Pancasila Hari Ini: Masihkah Relevan?

Sumber : Freepik

Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia telah menjadi fondasi dalam berbangsa dan bernegara sejak 1945. Lima sila yang ada di dalamnya dirumuskan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang sarat akan keberagaman.

Namun, di tengah pesatnya modernisasi, globalisasi, dan era digital, sebagian masyarakat Indonesia mungkin mulai mempertanyakan apakah Pancasila masih relevan? Apakah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mampu menjawab tantangan hari ini, mulai dari polarisasi politik, ketimpangan sosial, hingga krisis empati digital?

Di hari kelahiran Pancasila ini, mari mulai belajar memaknai pengaplikasian setiap sila di dalamnya dalam kehidupan saat ini.

Memaknai Persatuan di Tengah Polarisasi Sosial dan Politik

Pancasila
Sumber : Freepik

Fenomena polarisasi sosial dan politik sudah menjadi hal umum di Indonesia, terlebih menjelang tahun-tahun politik seperti tahun 2024 kemarin. Kamu pasti juga menyadari bagaimana media sosial Indonesia sering menjadi ajang adu opini yang bahkan berisiko memecah belah hubungan antarindividu hanya karena beda pilihan politik.

Padahal, Pancasila sila ke-3 berbunyi “Persatuan Indonesia” yang mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keutuhan bangsa di tengah keberagaman. Menurut Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar dari BNPT RI, menjaga nasionalisme dan memupuk toleransi sangat penting untuk mencegah terjadinya politik identitas yang cenderung destruktif. Sebab, polarisasi yang ekstrem berasal dari fanatisme buta dan ini bisa merusak tenun kebangsaan kita yang sangat kaya dan kompleks.

Sebagai warga negara Indonesia, kamu bisa mulai memaknai persatuan dari hal kecil, seperti tidak menyebarkan hoaks, menghargai keberagaman opini, dan aktif menyuarakan pentingnya persatuan. 

Namun perlu dipahami juga bahwa persatuan bukan berarti harus satu suara dan terpaksa harus menerima perbedaan. Persatuan yang sejati adalah bisa menerima perbedaan tanpa rasa benci maupun terpaksa sama sekali. Inilah kekuatan Pancasila yang masih relevan di era konflik kepentingan dan disinformasi.

Keadilan Sosial dan Ketimpangan yang Masing Menganga

Selain sila ke-3, sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” masih dipertanyakan relevansinya saat ini. Sebab, sila tersebut sejatinya mengandung janji untuk menciptakan Indonesia yang inklusif, adil, dan sejahtera. Namun, kenyataannya, ketimpangan ekonomi dan sosial masih menjadi masalah serius hingga saat ini.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per 2023, indeks Gini (indikator ketimpangan pendapatan) masih di angka 0,388. Ini artinya ketimpangan ekonomi di Indonesia masih cukup lebar.

Lantas, apa makna keadilan sosial hari ini? Jelas, maknanya bukan hanya soal pemerataan kekayaan, tetapi juga akses yang setara terhadap pendidikan, kesehatan, hingga keadilan hukum. Namun sangat disayangkan bahwa hari ini masih banyak saudara kita yang bahkan belum bisa mendapatkan fasilitas dasar yang layak.

Padahal, Pancasila sejatinya mengajarkan bahwa pembangunan nasional tak boleh hanya untuk segelintir orang. Jadi, bagi generasi muda saat ini, mereka bisa ikut berperan dan berkontribusi aktif dalam gerakan sosial untuk memperjuangkan pendidikan yang inklusif hingga advokasi hak-hak kelompok rentan. Sebab, keadilan sosial yang sejati hanya bisa terwujud jika kita peduli dan mau bergerak setiap hari.

Tantangan Nilai Kemanusiaan di Era Digital

Pancasila
Sumber : Freepik

Sila ke-2 Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” juga mulai dipertanyakan relevansinya dengan era sekarang. Sila tersebut mengandung pesan kuat terkait empati, adab, dan kesadaran moral.

Namun, mari kita jujur terhadap diri sendiri bahwa di era digital ini, nilai-nilai kemanusiaan tampaknya mulai tergerus. Di media sosial, banyak masyarakat Indonesia makin mudah untuk menghakimi orang lain, menyebar kebencian, atau bahkan menjadi pasif terhadap penderitaan sesama karena merasa “itu bukan urusanku.”

Sementara itu, nilai spiritualitas dalam Pancasila seharusnya bisa menjadi penuntun untuk masyarakat agar tetap bersikap manusiawi di tengah zaman yang serba cepat ini. Sayangnya, apa yang dilakukan masyarakat Indonesia di media sosial sering kali tidak sesuai dengan sila pertama, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang seharusnya dimaknai melalui tindakan sehari-hari, bukan hanya dari ritual-ritual keagamaan.

Sebagai generasi muda, kamu bisa mulai memaknai sila ke-2 ini dari hal-hal sederhana, seperti lebih bijak dalam bermedia sosial, tidak ikut menyebarkan konten negatif, dan mengutamakan empati alih-alih sinisme.

Pancasila dan Tantangan Generasi Masa Kini

Berbicara soal relevansi Pancasila dengan era sekarang, generasi muda seperti milenial dan gen Z adalah generasi dominan yang seharusnya lebih peduli dengan Pancasila. Terlebih, mereka saat ini hidup di tengah derasnya arus globalisasi, informasi yang tak terbendung, dan lain sebagainya.

Namun di tengah kondisi globalisasi ini, nilai-nilai Pancasila masih bisa menjadi pegangan, bahkan untuk generasi digital. Pancasila bukan hanya dihafalkan, tetapi juga bisa menjadi pijakan bagi generasi muda terhadap nilai-nilai luhur bangsa.

Pancasila juga bisa menjadi pedoman dalam mengarungi dunia kerja, relasi sosial, hingga dalam menciptakan komunitas yang inklusif dan produktif. Kamu bisa melihat contoh riilnya dalam berbagai kegiatan komunitas hingga gerakan peduli lingkungan yang kerap digunakan oleh anak muda.

Jadi, tantangan ke depan bukan hanya soal mempertahankan Pancasila sebagai slogan, tetapi mewujudkannya dalam tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pendidikan karakter yang berbasis nilai Pancasila juga terus didorong, baik di lingkungan pendidikan maupun dalam ruang-ruang digital yang kini menjadi tempat kumpul anak muda.

Jadi, masihkah Pancasila relevan dengan kehidupan zaman sekarang? Jawabannya sangat relevan karena saat dunia makin kompleks dan masyarakat cenderung ingin memisahkan diri, Pancasila bisa menjadi salah satu kompas moral bagi bangsa Indonesia untuk kembali ke jalan tengah, yakni jalan kebangsaan, keadilan, dan kemanusiaan.

Leave a Reply