Generasi Muda, Media Sosial, dan Relevansi Hari Kesaktian Pancasila

Generasi muda merupakan digital native yang mendominasi media sosial. Simak bagaimana nilai Pancasila tetap relevan di era digital lewat refleksi Hari Kesaktian Pancasila.
Sumber : Envato

Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Momen ini umumnya identik dengan upacara bendera, pidato kenegaraan, dan seremoni lain. Namun, apakah maknanya cukup di situ saja?

Jika melihat kondisi sekarang ini, generasi muda merupakan generasi yang paling banyak menghabiskan waktu di media sosial. Lantas, bagaimana caranya agar nilai-nilai Pancasila tetap relevan di era digital, khususnya bagi generasi muda yang saat ini menjalani dunia yang serba cepat ini?

Hari Kesaktian Pancasila
Sumber : Envato

Generasi Muda Mendominasi Media Sosial

Fakta menunjukkan bahwa generasi muda mendominasi media sosial. Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2023-2024 yang dilansir oleh Katadata, 51,9% gen Z lebih sering menggunakan Instagram. Sementara, 74,09% milenial cenderung menggunakan Facebook. Bagi mereka, media sosial bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga bagian dari personal branding dan komunikasi anak muda.

Selain itu, berdasarkan laporan terbaru, 191 juta orang Indonesia menggunakan media sosial. Kemudian, 54% di antaranya merupakan pengguna usia 18-34 tahun. Rata-rata mereka menghabiskan waktu lebih dari 3 jam per hari untuk berselancar di dunia maya. Angka ini jelas cukup tinggi. Pasalnya, media sosial juga menjadi arena utama bagi generasi muda untuk berbagi opini, membangun koneksi, sekaligus mencari informasi.

Namun, tak bisa dimungkiri, media sosial juga menjadi arena bagi pertarungan opini, ladang subur bagi polarisasi politik, hoaks, hingga ujaran kebencian. Di sinilah, nilai-nilai Pancasila penting untuk dipraktikkan, bukan sekadar dihafalkan.

Bagaimana Menerapkan Nilai-Nilai Pancasila di Ranah Digital

Menerapkan nilai-nilai Pancasila di ranah digital tidak harus dilakukan dengan cara yang kaku. Justru, nilai-nilainya bisa menjadi panduan praktis untuk menjadikan dunia maya lebih sehat.

1. Sila pertama

Sila pertama yang berbunyi ketuhanan Yang Maha Esa bisa dimaknai dengan menjaga etika berinteraksi di media sosial, menghargai pilihan dan keyakinan orang lain, serta tidak menyebar ujaran kebencian.

2. Sila kedua

Sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab bisa dimaknai dengan tidak melakukan perundungan di media sosial atau cyberbullying. Selain itu, kamu juga bisa memaknainya dengan lebih kritis dan selektif terhadap informasi yang kamu dapatkan dan informasi yang akan kamu bagikan.

3. Sila ketiga

Sila ketiga yang berbunyi Persatuan Indonesia sangat relevan ketika kamu dihadapkan pada polarisasi di media sosial. Sebagai generasi muda, jangan mudah terjebak dalam narasi kubu “kami” versus “mereka”. Pasalnya, perpecahan hanya akan melemahkan bangsa dan kamu sebagai bagian dari bangsa ini juga akan kena imbasnya.

4. Sila keempat

Sila keempat, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan bisa diterapkan dengan cara membangun diskusi yang sehat di media sosial. Di tengah polarisasi di ranah digital seperti saat ini, diskusi yang sehat memang agak sulit untuk diciptakan, Namun tetap, hal ini harus diupayakan.

5. Sila kelima

Sila kelima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengingatkan agar akses digital tidak ikut menjadi penyebab jurang kesenjangan. Sebagai generasi muda yang aktif di media sosial, kamu bisa mendukung konten-konten yang sifatnya edukatif dan kreatif untuk memberdayakan banyak orang.

Nah, dengan cara-cara di atas, maka Pancasila tidak sekadar menjadi naskah yang diucapkan setiap hari Senin di podium upacara. Namun, sila-sila tersebut benar-benar hidup dalam keseharianmu, termasuk di ranah digital.

Tantangan Generasi Muda dalam Menerapkan Pancasila

Meskipun sekilas terlihat sederhana, praktik nilai-nilai Pancasila memiliki cukup banyak tantangan. Salah satunya adalah polarisasi politik. Melansir laman Pusaran Media, media sosial saat ini menjadi ruang gema atau echo chamber yang justru mempertebal sekat-sekat perbedaan. Akibatnya, alih-alih membangun dialog yang sehat, justru masyarakat makin terbelah.

Bahkan, riset juga menunjukkan bahwa polarisasi politik yang terjadi di media sosial tak hanya membuat masyarakat terpecah secara ideologis, tetapi juga berdampak secara emosional. Istilah-istilah seperti “cebong” dan “kampret” sejak Pemilu 2014 menjadi salah satu bukti nyata bagaimana penggunaan media sosial yang tidak bijak bisa merusak hubungan sosial di dunia nyata. Hubungan pertemanan, bahkan keluarga, bisa renggang hanya karena perbedaan pilihan politik.

Selain polarisasi, ancaman nyata lainnya adalah aktivisme digital yang cenderung dangkal. Tak sedikit anak muda saat ini yang merasa sudah paling berjuang hanya dengan me-retweet atau mem-posting ulang cuitan-cuitan yang bersifat provokasi. Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh Deputi Sekretaris Ekesekutif CfDS UGM, Iradat Wirid, aktivisme digital tak seharusnya soal kuantitas, tetapi juga harus mengedepankan kualitas hingga tujuan sosial benar-benar tercapai.

Selain itu, tantangan seperti serangan siber dan regulasi yang belum sepenuhnya berpihak pada kebebasan berekspresi juga menjadi tantangan. Kasus-kasus seperti peretasan akun, doxing, hingga penyebaran data pribadi sering menjadi momok bagi para pegiat aktivisme digital. UU ITE dan UU PDP pun masih dianggap cenderung menekan masyarakat alih-alih memberikan perlindungan.

Jika dilihat dari kompleksitas kondisi ini, maka jelas bahwa generasi muda yang bisa dibilang sebagai digital native membutuhkan pedoman moral. Sebagai bangsa Indonesia, Pancasila menjadi salah satu fondasi yang paling relevan.

Pada akhirnya, memaknai Pancasila di Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya soal seremonial, melainkan pada keberanian para digital native untuk menghadirkan setiap nilai Pancasila di ruang digital. Jika kamu bisa menghidupkan nilai-nilai tersebut saat berselancar di media sosial, maka Pancasila akan tetap relevan dan menjadi panduan hidup di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi.

Leave a Reply