Media sosial merupakan salah satu inovasi teknologi yang membawa dampak masif bagi masyarakat dunia. Semula, platform media sosial ditujukan sebagai media pertemanan, berbagai informasi, hiburan, dan juga sarana aktualisasi diri. Namun, seiring dengan berkembangnya dunia, fungsi media sosial makin bervariasi, salah satunya adalah sebagai alat aktivisme.
Black Lives Matter, #METOO, #SavePalestine, ketiganya merupakan isu-isu yang ramai diperbincangkan secara offline dan bahkan online di berbagai belahan bumi dunia. Melihat kondisi dunia yang pada dasarnya selalu kacau, seperti maraknya konflik-konflik geopolitik dan konflik internal di setiap negara, tak heran banyak yang menyuarakan perubahan.
Unjuk rasa yang menuntut keadilan, perubahan, kejelasan, dan lain sebagainya untuk kehidupan bernegara yang lebih baik, tak hanya dilakukan di jalan, tetapi juga lewat media sosial. Di Indonesia, pengguna media sosial menyentuh angka 139 juta orang pada Januari 2024 atau setara dengan 49,9% dari seluruh populasi nasional.
Dari sekian banyak pengguna media sosial di Indonesia, tak sedikit yang menggunakan akunnya sebagai media aktivisme modern. Orang-orang ini memanfaatkan akunnya untuk menyuarakan opini terkait isu sosial dan politik serta pandangan progresif dengan harapan suara mereka lebih didengar oleh audiens di media sosial, termasuk yang bukan followers.
Meskipun aktivisme di media sosial tak selalu menghasilkan perubahan praktis, setidaknya sedikit demi sedikit bisa mengubah cara pandang audiens di media sosial agar tercipta masyarakat yang lebih adil dan berpikiran terbuka.
Menyuarakan pendapat di media sosial lebih dari sekadar membuat cuitan di X atau konten video di Instagram dan TikTok. Setiap informasi yang dibagikan berpotensi mendulang kontra yang berujung pada pelaporan ke pihak berwajib. Bukan hanya itu saja, masih banyak tantangan lain yang mewarnai kegiatan aktivisme di media sosial.
Kini, media sosial seperti X, Instagram, Facebook, dan TikTok memiliki filter bubble. Filter ini bisa digunakan pengguna untuk menyaring konten-konten yang hanya sejalan dengan keyakinan mereka sendiri.
Secara langsung, filter ini menciptakan echo chamber atau efek ruang gema, yakni kiasan dari sebuah fenomena saat orang-orang hanya mau menerima informasi atau pendapat yang sejalan dengan pendapat mereka sendiri. Hal ini tentunya dapat menghambat upaya aktivisme.
Pasalnya, para aktivis media sosial memiliki pandangan yang beragam terkait suatu isu. Sementara itu, audiens yang terjebak dalam echo chamber cenderung hanya mau berinteraksi dengan orang-orang dengan pandangan serupa. Padahal, suatu isu pada dasarnya harus dilihat dari berbagai sisi secara objektif.
Konten-konten aktivisme yang dikemas dalam format video pendek mendorong pola pikir instan dan pemikiran singkat. Hal ini juga berlaku untuk konten berbentuk tulisan seperti di X. Pasalnya, pengguna X memiliki kecenderungan untuk membaca teks dalam bentuk cuitan-cuitan pendek. Tak sedikit dari mereka yang berakhir salah paham atau gagal fokus bila cuitan tersebut dibuat dalam bentuk utas yang panjang.
Padahal aktivisme membutuhkan pemahaman yang komprehensif terkait isu-isu kompleks. Namun, elemen media sosial sendirilah yang membuat pengguna sulit untuk menyampaikan pesan yang panjang dan mampu memicu perubahan cara berpikir.
Platform media sosial dipenuhi dengan akun-akun penyebar troll dan hate speech yang tujuannya untuk mengganggu dan membungkam opini-opini para aktivis. Bahkan label SJW (Social Justice Warrior) kerap dilekatkan pada akun-akun aktivis dengan tujuan menggembosi suara mereka meskipun aktivis pada dasarnya memang pejuang keadilan sosial.
Media sosial sering digunakan untuk menyebarkan informasi palsu yang dapat mengubur fakta dan bahkan membuat audiens bingung. Para aktivis tentunya harus mampu membedakan mana informasi yang sahih dan palsu serta mengatasi kemungkinan terjadinya manipulasi opini publik. Pasalnya, audiens media sosial, khususnya di Indonesia, cenderung mudah percaya dengan ‘tokoh’ atau influencer yang ternama.
Apa yang disampaikan influencer sering kali langsung dipercaya begitu saja oleh pengikutnya. Itulah sebabnya, influencer atau aktivis media sosial perlu menyaring kembali informasi yang akan dijadikan konten.
Kegiatan aktivisme di media sosial cenderung fokus pada jumlah like, share, retweet, atau comment sebagai ukuran keberhasilan alih-alih dampak nyata. Hal ini dapat melahirkan aktivis-aktivis baru yang terlalu fokus pada popularitas dibanding pencapaian di dunia nyata. Kendati demikian, mampu memengaruhi cara berpikir pengguna media sosial lewat pandangan-pandangan yang disampaikan aktivis termasuk salah satu bentuk pencapaian juga.
Media sosial merupakan jembatan praktis bagi orang-orang yang ingin menyuarakan suara mereka terkait suatu isu. Berikut tips agar menggunakan media sosial untuk kegiatan aktivisme.
Media sosial adalah platform dua arah yang dapat digunakan untuk mendorong gerakan sosial terhadap suatu isu. Cara terbaik untuk mulai menunjukkan kepedulian atau bahkan terlibat dalam gerakan sosial adalah dengan memilih isu yang sejalan dengan nilai atau prinsip yang kamu yakini. Baru setelah itu dilanjutkan dengan mencari informasi valid dan referensi terkait isu tersebut dan mulai menjalin koneksi dengan orang-orang yang memiliki prinsip sama.
Seperti yang dijelaskan di atas, salah satu tantangan utama bagi para aktivis media sosial adalah potensi disinformasi. Sebab itu, bagi yang ingin memulai menyuarakan suaranya di media sosial, ada baiknya untuk mencari informasi dari akun-akun yang paham atau mengalami isu terkait.
Jangan membuat konten seolah-olah kamu tahu segalanya. Justru buatlah konten aktivisme yang mampu mengeraskan suara-suara dari pihak-pihak yang mengalami suatu isu.
Agar aktivisme di media sosial bisa memberikan perubahan secara nyata, cobalah untuk membuat konten yang menarik dan bersifat persuasif. Kamu juga bisa menyematkan tautan untuk donasi bagi orang-orang yang menjadi korban dari suatu isu. Dengan begitu, kamu tidak hanya sekadar menyuarakan saja, tetapi juga melakukan perubahan nyata.
Jadi itulah aktivisme di media sosial yang banyak dilakukan oleh anak-anak muda. Melalui media sosial, masyarakat bisa menyampaikan aspirasi, opini, dan gagasan yang berkaitan dengan suatu isu tertentu dengan tujuan dapat melakukan perubahan, meskipun itu hanya sebatas perubahan dari cara berpikir. Namun, aktivisme di media sosial bukanlah hal yang mudah karena seorang aktivis harus paham dengan isu yang akan diangkatnya.