahami bahwa kondisi yang terjadi di Tiongkok harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Pasalnya, Tiongkok adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia.

Secara domestik, indikator ekonomi Indonesia masih menunjukkan stabilitas. Inflasi masih cukup terkendali, cadangan devisa terus meningkat, dan bahkan neraca perdagangan tetap surplus. Di samping itu, sektor manufaktur juga menunjukkan adanya pertumbuhan yang positif dan ini menandakan bahwa daya saing industri dalam negeri cenderung masih terjaga.

Jadi, kebijakan ekonomi yang diterapkan Donald Trump memang berdampak bagi industri keuangan di Indonesia. Namun dengan menerapkan fondasi yang kuat dan mitigasi risiko yang lebih baik, maka sektor keuangan seperti perbankan Indonesia mampu menghadapi ketidakpastian global dan bahkan domestik.

Dukungan dari OJK dan kebijakan moneter yang tepat dari otoritas terkait juga turut menjaga stabilitas keuangan nasional. Dengan demikian, meskipun mengalami tekanan eksternal, industri keuangan di Indonesia masih menunjukkan ketahanan dan juga stabilitasnya.

Leave a Reply