Beberapa tahun lalu, fintech peer-to-peer (P2P) lending sempat digadang-gadang sebagai salah satu solusi meningkatkan inklusi keuangan di Tanah Air. Masyarakat bisa meminjam dana tanpa ribet dan para investor atau pendana bisa mendapatkan imbal hasil tinggi.
Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, mulai muncul masalah yang mengkhawatirkan, yakni gagal bayar. Fenomena ini otomatis membuat banyak investor P2P mulai bertanya-tanya, apakah fintech satu ini masih aman?
Beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan fintech P2P lending besar di Indonesia seperti PT Tani Fund Madani Indonesia, PT Igrow Resources Indonesia, dan yang terbaru adalah PT Investree Radhika Jaya mengalami gagal bayar.
Data dari pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa tingkat wanprestasi pembayaran di atas 90 hari (TWP90) pada 2023 mengalami peningkatan dari 2% menjadi 3%. Bahkan ada sebanyak 23 perusahaan yang mencatat TWP90 di atas 5%. Angka ini jelas sudah melampaui batas wajar yang ditetapkan oleh pihak regulator.
Tingginya risiko gagal bayar ini tentu menimbulkan kerugian fantastis bagi para lender atau pemberi dana, khususnya individu. Ketika pihak borrower atau peminjam tidak mampu mengembalikan dana sesuai jatuh tempo, otomatis investor tak hanya kehilangan potensi imbal hasil, tetapi juga dana pokok yang mereka investasikan. Kondisi ini lambat-laun tampaknya mulai mengikis kepercayaan publik terhadap industri keuangan yang seharusnya mampu menciptakan inklusivitas.
Apa yang membuat platform fintech P2P lending gagal bayar? Jawabannya sangatlah kompleks tetapi saling berkaitan. Salah satu akar masalahnya adalah sistem credit scoring yang belum optimal.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Celios, melalui Kontan, menyebutkan bahwa mayoritas fintech hanya mengejar kecepatan penyaluran dana tanpa mengevaluasi kelayakan penerima dana secara mendalam. Akibatnya, banyak peminjam dengan profil risiko tinggi tetap lolos seleksi dan mendapatkan pinjaman.
Selain itu, kondisi ekonomi negara yang tidak stabil, seperti inflasi tinggi atau daya beli menurun juga dapat memengaruhi kemampuan bayar peminjam. Terlebih, tata kelola internal fintech P2P juga belum semuanya memadai. Bahkan beberapa belum menerapkan manajemen risiko yang ketat, tidak memiliki sistem penagihan yang efisien, dan tidak transparan terhadap lender.
Di sisi lain, penyelanggara yang terlalu agresif dalam menarik calon peminjam tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang turut memperparah kondisi yang ada. Bahkan, saat jumlah peminjam yang gagal bayar terus melonjak, otomatis arus kas platform mengalami gangguan dan di sinilah risiko likuiditas mulai mengintai.
Sebagai regulator keuangan, OJK telah mengeluarkan sejumlah regulasi guna menjaga kestabilan industri keuangan. Salah satunya adalah POJK Nomor 10/POJK.05/2022 terkait Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Dalam aturan tersebut, setiap penyelenggara fintech P2P lending wajib memiliki nilai ekuitas minimal Rp12,5 miliar. Ketentuan ini ditujukan sebagai penyangga likuiditas agar para penyelenggara tetap mampu menjalankan kewajiban kepada investor, bahkan di masa-masa sulit.
Selain ekuitas, OJK juga mendorong para penyelenggara untuk mengutamakan transparansi informasi. Semua platform diwajibkan untuk menyampaikan secara transparan terkait data tingkat wanprestasi, cara kerja sistem penilaian kredit, hingga siapa saja borrower yang ada di dalam sistem. Dengan demikian, para investor bisa mengambil keputusan dengan lebih bijak.
Hanya saja, perlu dipahami bahwa semua regulasi ini baru akan berjalan secara efektif apabila semua penyelanggara mematuhinya dan pengawasan dari pihak OJK sendiri berjalan dengan ketat. Faktanya, tak sedikit platform yang tidak memperbarui data TWP90 mereka secara real-time atau sengaja menutupi kegagalan dengan memutar dana baru untuk menutup kewajiban lama. Praktik semacam ini justru berisiko menyeret industri fintech ke arah ponzi scheme.
Buat kamu yang aktif melakukan investasi, pasti pertanyaan ini sempat muncul di benakmu. Jawabannya, fintech P2P lending tidak sepenuhnya buruk. Hanya saja, kamu harus lebih selektif dalam memilih platform. Beberapa justru menerapkan pendekatan yang lebih ketat dalam mitigasi risiko, seperti meminta aguna atau berkolaborasi dengan institusi penjamin.
Contohnya, Danasyariah menggunakan model pinjaman berbasis agunan properti dan menggandeng sejumlah institusi penjamin, seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) PNM Mentari. Pendekatan ini diterapkan guna memberikan keamanan tambahan bagi pihak investor karena jika borrower mengalami gagal bayar, maka agunan bisa dicairkan untuk menutupi nilai kerugian.
Selain itu, kamu juga bisa mempelajari repulasi platform P2P melalui laman resminya. Sebab, platform yang tepercaya umumnya menampilkan nilai TWP90 dan TKB90, banyaknya pinjaman yang telah disalurkan, jumlah pendana, proyek yang telah berhasil didanai, dan lain sebagainya. Kamu juga bisa mengecek ulasan para investor, keaktifan platform dalam memberikan edukasi seputar investasi dan risikonya, dan masih banyak lagi.
Intinya, jangan mudah tergiur dengan imbal hasil tinggi tanpa memahami risikonya terlebih dahulu. Sebab, makin tinggi keuntungan yang ditawarkan, maka makin besar pula risiko kerugiannya. Pastikan pula kamu membaca semua dokumen sebelum melakukan investasi dan jangan pernah menaruh semua dana kamu pada satu platform.
Nah, fenomena gagal bayar yang terjadi di banyak industri fintech P2P lending ini seharusnya bisa menjadi peringatan bagi semua pihak. Hal ini termasuk regulator, penyelenggara, dan bahkan kamu sebagai pengguna. Industri ini masih memiliki potensi besar dalam memperluas jaringan pendanaan. Namun pengelolaannya harus lebih ditingkatkan lagi dan bertanggung jawab.
Kalau kamu tertarik untuk berinvestasi di fintech P2P lending, pastikan kamu tidak hanya tertarik karena keuntungan yang ditawarkan. Periksa legalitas platform di OJK, cari tahu bagaimana cara mereka menilai risiko peminjam, dan lihat rasio TWP90 mereka. Pastikan pula, platform tersebut menerapkan agunan sebagai mitigasi risiko apabila peminjam gagal bayar. Jadi, pada akhirnya, kamu juga memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan industri ini.