Siapa sih yang tidak mengenal TikTok? Aplikasi video pendek asal Tiongkok ini telah menjadi salah satu fenomena global dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah penggunanya pun telah menyentuh lebih dari satu miliar pengguna di seluruh dunia dan didominasi oleh generasi muda.
Namun, di tengah popularitas TikTok, ada beberapa negara yang justru memilih untuk memblokir TikTok, baik secara keseluruhan maupun hanya pada perangkat pemerintah. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan: mengapa sejumlah negara memutuskan untuk memblokir TikTok?
Ada beberapa negara dunia pertama dan ketiga yang memutuskan untuk memblokir TikTok, seperti Amerika Serikat, Kanada, India, dan Afghanistan. Masing-masing negara menerapkan kebijakan yang beragam, ada yang memblokir sepenuhnya dan ada pula yang hanya memberlakukan larangan pada sejumlah perangkat pemerintah.
Amerika Serikat adalah salah satu negara dunia perttama yang mempertanyakan tingkat keamanan data para pengguna TikTok. Imbasnya, AS melarang karyawan di lembaga pemerintahannya untuk menggunakan TikTok karena khawatir informasi sensitif negara jatuh ke tangan pemerintah Tiongkok. Hingga kini, ada lebih dari 30 negara bagian di AS yang ikut menerapkan kebijakan tersebut.
Sejumlah institusi utama Uni Eropa seperti, Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Uni Eropa, melarang penggunaan TikTok pada perangkat kerja pegawainya. Di samping itu, anggota parlemen Uni Eropa juga diminta untuk menghapus aplikasi TikTok dari gawai pribadi mereka guna meminimalkan risiko kebocoran data.
Kanada mengikuti jejak Amerika Serikat dalam melarang penggunaan TikTok di perangkat pemerintah karena faktor cybersecurity. Menurut otoritas setempat, aplikasi besutan Tencent tersebut memiliki risiko “yang tidak bisa diterima” terkait keamanan data para pengguna.
India menjadi salah satu negara dunia ketiga yang juga memutuskan untuk melarang TikTok secara nasional pada 2020 silam. Kebijakan ini diambil setelah terjadi ketegangan di wilayah perbatasan India dan Tiongkok sehingga meningkatkan kekhawatiran otoritas setempat terhadap privasi dan keamanan data pengguna.
Afghanistan yang kini dikuasi oleh Taliban, melarang TikTok pada 2022. Kelompok tersebut menganggap aplikasi ini tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang ingin mereka terapkan di negara tersebut.
Selain kelima negara di atas, masih ada banyak negara lain yang memblokir TikTok di lingkup pemerintahan maupun secara nasional. Adapun negara yang dimaksud adalah Taiwan, Nepal, Pakistan, Britania Raya, Selandia Baru, Prancis, Belgia, Latvia, Denmark, Belanda, dan Australia.
Ada beberapa alasan utama yang mendasari keputusan berbagai negara untuk melarang penggunaan TikTok. Berikut ini beberapa dari alasan tersebut:
Sejumlah negara khawatir bahwa aplikasi TikTok dibuat untuk sengaja mengumpulkan data pengguna dalam jumlah besar dan dikirimkan ke server di Tiongkok. Pasalnya, undang-undang di Tiongkok sendiri memungkinkan pemerintah untuk meminta data dari perusahaan teknologi dalam negeri tanpa harus memberi tahu para pengguna.
Kondisi itulah yang membuat banyak negara Barat dan sejumlah negara di Asia mencurigai TikTok bisa menjadi alat untuk memantau aktivitas para pengguna yang ada di luar Tiongkok. Otoritas dari negara-negara tersebut mengkhawatirkan terjadinya akses ilegal terhadap data-data sensitif pemerintahan.
Di sejumlah negara, khususnya yang memiliki hubungan diplomatik tegang dengan Tiongkok, TikTok dianggap sebagai sebuah ancaman nyata bagi keamanan nasional. Mereka khawatir aplikasi dengan lebih dari satu miliar pengguna tersebut bisa mengakses data lokasi, kontak, maupun informasi pribadi para pengguna dan digunakan oleh pemerintah Tiongkok untuk kepentingan intelijen.
Bagi negara-negara yang memblokir TikTok, aplikasi ini dianggap memiliki potensi untuk bisa mengendalikan jenis informasi yang dibagikan di platform-nya. Sejumlah negara Barat mencurigai bahwa TikTok bisa menyaring atau mempromosikan konten-konten tertentu dengan tujuan propaganda atau manipulasi politik.
Selain itu, juga ada kekhawatiran dari sejumlah otoritas negara bahwa TikTok bisa digunakan sebagai media untuk menyebarkan berita-berita hoaks yang bisa memengaruhi opini publik, khususnya yang berkaitan dengan isu-isu sensitif.
Di sejumlah negara seperti Pakistan dan Afghanistan, pelarangan TikTok juga didasarkan pada faktor sosial dan budaya. Kedua negara tersebut menganggap TikTok tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal yang dianut.
Mereka juga menganggap TikTok bisa memengaruhi generasi muda dengan konten-konten yang tidak sesuai norma. Alih-alih karena masalah keamanan data, justru Pakistan dan Afghanistan lebih fokus ke masalah perlindungan budaya sebagai alasan dari pemblokiran TikTok secara nasional.
Pemerintah di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah mengambil langkah kongkret untuk melarang TikTok demi menjaga keamanan siber. Mereka berusaha untuk melindungi data karyawan mereka dari risiko penyadapan siber yang kian hari kian meningkat, terlebih di tengah perkembangan era digital saat ini.
Jadi, dapat dipahami bahwa larangan penggunaan TikTok di sejumlah negara menunjukkan bahwa aplikasi populer tersebut tak hanya menjadi alat hiburan, tetapi juga dianggap membawa ancaman terhadap keamanan, privasi, serta kontrol informasi.
Meskipun TikTok masih tetap populer di banyak negara, tak terkecuali Indonesia, keputusan beberapa pemerintah untuk menerapkan kebijakan pembatasan atau bahkan melarang aplikasi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait peran perusahaan teknologi dalam mengumpulkan dan mengelola data pengguna.
Di sisi lain, larangan ini juga membuka peluang untuk diskusi lebih luas terkait pentingnya regulasi yang tepat bagi para perusahaan media sosial dalam memberikan perlindungan terhadap keamanan dan kepentingan nasional.