
Pernah nggak kamu merasa ingin tampil keren, pakai barang yang sedang ngetren, atau nongkrong di tempat hits agar terlihat “setara” dengan teman-temanmu? Kalau iya, kamu tidak sendiri. Di era digital seperti sekarang, menjaga citra seolah sudah jadi kebutuhan pokok.
Namun tanpa sadar, hal ini justru bisa menyeret kamu ke masalah finansial yang serius. Ketika keinginan untuk terlihat lebih mampu dari kemampuan sesungguhnya, di situlah rasa gengsi memengaruhi keuangan dan perlahan-lahan merusak kestabilan hidup kamu.

Pada dasarnya, gengsi tidak selalu buruk. Dalam kondisi tertentu, justru gengsi bisa mendorong orang untuk berusaha lebih keras lagi. Namun jika gengsi justru mengendalikan cara kamu dalam mengelola uang, otomatis masalah baru akan muncul.
Tak sedikit orang rela berhutang, menguras tabungan, dan bahkan mengorbankan kebutuhan pokok hanya demi penampilan di depan orang lain.
Berdasarkan studi dari National Foundation for Credit Counseling di Amerika Serikat yang dilansir oleh laman Merdeka, menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kebangkrutan pribadi terjadi karena gaya hidup konsumtif yang dipengaruhi oleh gengsi.
Polanya juga sama di Indonesia. Lihat saja bagaimana tren “paylater” makin diminati, bukan hanya untuk kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk belanja barang-barang yang sebenarnya tidak perlu.
Ironisnya, ketika gengsi memengaruhi keuangan pribadi, dampaknya bukan hanya soal uang itu sendiri. Muncul tekanan psikologis seperti stres, cemas, dan bahkan rasa bersalah akibat menuruti gengsi. Dari luar mungkin kamu akan terlihat bahagia, tetapi di dalam hati dan pikiran ada rasa takut setiap kali notifikasi tagihan muncul. Pada akhirnya, gengsi ini menimbulkan beban ganda, yakni kamu kehilangan kendali atas kondisi uangmu sendiri sekaligus kehilangan ketenangan batin.
Dalam batasan tertentu, gengsi memang bisa menjadi motivasi. Namun, gengsi juga bisa menjadi jebakan halus. Begitu kamu terjebak di dalamnya, sulit buat kamu untuk bisa keluar. Awalnya mungkin kamu hanya ingin ikut tren-tren biasa, seperti outfit terkini agar tidak ketinggalan zaman.
Namun lama-lama, kamu mulai merasa “tidak layak” dalam lingkup pertemanan kamu jika tidak memiliki sesuatu yang baru. Nah, inilah awal terbentuknya lingkaran setan gengsi.
Tanpa kamu sadari, kamu hanya membeli atau melakukan sesuatu demi diterima lingkungan, lalu merasa puas. Padahal, rasa puas itu hanya bertahan untuk sementara waktu. Namun begitu muncul tren baru lagi, dorongan untuk membeli kembali muncul.
Perlu disadari bahwa rasa puas itu tidak akan pernah bertahan lama. Dalam teori Consumer Culture dijelaskan bahwa dalam budaya modern, konsumsi bukan lagi sekadar kebutuhan ekonomi, melainkan sudah menjadi identitas sosial.
Masalahnya, identitas yang muncul karena rasa gengsi seperti ini cenderung rapuh. Ketika kamu mendasarkannya pada kepemilikan barang dan penampilan, maka harga diri kamu berarti setara dengan saldo rekening.
Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa berpengaruh terhadap rasa percaya diri dan bahkan mendorong perilaku impulsif, yakni membeli bukan karena butuh, melainkan karena takut dianggap “tidak mampu”.
Gaya hidup konsumtif akibat gengsi juga menimbulkan terjadinya kesenjangan sosial yang makin jelas. Dalam konteks ini, media sosial menjadi faktor yang memperbesar jurang tersebut. Tiap kamu membuka TikTok atau Instagram, ada saja konten-konten yang menunjukkan liburan mewah, outfit terkini, atau rumah estetik. Meskipun kamu sadar bahwa sebagian dari itu semua hanyalah pencitraan, tetap saja muncul rasa untuk menyaingi.
Dalam studi yang dilakukan oleh Manafe & Fanggidae (2021) yang dilansir dalam artikel Getradius, orang dengan tingkat materialisme tinggi cenderung mengalami utang berlebih. Kontrol diri mereka juga rendah dan terbiasa mengambil keputusan finansial secara emosional.
Dari sisi sosial, perilaku semacam ini menciptakan ketimpangan baru, yakni mereka yang hidup di atas batas kemampuan finansial dianggap sukses sementara yang realistis justru dicap “kurang mampu”.
Lebih lanjut, beberapa orang malah menganggap utang bukan alat bantu finansial, melainkan simbol eksistensi. Mereka membeli barang bahkan secara kredit bukan karena fungsinya, melainkan agar dianggap “update”. Sayangnya, semua itu justru hanya memperkuat ilusi.

Kabar baiknya, kamu masih bisa keluar dari jebakan ini. Kunci utamanya adalah memiliki kesadaran dan berani jujur terhadap diri sendiri. Pertama, cari tahu dulu apa alasan di setiap pengeluaran yang kamu lakukan.
Apakah kamu membeli sesuatu karena benar-benar membutuhkannya atau karena takut tertinggal dan ingin dianggap “update”? Jiwa yang kedua adalah jawabanmu, cobalah untuk berhenti sejenak dan pikirkan kembali.
Langkah selanjutnya adalah belajarlah untuk menikmati hidup sederhana tanpa merasa minder. Catat, kesederhanaan bukan tanda kekurangan, melainkan bukti kedewasaan. Cobalah mulai dengan hal kecil seperti membatasi pembelian impulsif, hindari cicilan yang bersifat konsumtif, dan alihkan dana ke tabungan atau mungkin investasi.
Selain itu, kamu juga harus memiliki lingkungan sosial yang sehat. Bertemanlah dengan orang-orang yang mampu menghargai kamu apa adanya, bukan karena apa yang kamu punya. Dengan memiliki dukungan emosional dari lingkungan seperti ini, maka kamu bisa menjaga kestabilan finansial sekaligus kesehatan mental.
Terakhir, tanamkan pola pikir bahwa keberhasilan sejati bukan dilihat dari seberapa mahal atau banyak barang yang kamu miliki, tetapi dari seberapa bijak kamu mengelola sumber daya.
Pasalnya, saat gengsi memengaruhi keuangan kamu, maka kendali hidupmu perlahan-lahan berpindah ke tangan orang lain dan ke ekspektasi sosial yang tak ada habisnya. Namun ketika kamu memilih untuk sadar dan realistis, maka kamu sedang merebut kembali kekuatan itu.
Pada akhirnya, gengsi merupakan cerminan dari rasa takut kamu sendiri. Takut dianggap gagal, takut tidak diterima, dan takut tertinggal. Namun ingat, hidup bukan soal perlombaan status. Kamu tidak memiliki tanggung jawab untuk membuktikan apa pun kepada siapa pun, kecuali pada diri kamu sendiri.