• Home
  • Finance
  • Property
  • Tech. & Bisnis
  • Halal Lifestyle
  • Danasyariah.id
Site Logo
  • Social Campaign

Menjamurnya Fanatisme Politik di Media Sosial

blog post2
by blog post2
12/05/2025
236
  • CSR perusahaan
  • dampak social
  • gerakan masyarakat
  • kampanye edukatif
  • kolaborasi social
  • perubahan social
  • program social
Beberapa tahun terakhir, jagat media sosial Indonesia dibanjiri dengan konten-konten dan perdebatan politik. Hal ini menunjukkan adanya fanatisme akut di media sosial.
Sumber : Pexels

Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial tidak hanya menjadi tempat untuk berbagi momen pribadi, mencari hiburan, atau bahkan mencari pemasukan. Namun kini media sosial telah berubah menjadi medan pertempuran politik.

Setiap kali menjelang pemilu, jagat maya tak pernah sepi dari riuh konten politik, mulai dari kampanye, meme sindiran, hingga debat kusir antar warganet. Di balik geliat politik digital ini, ada satu fenomena yang sebenarnya makin mencemaskan, yakni fanatisme politik.

Kalau kamu termasuk aktif di media sosial, kamu mungkin juga sering melihat akun-akun yang fanatik membela calon tertentu sampai ke titik di mana ia tak bisa dibilang rasional lagi. Bahkan mereka tega menghujat dan merundung siapa pun yang berbeda pilihan. Inilah mengerikannya fanatisme politik yang berpotensi mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.

politik
Sumber : Pexels

Media Sosial sebagai Ruang Politik Digital

Media sosial seperti X (dulu Twitter), Facebook, hingga TikTok, kini menjadi ‘ring tinju’bagi pertarungan politik. Bukan hanya menjadi wadah bagi para politisi atau tim sukses yang memanfaatkan platform ini, tetapi juga masyarakat umum. Kamu pun bisa dengan mudah mendapatkan konten-konten seperti video kampanye, grafik elektabilitas, isu-isu para politikus, hingga ‘bocoran’ rekaman yang dapat menyudutkan pihak tertentu hanya dalam hitungan detik.

Menurut data dari We Are Social 2024, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai sekitar 167 juta orang atau setara dengan 60% dari populasi. Jumlah ini menghasilkan potensi besar bagi para pegiat politik untuk membentuk opini publik.

Sementara itu di satu sisi media sosial juga sangat rentan terhadap masalah disinformasi dan polarisasi. Jadi, alih-alih menjadi wadah untuk menyebarkan edukasi politik, media sosial justru kerap dipenuhi dengan narasi provokatif yang cenderung lebih mengutamakan emosi ketimbang data.

Bahkan, algoritma media sosial dapat memperparah situasi ini. Sebagai pengguna, kamu mungkin tidak menyadari hal ini. Namun begitu kamu menyukai atau menonton sampai selesai suatu konten politik, algoritma media sosial akan terus menyuguhkan hal yang serupa. Fenomena semacam ini sering disebut dengan filter bubble, yakni kondisi di mana seseorang hanya terpapar informasi yang cenderung menguatkan pandangannya dan menutup diri dari opini lain. Akibatnya, ruang diskusi yang seharusnya bisa menjadi sehat justru berubah menjadi ruang gema atau echo chamber, yakni tempat di mana masyarakat cenderung mencari pembenaran alih-alih kebenaran.

Fanatisme Politik: Dari Loyalitas ke Blind Loyalty

Setiap orang memiliki hak untuk mendukung tokoh politik mana pun dalam sistem demokrasi. Namun ketika dukungan itu berubah menjadi fanatisme, yakni sikap membela tokoh secara membabi buta tanpa kritik dan rasionalitas, maka di situlah bahaya mulai mengintai. Bukan hanya berpengaruh terhadap kondisi mental tetapi juga berisiko terhadap persatuan bangsa.

Fanatisme politik bukan lagi sekadar loyalitas, tetapi kini sudah menjadi blind loyalty. Kamu mungkin kerap melihat akun-akun di media sosial seperti X yang memuji tokoh politik setinggi langit, tetapi menolak mentah-mentah segala bentuk kritik terhadap tokoh tersebut meskipun sudah disertai bukti. Lebih buruknya lagi, mereka kerap menyerang pribadi lawan politik dan bahkan pendukungnya dengan ujaran kebencian hingga tindakan doxing (menyebarkan data pribadi seseorang).

Fenomena semacam ini mulai marak sejak Pilpres 2019, saat warganet terbelah antara “cebong” dan “kampret”. Label-label ini menggambarkan bagaimana perbedaan pilihan politik yang seharusnya biasa, justru malah menjadi permusuhan. Bukan hanya permusuhan di media sosial, bahkan ada yang sampai saling bermusuhan di kehidupan nyata. 

Di titik ini, fanatisme sudah tidak lagi memperjuangkan ide, melainkan sekadar membela “tim” layaknya para suporter bola. Akibatnya, perbedaan dalam pesta politik tidak lagi dilihat sebagai kekayaan demokrasi, melainkan ancaman yang berpotensi menyebabkan terjadi polarisasi dan bahkan hancurnya persatuan bangsa.

Fenomena ini merupakan bentuk dari identity politics atau politik identitas, yakni saat seseorang merasa terikat secara pribadi pada figur politik yang didukung. Ketika tokoh tersebut diserang, maka yang merasa diserang bukan hanya pilihannya saja, tetapi juga dirinya. Inilah yang membuat diskusi politik di media sosial sering kali emosional dan penuh dengan amarah.

Dampak Fanatisme Politik di Media Sosial

Fanastisme politik yang tumbuh subur di media sosial tidak hanya mencederai diskursus publik, tetapi juga membawa dampak serius bagi diri sendiri dan masyarakat secara luas.

1. Terciptanya polarisasi

Media sosial seharusnya menjadi jembatan komunikasi antar publik, tetapi kini lebih sering menjadi tembok pemisah. Polarisasi membuat masyarakat seolah-olah hidup dalam dua dunia yang berbeda. Kamu mungkin akan merasa kubu lain selalu salah, bodoh, atau bahkan berbahaya, padahal belum tentu demikian.

2. Penyebaran disinformasi dan hoaks

Di tengah masyarakat yang fanatik, kebenaran adalah hal yang relatif. Konten-konten politik yang sesuai dengan keyakinan kamu akan kamu terima begitu saja, meskipun sumbernya tidak valid. Akibatnya, hoaks politik mudah sekali tersebar. Data dari Komdigi (dulu Kominfo) mencatat, selama Pemilu 2024 sejak Juli 2023, ada sekitar 274 isu hoaks yang beredar, sebagian besar melalui media sosial.

3. Merusak etika demokrasi

Demokrasi lebih dari sekadar hak untuk memilih, tetapi juga menghargai perbedaan dan berdialog secara terbuka. Fanatisme justru dapat menciptakan bibit-bibit intoleransi dan permusuhan. Bahkan, dalam beberapa kasus, fanatisme bisa mendorong tindakan yang cukup ekstrem seperti membocorkan data pribadi pendukung dari lawan politik, perundungan di media sosial, hingga ancaman kekerasan.

Jadi, fanatisme politik di ranah media sosial adalah tantangan besar bagi demokrasi Tanah Air. Tentu setiap orang berhak memilih siapa pun dan menyampaikan opininya, tetapi jangan sampai membela tokoh politik dengan membabi buta serta cenderung menutup diri dari pandangan lain.

Jadi, sebelum kamu membuat konten di media sosial yang bersifat provokatif, coba renungkan terlebih dahulu apakah kamu melakukannya demi demokrasi atau hanya demi ego pribadi? Ingat, media sosial tak lebih dari sekadar alat dan tokoh politik bukanlah orang suci yang harus kamu bela mati-matian. Jadilah masyarakat yang cerdas, krtisi, berempati, dan beretika.

  • CSR perusahaan
  • dampak social
  • gerakan masyarakat
  • kampanye edukatif
  • kolaborasi social
  • perubahan social
  • program social

Categories

  • Dana Syariah Insight (625)
  • Finance (126)
  • Fintips (124)
  • Lifestyle (185)
  • Property (224)
  • Social Campaign (59)
  • Tech. & Bisnis (107)
  • Technology (80)

Tags

AI & data aplikasi keuangan bank syariah budgeting bulanan cara atur uang Cicilan KPR Cicilan Rumah Dana dana syariah digitalisasi usaha edukasi syariah ekonomi syariah fintech syariah inovasi bisnis insight danasyariah investasi pribadi investasi syariah karier dan produktivitas KPR KPR Syariah Kredit KPR Kredit Rumah Kredit Syariah life hacks literasi finansial manajemen keuangan peluang usaha pembiayaan syariah pengelolaan gaji perencanaan keuangan perkembangan industri perkembangan teknologi Rumah Komersil Rumah Syariah startup Indonesia teknologi bisnis teknologi konsumen teknologi syariah tips finansial harian tips hemat tips keuangan tips menabung tools bisnis tren digital tren keuangan syariah

Leave a Reply Cancel reply

Copyright © 2018