Korupsi di Indonesia Adalah Warisan, Benarkah?

Korupsi merupakan topik yang selalu hangat dibicarakan di berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Pasalnya, korupsi bukan hanya dilakukan oleh orang-orang di pemerintahan pusat, tetapi juga di daerah dan di berbagai sektor, tak terkecuali sektor pendidikan dan bahkan kementerian agama di Tanah Air.

Bahkan, setiap kali ada kasus korupsi besar yang terungkap, sejumlah masyarakat mulai bertanya-tanya: apakah korupsi di Indonesia merupakan warisan dari generasi sebelumnya? Apakah sistem feodal dan kolonialisme yang pernah ratusan tahun berkuasa di negeri ini meninggalkan jejak korupsi yang masih terus subur hingga sekarang?

Sejarah Panjang Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia bukanlah fenomena yang baru terjadi kemarin sore. Sejak Nusantara masih berupa kerajaan, praktik suap dan penyalahgunaan kekuasaan sudah tercatat dalam berbagai prasasti. Salah satu bukti sejarahnya ada dalam Prasasti Rumwiga yang ditemukan pada tahun 1992.

Prasasti Rumwiga merupakan prasasti tembaga dari zaman Kerajaan Mataram Kuno. Artefak tersebut mengungkapkan adanya penyelewengan pajak oleh petugas kerajaan. Jika dipahami, jelas tindakan tersebut mirip dengan praktik-praktik korup yang terjadi saat ini.

Memasuki era kolonial, praktik korupsi justru makin subur. Pemerintah era Hindia Belanda membentuk sistem birokrasi yang sangat sarat dengan nepotisme, suap, dan eksploitasi sumber daya demi kepentingan segelintir orang. Bahkan, para pejabat pribumi yang bekerja untuk VOC pun ikut melakukan tindakan korupsi, seperti membayar rendah usaha para petani kopi, padahal mereka mendapatkan harga tinggi dari VOC.

Setelah kemerdekaan, banyak masyarakat yang berharap Indonesia bisa lepas dari bayang-bayang korupsi kolonial. Namun, nyatanya praktik tersebut tetap bertahan dan bahkan makin mengakar kuat.

Selama pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, korupsi menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Para elite politik dan militer pun memanfaatkan jabatan mereka guna memperkaya diri mereka sendiri. Hingga saat ini, korupsi menjadi masalah serius yang sangat sulit untuk diberantas meskipun banyak lembaga antikorupsi telah dibentuk.

Budaya Patronase dan Mentalitas Feodal

Salah satu alasan mengapa korupsi begitu subur di Indonesia adalah budaya patronase dan mentalitas feodal yang masih kuat. Sejak zaman kerajaan, sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada saat itu untuk mendistribusikan kekuasaan berdasarkan hubungan kekeluargaan atau kedekatan dengan penguasa. Hal ini otomatis sistem di mana loyalitas seseorang dianggap jauh lebih penting daripada kompetensi.

Budaya patronase ini terus berkembang dalam lingkungan politik Indonesia saat ini. Banyak sekali pejabat yang terpilih bukan karena kemampuan mereka, melainkan karena mereka memiliki hubungan tertentu dengan tokoh berpengaruh. Sebagai sebuah imbalan, mereka harus “membalas budi” dengan memberikan keuntungan bagi kelompoknya.

Selain karena budaya patronase, mental feodal juga turut memperkuat praktik korupsi di negara ini. Dalam sistem ini, pemimpin dianggap sebagai “penguasa” yang berhak untuk mendapatkan lebih banyak penghormatan dan semuanya dibandingkan rakyat biasa. Akibatnya, banyak orang dengan status sosial tinggi, seperti pejabat merasa sangat wajar untuk menggunakan jabatannya demi memenuhi kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Parahnya lagi, masyarakat kerap kali tidak berani melawan praktik-praktik semacam ini karena adanya hierarki sosial yang sudah mengakar. Rakyat kecil otomatis lebih memilih untuk pasrah atau bahkan cenderung mendukung tokoh-tokoh yang mereka anggap sebagai “pelindung” meskipun jelas-jelas terlibat dalam korupsi.

Antara Religiusitas dan Kenyataan

Korupsi di Indonesia

Sepanjang tahun 2024 kemarin, ada sekitar 39 kasus korupsi di tingkat kementerian dan lembaga setingkat lainnya yang ditangani oleh KPK. Kemudian, posisi kedua ditempati oleh BUMN dan BUMD dengan sebanyak 34 kasus. Angka ini masih belum termasuk kasus korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Agung dan POLRI.

Melihat banyaknya kasus korupsi di Tanah Air, kenyataan ini sering kali kontradiktif dengan fakta bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius. Bahkan, mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.

Nah, di sinilah ada paradoks besar: meskipun agama pada dasarnya mengajarkan kejujuran dan integritas, kasus korupsi di Indonesia justru tumbuh subur dan dilakukan oleh mereka yang secara lahiriah terlihat sangat religius.

Dalam berbagai kasus, korupsi kerap kali dibungkus dengan alasan moral atau bahkan dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Misalnya, skandal korupsi di lembaga zakat dan haji yang seharusnya bebas dari KKN. Bahkan, tak jarang, uang hasil korupsi digunakan untuk melakukan wisata religi seperti yang dilakukan oleh mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

Lantas, mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Salah satu alasannya adalah adanya pemisahan antara nilai spiritual dan praktik sehari-hari. Tak sedikit orang yang menganggap bahwa selama mereka rajin menjalankan ritual keagamaan dan menunjukkan sikap religius di depan umum, tindakan koruptif yang mereka lakukan masih bisa “ditoleransi”.

Di sisi lain, ada faktor sosial yang membuat korupsi tetap menjamur hingga saat ini. Ketika seseorang memiliki kekuasaan atau memiliki jabatan dalam pekerjaannya, tekanan dari keluarga dan lingkungan sekitar untuk “berbagi rezeki” cukup tinggi. Jadi, alih-alih dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal, korupsi masih sering dianggap sebagai cara untuk membantu keluarga atau komunitas.

Jadi, Korupsi Itu Warisan atau Kebiasaan?

Setelah memahami penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia lebih dari sekadar warisan, tetapi juga kebiasaan atau budaya yang sayangnya masih terus dipelihara hingga saat ini.

Memang benar bahwa praktik korupsi sudah ada sejak zaman Nusantara masih berupa kerajaan dan makin berkembang di era kolonial. Namun, jika masyarakat saat ini terus-menerus menyalahkan masa lalu, justru mereka hanya akan terjebak dalam mentalitas korban. Faktanya, masyarakat saat ini juga memiliki andil dalam melawan ataupun mempertahankan budaya korupsi ini.

Korupsi di Indonesia adalah kebiasaan yang diwariskan alih-alih hanya warisan pasif dari masa lalu. Ada pola yang terus berulang, yakni generasi baru yang memandang korupsi sebagai hal yang biasa, sesuatu yang “lumrah” dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan.

Lantas, bagaimana caranya memutus siklus ini? Pertama, diperlukan reformasi secara sistemis yang lebih tegas guna menindak korupsi tanpa tebang pilih. Kedua, pendidikan antikorupsi harus mulai diperkuat sejak dini, agar generasi mendatang tidak lagi menganggap praktik korupsi sebagai sesuatu yang “wajar”. Terakhir, masyarakat khususnya mereka yang bekerja di institusi pemerintahan harus lebih berani menuntut transparansi dan akuntabilitas dari para pemimpin mereka.

Leave a Reply