Literasi Keuangan Naik, Tapi Investasi Masih Gagal—Kenapa?

Indeks literasi keuangan nasional terus meningkat, tetapi masih banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban investasi bodong. Mengapa demikian?
Sumber : Envato

Apakah kamu termasuk milenial atau gen Z yang aktif menggunakan platform investasi digital karena FOMO dan malah gagal mendapatkan imbal hasil? Atau mungkin kamu pernah tergoda untuk ikut investasi yang ternyata bodong? 

Padahal, menurut data terbaru, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun ironisnya, kasus penipuan investasi juga tak kunjung berkurang.

Fenomena ini menjadi pertanyaan besar. Jika memang masyarakat, khususnya generasi muda, makin melek finansial, lantas mengapa makin banyak yang terjebak investasi bodong? 

Temukan jawaban lengkapnya dalam pembahasan berikut ini.

Naiknya Indeks Literasi Keuangan Indonesia

literasi keuangan
Sumber : Envato

Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLK) 2025 yang dipublikasikan oleh OJK dan BPS, indeks literasi keuangan Indonesia berhasil menyentuh angka 66,46%. Ini menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berada di angka 65,43%. Di samping itu, indeks inklusi keuangan juga meningkat menjadi 80,51% dari yang sebelumnya 75,02%.

Hal ini tentu saja termasuk kabar baik. Sebab, data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat makin paham soal produk keuangan dan bahkan mulai berani memanfaatkannya. Namun, data ini juga menunjukkan adanya gap antara inklusi dan literasi keuangan. 

Dengan kata lain, banyak masyarakat yang sudah mulai bisa menggunakan layanan keuangan, tetapi belum benar-benar memahami risikonya.

Masalahnya, risiko layanan keuangan bukan hanya menyangkut soal angka, tetapi juga bagaimana masyarakat mampu memahami secara mendalam bagaimana uang bekerja, seperti dalam konteks investasi.

Generasi Muda Makin Melek Soal Investasi

Di tengah kemajuan produk keuangan digital, milenial dan gen Z kini menjadi penggerak utama tren investasi digital di Indonesia. Mereka memiliki semangat tinggi untuk mewujudkan kemerdekaan finansial dan bahkan tak sedikit dari mereka yang sudah mengenal apa itu saham, reksa dana, hingga kripto.

Sayangnya, semangat ini tidak sejalan dengan rasa mawas diri. Menurut data OJK, justru kelompok usia 19-34 tahun menjadi penyumbang kredit macet terbesar pada platform fintech, yakni sebesar Rp763 miliar. Bahkan, sekitar 30-40% korban investasi bodong adalah para milenial dan gen Z.

Lantas, apa yang menyebabkan kondisi tersebut? Ada banyak faktor yang membuat generasi muda lebih melek finansial tetapi juga rentan terjebak investasi bodong, di antaranya:

  • Tekanan gaya hidup yang makin kompleks dan tidak masuk akal sehingga memotivasi mereka untuk bisa mencapai financial freedom
  • Pengaruh media sosial yang seolah membuat generasi muda merasa tertinggal dari orang-orang seumuran mereka
  • Budaya FOMO (fear of missing out) yang membuat banyak anak muda tergoda untuk ikut-ikutan melakukan investasi meskipun belum memiliki pemahaman cukup

Literasi Keuangan Naik, Tapi Gagal Investasi?

literasi keuangan
Sumber : Envato

Mengapa masih banyak masyarakat Indonesia yang gagal berinvestasi atau menjadi korban investasi bodong meskipun tingkat literasi meningkat? Jawabannya tidak sesederhana “kurang ilmu”.

Masalah utamanya terletak pada ketidaksesuaian antara pengetahuan secara teoritis dengan praktik nyata di lapangan. Banyak yang sudah memahami istilah-istilah keuangan dalam investasi seperti diversifikasi atau risiko tinggi berarti potensi imbal juga tinggi. Namun nyatanya masih banyak  yang tergoda dengan iming-iming investasi seperti “return 20% per bulan tanpa risiko”.

Menurut Deputi Komisioner OJK, Sardjito, melalui laman Bisnis Plus, masyarakat Indonesia cenderung mudah tergoda pada janji imbal hasil instan dan bahkan ini berlaku pada mereka yang sudah pernah mengenyam pendidikan tinggi.

Pendidikan Tinggi Tapi Jadi Korban Investasi Bodong

Kamu mungkin mengira hanya mereka yang kurang pendidikan yang menjadi korban penipuan investasi. Nyatanya, banyak korban justru datang dari kalangan berpendidikan tinggi, contohnya kasus investasi bodong yang banyak dialami oleh mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada 2022 silam.

Hal tersebut membuktikan bahwa pendidikan formal tidak otomatis membuat seseorang kebal terhadap tipu daya yang berhubungan dengan uang. Salah satu penyebabnya adalah overconfidence dan ilusi kontrol. 

Orang yang merasa “sudah tahu” dengan suatu produk keuangan terkadang cenderung menyepelekan risiko dan bahkan lebih mudah tertipu karena iming-iming keuntungan besar.

Di samping itu, sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki pola pikir khusus jika berbicara soal uang. Mereka cenderung ingin mendapatkan uang banyak dalam jangka waktu singkat dan cenderung enggan melewati yang namanya proses. 

Akibatnya, mereka mudah jatuh dalam jebakan investasi bodong yang biasanya menawarkan imbal hasil besar dalam waktu singkat dan janji-janji tidak realistis lainnya.

Pentingnya Bijak dalam Berinvestasi

Naiknya indeks literasi keuangan nasional memang patut diapresiasi. Namun jika disangkut pautkan dengan investasi, jangan buru-buru optimis. Sebab, investasi bukan hanya soal tahu caranya saja, melainkan juga soal bijak dalam memilih dan mengendalikan diri.

Sebagai milenial atau gen Z, bagus jika kamu memiliki semangat untuk mewujudkan masa depan finansial yang lebih baik, tetapi jangan anggap ini sebagai tren belaka. Kamu perlu pemahaman yang mendalam, kemampuan analisis, dan bahkan keberanian untuk menolak tawaran investasi yang too good to be true.

Sebanyak apa pun edukasi keuangan yang kamu dapatkan, kamu tetap membutuhkan yang namanya kesadaran dan disiplin pribadi agar tidak menjadi korban investasi bodong. Ingat, literasi tanpa logika dan etika justru bisa menjadi senjata makan tuan. 

Bahkan, di era digital seperti sekarang ini, kecepatan akses informasi bukan jaminan kebenaran. Jadi, bijaklah menyaring informasi keuangan sebelum kamu masuk ke jebakan investasi yang merugikan.

Leave a Reply