Pernah mendengar istilah mental miskin? Tahukah kamu bahwa istilah ini bukan hanya sekadar label, tetapi juga mencerminkan cara berpikir dan pola hidup yang bisa menjadi salah satu akar dari kemiskinan itu sendiri?
Di Indonesia, kemiskinan bukan hanya soal kurangnya kepemilikan harta benda atau angka di statistik. Lebih dari itu, banyak kasus kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat yang sebenarnya dipicu oleh pola pikir negatif yang terus dirawat dan kita sebut sebagai mental miskin.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia menyentuh angka 25,22 juta jiwa atau setara dengan 9,03% dari total populasi. Meskipun mengalami penurunan dari periode sebelumnya, angka ini masih cukup besar.
Pertanyaannya adalah mengapa program-program bantuan sosial dan pemberdayaan yang diberikan oleh pemerintah belum bisa benar-benar mengentaskan masalah ini? Salah satu jawabannya adalah karena Indonesia belum berhasil membenahi akar masalahnya, yakni mental miskin.
Mental miskin adalah pola pikir yang membuat seseorang merasa dirinya tidak mampu, tidak memiliki harapan, dan cenderung pasrah dengan keadaan meskipun sebenarnya memiliki banyak peluang untuk mengubah nasibnya. Mental atau pola pikir miskin bukan soal jumlah harta yang kamu miliki, melainkan bagaimana kamu memandang hidup dan memperjuangkan nasibmu sendiri untuk masa depan.
Orang yang memiliki mental miskin cenderung enggan berubah, mudah menyerah, dan lebih suka mendapatkan bantuan alih-alih berusaha sendiri. Bahkan, tak jarang orang yang secara ekonomi tergolong berkecukupan pun masih bisa terjebak dalam pola pikir semacam ini. Misalnya, selalu merasa kurang ketika sudah mendapatkan sesuatu atau terlalu bergantung pada orang lain untuk menyelesaikan masalah.
Mental miskin sebenarnya bisa dihindari. Untuk menghindarinya, kamu harus mengenali ciri-ciri umumnya terlebih dahulu. Melansir dari laman RRI, berikut beberapa ciri orang yang memiliki mental miskin:
Siapa saja boleh mengeluh karena ini hal yang manusiawi. Namun orang dengan mentalitas miskin cenderung selalu mengeluh setiap saat. Saat mendapatkan rezeki, mereka akan tetap mengeluh karena merasa kurang.
Saat mendapatkan pekerjaan pun mereka juga mengeluh. Ini menggambarkan bahwa orang dengan poor mindset atau pola pikir miskin adalah orang yang sulit bersyukur.
Orang pesimis tidak selalu realistis. Tak sedikit dari mereka yang memang tidak mau berusaha dan bahkan tidak percaya dengan kemampuannya sendiri. Orang seperti ini cenderung akan selalu menolak peluang yang ada bahkan sebelum mencobanya terlebih dahulu.
Salah satu ciri orang dengan mental miskin adalah pola pikir instan. Mereka cenderung menginginkan semuanya cepat dan enggan melalui proses atau usaha. Misalnya, lebih memilih melakukan nepotisme daripada belajar lebih giat untuk mengikuti tes masuk kerja.
Orang dengan poor mindset cenderung memiliki rasa penasaran yang rendah dan biasanya enggan belajar hal baru. Mereka biasanya berpikir jika apa yang mereka kuasai saat ini sudah cukup untuk mencukupi kehidupan di masa depan. Padahal, dunia senantiasa berubah dan terus mengalami perkembangan. Jika kamu berhenti belajar, otomatis kamu tidak memiliki daya saing.
Orang dengan mentalitas miskin biasanya lebih senang menerima bantuan sosial secara terus-menerus. Mereka cenderung memiliki sikap tangan di bawah bahkan ketika sebenarnya mereka sudah mampu mandiri.
Lantas, dari mana asal pola pikir ini? Mental miskin tidak muncul begitu saja tetapi terbentuk dari beberapa faktor yang saling berkaitan.
Salah satu faktor utama penyebab poor mindset adalah lingkungan keluarga. Individu yang tumbuh dalam keluarga yang cenderung selalu bergantung pada bantuan dan tidak mendapatkan contoh kerja keras akan meniru pola yang sama. Tanpa adanya nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan semangat belajar, maka seseorang akan terbiasa hidup pasrah.
Selain keluarga, lingkungan sosial juga memicu munculnya pola pikir miskin. Dalam beberapa kelompok sosial, meminta dianggap sebagai hal yang biasa. Di Indonesia misalnya, ada kampung pengemis yang mayoritas penduduknya mencari makan dengan cara mengemis. Parahnya, mereka sebenarnya mampu secara fisik dan finansial tetapi memilih untuk mengemis.
Budaya pasrah yang dilanggengkan di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab mentalitas miskin. Terlebih, mayoritas masyarakat Indonesia memiliki keyakinan bahwa kemiskinan adalah takdir. Kalimat-kalimat seperti “sudah takdirnya begini” atau “saya dari keluarga ga punya, ya nggak mungkin sukses” masih kerap terdengar di tengah masyarakat.
Terakhir, pendidikan yang tidak memadai turut menjadi faktor langgengnya mentalitas miskin di kehidupan masyarakat Indonesia. Pendidikan Indonesia kurang menekankan pentingnya membentuk pola pikir kritis dan positif. Akibatnya, seseorang menjadi sulit memahami pentingnya kerja keras, menghargai proses yang jujur, dan menanamkan keinginan untuk selalu belajar dan berusaha.
Mental miskin tak hanya menghambat pertumbuhan pribadi, tetapi juga bisa berdampak pada masyarakat luas dan bahkan negara. Apabila pola pikir seperti ini terus dirawat, maka masyarakat enggan berubah sekali pun sudah mendapatkan banyak bantuan.
Seperti yang disampaikan oleh Kepala Bappeda Jawa Tengah, Sujarwanto, melalui laman Jatengprov menyampaikan bahwa banyak warga tetap ingin mendapatkan bantuan pemerintah meskipun tergolong sudah mampu. Akibatnya, bantuan sosial dari pemerintah kerap salah sasaran dan mereka yang benar-benar membutuhkan malah sama sekali tidak mendapatkan bantuan.
Jika poor mindset seperti ini terus dirawat, maka generasi berikutnya cenderung akan meniru pola yang sama. Hal ini menciptakan bahwa semua yang ada di hidup ini “gratis” tanpa usaha dari diri sendiri.
Selain itu, poor mindset juga berisiko merusak hubungan sosial karena bisa menimbulkan sifat iri, rendah diri, dan suka menyalahkan keadaan serta orang lain. Bahkan pola pikir seperti ini juga bisa menimbulkan masalah kesehatan mental karena makin terjebak dalam lingkaran negatif.
Mental miskin merupakan realitas psikologis dan sosial yang masih mengakar kuat di masyarakat Indonesia. Jika melihat kasus-kasus di lapangan, miskin bukan hanya soal tidak punya uang, tetapi juga karena cara berpikirnya.
Pemerintah memang memiliki tanggung jawab besar dalam mengentaskan masalah kemiskinan secara struktural. Namun, masalah sosial ini juga mengharuskan perubahan dari dalam diri masyarakat sendiri. Program-program bantuan sosial, pelatihan keterampilan, hingga peluang kerja tidak akan membuahkan hasil yang optimal jika pola pikir masyarakatnya ingin serba nyaman.
Itulah sebabnya, mental miskin harus mulai dihilangkan dari lingkungan terkecil, yakni keluarga. Ajarkan anak dan saudara untuk menghargai pentingnya proses, tidak terlalu bergantung pada orang lain, serta merawat keinginan untuk senantiasa belajar dan berkembang.