Pembiayaan (PP) syariah adalah salah satu produk keuangan dengan prinsip syariah yang makin diminati di Indonesia. Pasalnya, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Jadi, wajar bila produk-produk keuangan syariah seperti pembiayaan sangat diminati di Tanah Air.
Dalam operasional pembiayaan syariah, terdapat beberapa jenis akad yang digunakan. Akad-akad ini berfungsi untuk memahami sampai sejauh mana sebuah transaksi dapat dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan Islam.
Nah, dalam artikel ini, kita akan membahas 9 akad yang ada dalam pembiayaan syariah. Namun sebelum itu, mari kita simak terlebih dahulu sejarah singkat mengenai perkembangan keuangan syariah di Indonesia.
Melansir laman Sikapiuangmu OJK, keuangan syariah di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang sebagai upaya pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan sistem keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Pada 1983, perbankan Indonesia mengalami deregulasi setelah Bank Indonesia memberikan kebebasan pada institusi perbankan untuk melakukan penetapan suku bunga.
Kebijakan tersebut menciptakan sistem perbankan yang lebih kuat dan efisien guna mendukung perekonomian negara. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia juga merencanakan penerapan “sistem bagi hasil” yang diambil dari konsep perbankan syariah.
Lalu, pada 1988, pemerintah mengeluarkan aturan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88). Kebijakan ini membuka peluang luas bagi institusi perbankan, tak terkecuali syariah. Setelah ditetapkannya regulasi ini, banyak usaha perbankan dengan prinsip syariah mulai bermunculan di Indonesia.
Perbankan syariah pertama kali diperkenalkan secara resmi pada 1992 dengan berdirinya Bank Muamalat. Bank ini juga menjadi pionir dalam pengembangan sistem keuangan syariah di Tanah Air. Pada tahun-tahun berikutnya, banyak bank konvensional mulai memberikan layanan keuangan syariah.
Di sisi lain, keuangan syariah di Indonesia juga tak hanya terbatas pada perbankan syariah tetapi juga mencakup produk asuransi, obligasi, dan pembiayaan syariah. Dalam konteks pembiayaan syariah, terdapat berbagai macam akad yang digunakan untuk memenuhi transaksi pembiayaan.
Melansir dari berbagai sumber, di bawah ini adalah 9 akad dalam pembiayaan syariah:
Akad murabahah adalah prinsip transaksi antara lembaga PP syariah dan penerima pembiayaan atau nasabah. Dalam akad ini, harga beli produk disampaikan secara transparan oleh PP syariah kepada nasabah. Nasabah setuju untuk membeli dengan harga yang lebih tinggi sebagai keuntungan pihak PP. Jumlah margin keuntungan harus disepakati oleh kedua belah pihak.
Akad ini banyak digunakan dalam berbagai transaksi, seperti pembelian aset bangunan, KPR syariah, pembiayaan kendaraan, dan masih banyak lagi. Mekanisme pembayarannya dapat dilakukan dengan cara diangsur sesuai kesepakatan.
Jenis akad yang kedua adalah wadiah, yakni akad yang melibatkan kegiatan penitipan aset berupa barang atau uang antara pihak nasabah dan PP syariah. Nasabah menyerahkan asetnya kepada PP yang bertugas sebagai pihak yang menyimpan aset.
Selanjutnya, PP syariah memiliki kewajiban untuk menjaga aset titipan nasabah dengan aman dan utuh. Dalam akad wadiah, tidak ada sistem bagi hasil, melainkan hanya bonus secara sukarela dari pihak PP.
Akad mudharabah adalah bentuk kerja sama usaha antara pemberi modal dan pengelola modal sesuai perjanjian. Dalam hal ini, pemberi modal adalah nasabah dan pengelola adalah bank atau lembaga keuangan. Modal yang diberikan umumnya akan disalurkan dalam bentuk pinjaman syariah kepada debitur.
Bedanya dengan bank konvensional berada pada sistem pembagian hasil usaha. Pembiayaan syariah melakukan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang sudah disepakati. Sementara bila mengalami kerugian, pemodal lah yang bertanggung jawab, tetapi pihak pengelola bisa saja ikut bertanggung jawab bila disebabkan oleh kesalahan mereka.
Akad musyarakat merupakan bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam menjalankan suatu usaha. Dalam akad ini, setiap pihak memberikan modal usaha sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dana tersebut kemudian dikelola sebagai modal untuk menjalankan usaha.
Mengenai bagi hasil, jumlahnya juga disesuaikan dengan besarnya modal yang diberikan masing-masing pihak. Bila terjadi kerugian, maka setiap pihak harus ikut bertanggung jawab dengan memperhitungkan modal masing-masing. Contoh dari penerapan akad musyarakah adalah pada pinjaman KPR syariah atau pinjaman modal kerja di bank syariah.
Akad istishna’ merupakan perjanjian mengenai pemesanan pembuatan suatu produk sesuai dengan kriteria dan syarat yang disepakati kedua pihak. Kedua pihak di sini adalah pihak yang memasang atau pembeli dan pihak penjual atau pembuat.
Pihak pembuat atau penjual memiliki tanggung jawab untuk memproses pesanan sesuai dengan perjanjian dengan pembeli. Perjanjian ini umumnya diterapkan dalam pemesanan barang dalam jumlah banyak seperti pembiayaan properti berupa kaveling melalui lembaga pembiayaan syariah.
Akad salam merupakan bentuk transaksi pembiayaan atau jual beli barang dengan cara dipesan terlebih dahulu. Di sini, pembeli memesan produk dan membayar produk dengan jumlah tertentu di muka.
Selanjutnya, penjual akan memproses pesanan sesuai dengan permintaan yang telah disepakati bersama. Contoh penerapan akad ini adalah dalam sistem transaksi pre-order. Sementara itu, dalam konteks pembiayaan syariah, akad ini digunakan untuk memberikan modal usaha di muka kepada nasabah.
Akad ijarah adalah bentuk penyediaan dana yang digunakan untuk memindahkan hak guna atau manfaat suatu barang atau jasa dengan mekanisme sewa. Ingat, akad ini hanya memindahkan hak guna saja, bukan kepemilikan barang atau jasa terkait.
Pembiayaan dengan akad ini terjadi di mana ada satu pihak bertindak sebagai penyewa dan membayar kepada pihak kedua untuk memperoleh hak guna dari produk yang dimiliki oleh pihak kedua. Sementara itu, hak milik produk tetap berada di tangan pihak kedua atau pemilik sah dari produk tersebut.
Jenis akad yang selanjutnya adalah akad qardh yang diterapkan dalam transaksi pinjaman tanpa imbalan. Kendati demikian, nasabah yang menerima pinjaman tetap wajib mengembalikan pinjaman sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Qardh tidak memberlakukan imbalan karena tergolong sebagai riba. Sebab, akad qardh tidak dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan melainkan untuk saling membantu.
Akad satu ini mirip seperti akad ijarah pada umumnya, yakni perjanjian pemindahan hak guna suatu barang atau jasa menggunakan mekanisme sewa. Perbedaan antara keduanya terletak pada sistem pembayaran sewa. Dalam akad ijarah muntahiyah bit tamlik, penyewa membayar dana untuk menggunakan produk atau jasa terkait.
Di sisi lain, penyewa juga memiliki opsi untuk memiliki hak milik dari produk yang disewa jika kontrak sudah berakhir. Dalam konteks pembiayaan, akad ini digunakan untuk membayar cicilan sewa sekaligus pokok untuk produk properti, seperti rumah. Bila sewa sudah berakhir, penyewa bisa membeli rumah tersebut dengan harga yang lebih rendah atau sisa dari cicilan awal.
Demikian ulasan mengenai beberapa akad pada pembiayaan syariah. Akad-akad di atas merupakan hal penting untuk menjamin keabsahan transaksi keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan syariah.