Setiap tanggal 24 Juni, Indonesia memperingati Hari Bidan Nasional yang sekaligus menjadi momentum ulang tahun Ikatan Bidan Indonesia (IBI) yang berdiri pada tahun 1951. Namun momen ini lebih dari sekadar seremonial, melainkan juga menjadi refleksi bagi kita semua apakah kita sudah cukup menghargai para bidan, khususnya mereka yang bekerja di daerah-daerah terpencil?
Buat kamu yang tinggal di kota, tentu akses ke layanan kesehatan bukan hal yang sulit. Namun bagi mereka yang tinggal di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), bidan desa merupakan satu-satunya harapan bagi banyak keluarga untuk mendapatkan layanan kesehatan primer. Mereka lebih dari sekadar penolong saat proses persalinan, tetapi lebih dari itu.
Secara umum, bidan desa adalah sebuah profesi. Namun jika dipahami, bidan desa adalah pejuang di garis depan. Banyak dari mereka yang bekerja di daerah 3T harus menaiki motor melewati jalan berlumpur, membawa perlengkapan medis seadanya, atau bahkan menyebrang sungai demi menjangkau satu pasien yang tinggal di desa terpencil.
Mereka tak hanya membantu proses persalinan, tetapi juga menangani kesehatan ibu hamil, balita, imunisasi, memberikan edukasi kesehatan, hingga mengawasi sanitasi lingkungan melalui program jambanisasi.
Di banyak daerah terluar, seperti di Kecamatan Nangapanda, Nusa Tenggara Timur, bidan seperti Theresia Dwiaudina Sari Putri atau biasa dipanggil Bidan Dinny, bahkan harus berhadapan dengan masyarakat yang masih mengutamakan tradisi lama saat proses persalinan, seperti menggunakan dukun bayi alih-alih ke fasilitas kesehatan.
Namun semangat Bidan Dinny tak berhenti di situ. Dengan konsisten, beliau terus melakukan pendekatan yang penuh dengan empati dan berhasil mengubah pola pikir mayoritas warga. Dari hanya 5% warga yang mau datang ke fasilitas kesehatan, kini 85-90% masyarakat di desanya sudah memanfaatkan layanan kesehatan yang lebih aman.
Tentu Bidan Dinny bukan satu-satunya bidan desa yang harus berhadapan dengan kondisi masyarakat yang masih mengutamakan pengobatan tradisional. Banyak bidan-bidan lain di luar sana yang memiliki pengalaman serupa dan ini menjadi bukti nyata betapa sulitnya mengedukasi masyarakat Indonesia sebagai petugas kesehatan.
Bagi masyarakat perkotaan yang bahkan belum pernah terjun langsung mengedukasi masyarakat daerah, mungkin masih menyangsikan mengapa perubahan begitu sulit dilakukan, salah satunya dalam hal kesehatan. Jawabannya sederhana, yakni karena medan dan budaya masyarakat.
Di Desa Uzuzozo misalnya, Bidan Dinny harus melintasi jalan yang rusak, fasilitas yang nyaris nihil, dan anggapan masyarakat setempat bahwa dirinya “mengganggu” mata pencaharian dukun beranak.
Bahkan ada masyarakat desa yang terang-terangan menolak kehadirannya, tetapi ia tidak menyerah. Justru ia memilih strategi “jemput bola” dengan mengunjungi rumah warga satu per satu dan siaga selama 24 jam tanpa mengenal waktu.
Bidan Dinny berupaya menjadi jembatan antara kepercayaan lokal dengan pendekatan medis modern. Misalnya saja saat imunisasi, masih banyak masyarakat percaya jarum suntik anak harus terlebih dahulu ditancap ke pohon pisang untuk menghilangkan demam. Tentu, ia menghargai kepercayaan lokal tersebut, asalkan tidak membahayakan pasien dengan membiarkan jarumnya di sana, baru nanti diam-diam ia ambil kembali.
Cerita perjuangan Bidan Dinny tentu bukan satu-satunya. Di seluruh Indonesia, khususnya desa-desa di daerah 3T, ribuan bidan desa mengalami pengalaman yang serupa. Mereka tidak hanya harus menghadapi tantangan geografis, tetapi juga minimnya dukungan dari otoritas setempat, warga lokal, dan keterbatasan anggaran. Bahkan masih banyak dari mereka hanya berstatus sebagai tenaga sukarela sehingga kurang mendapatkan kesejahteraan.
Ironisnya, peran bidan desa yang sangat krusial justru tak sebanding dengan kesejahteraan yang mereka dapatkan. Misalnya di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, dari sebanyak 167 bidan desa yang bertugas, hanya ada 25 bidan yang sudah berstatus ASN. Sisanya merupakan tenaga sukarela yang menggantungkan penghidupan dari insentif yang tak seberapa itu. Bahkan sering kali insentif tidak dibayar tepat waktu.
Menurut Ketua IBI Dompu, Ida Fitriyani, melalui RRI, sebagian besar anggaran desa tidak cukup untuk mencukupi insentif bidan. Bahkan pemerintah kabupaten pun lebih banyak merekrut guru alih-alih tenaga kesehatan. Padahal, keduanya sama penting untuk menjamin kesejahteraan masyarakat.
Data Dinas Kesehatan setempat menunjukkan bahwa dari lebih dari 248 ribu penduduk, hanya ada 167 bidan, 200 perawat, dan 23 dokter umum. Mirisnya, di banyak desa, bidanlah satu-satunya sumber informasi medis modern.
Melihat data ini, sudah seharusnya menjadi PR penting bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Jika kita semua ingin masyarakat hidup dengan sejahtera, otomatis layanan kesehatan berkualitas harus mampu menjangkau siapa saja, termasuk mereka yang berada di daerah 3T.
Selain itu, untuk memastikan masyarakat desa sehat, tentu pemerintah juga harus memastikan orang yang bertugas di sana juga bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Apresiasi saja tidak cukup hanya dengan sertifikat, tetapi juga harus diwujudkan dalam bentuk dukungan nyata, seperti pemberian fasilitas pendukung, memastikan upah tidak pernah telat, pengangkatan menjadi PPPK atau ASN, hingga jaminan sosial.
Jadi, Hari Bidan Nasional seharusnya tidak hanya menjadi formalitas belaka atau sekadar ajang untuk mengenang kembali sejarah berdirinya Ikatan Bidan Indonesia. Hari ini menjadi momentum bagi semua pihak, baik masyarakat dan pemerintah, untuk lebih mengenali, menghargai, dan mendukung bidan-bidan desa yang saat ini masih menjadi tulang punggung sistem kesehatan Indonesia, khususnya di daerah-daerah 3T.
Mereka layak untuk diapresiasi, tetapi bukan hanya dari ucapan, melainkan dari kebijakan pemerintah yang memihak nasib mereka. Sebab, kesehatan adalah fondasi penting bagi sebuah kemajuan, baik bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan. Jika masyarakat sehat, maka mereka bisa lebih produktif dan berprestasi yang pada akhirnya mampu mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia menjadi Indonesia Emas 2045.