
Beberapa waktu yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kabar yang cukup menggembirakan, yakni terkait pertumbuhan ekonomi RI yang berhasil menyentuh angka 5,12% pada kuartal II 2025. Angka ini menunjukkan adanya optimisme negara di tengah kondisi global yang masih penuh dengan ketidakpastian.
Hanya saja, di balik berita baik itu, ada paradoks yang cukup menarik banyak perhatian. Meskipun kelihatannya perekonomian RI mengalami pertumbuhan, justru penerimaan pajak mengalami penurunan. Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin ekonomi naik tetapi pemasukan negara dari pajak tidak ikut naik? Bukankah keduanya seharusnya saling beriringan?

Ada beberapa faktor utama di balik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis oleh BPS, berikut di antaranya:
Pertama, konsumsi rumah tangga di Tanah Air masih menjadi penggerak utama perekonomian negara. Pada kuartal II 2025, konsumsi mengalami kenaikan sekitar 4,07%. Kenaikan ini disinyalir karena inflasi yang relatif rendah, yakni di angka 2,18%. Alhasil, daya beli masyarakat masih tetap terjaga. Selain itu, libur sekolah dan perayaan hari besar keagamaan ikut mendorong konsumsi masyarakat, khususnya di sektor transportasi, restoran, dan akomodasi.
Kedua, investasi mengalami lonjakan yang cukup tinggi. Investasi langsung, seperti Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) turut mencatatkan pertumbuhan yang signifikan. Bahkan, realisasi investasi pada periode ini berhasil menyentuh angka Rp477,7 triliun. Selain itu, sektor-sektor seperti bangunan, mesin, dan peralatan juga mencatatkan kenaikan yang tajam. Hal ini menunjukkan bahwa dunia usaha masih optimis terhadap prospek ekonomi dalam negeri ke depan.
Pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal II 2025 tidak lepas dari kontribusi besar sektor ekspor dan impor. Data menunjukkan ekspor barang mengalami pertumbuhan lebih dari 10%. Sementara itu, ekspor jasa meningkat karena adanya lonjakan kunjungan wisatawan dari luar negeri. Selain itu, impor bahan baku dan barang modal juga ikut mengalami kenaikan yang sekaligus menunjukkan bahwa industri dalam negeri sedang mempersiapkan proses produksi yang lebih besar lagi.
Sektor industri pengolahan dalam negeri mengalami pertumbuhan yang stabil. Industri seperti logam dasar, makanan dan minuman, serta kimia dan farmasi juga masih menjadi penopang utama. Selain itu, sektor pertanian juga ikut mengalami pertumbuhan yang cukup membanggakan, yakni mencapai 13,82%. Hal ini sekaligus menunjukkan adanya peningkatan produktivitas di setiap daerah.
Tentunya, pemerintah melalui APBN ikut menjaga momentum ini. Belanja modal pemerintah pun ikut mengalami kenaikan lebih dari 30% dan difokuskan pada pembangunan infrastruktur dan penyediaan fasilitas publik. Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui laman Kemenkeu menegaskan bahwa APBN akan terus menjadi instrumen stabilisasi agar ekonomi tetap kuat kendati kondisi dunia global sedang tidak bersahabat.
Dengan pencapaian ini, bisa dibilang Indonesia sudah cukup sukses dalam menjaga momentum pertumbuhan, bahkan lebih tinggi dari banyak negara G20. Hanya saja, di balik optimisme tersebut, penerimaan pajak justru turun. Ada apa?
Biasanya, saat ekonomi negara mengalami pertumbuhan, penerimaan pajak juga ikut naik. Ini karena makin tinggi aktivitas ekonomi, maka makin banyak pula transaksi yang menjadi objek pajak. Namun, data terbaru justru menunjukkan hal sebaliknya.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan dan analis ekonom dari INDEF, penerimaan pajak khususnya dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), mengalami penurunan yang cukup signifikan, yakni hanya mencapai Rp267,3 triliun pada semester I 2025. Ini artinya, penerimaan pajak pada kedua kategori tersebut turun sekitar 20% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Lebih lanjut, penerimaan pajak bruto tercatat mengalami pertumbuhan tipis, yakni sekitar 2,3%. Hanya saja, penerimaan pajak neto anjlok sebanyak 7%. Akibatnya, tax ratio atau rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun dari 8,3% menjadi 7,1%. Penurunan rasio pajak ini menunjukkan bahwa kontribusi pajak terhadap penerimaan negara makin melemah. Padahal, seharusnya penerimaan pajak negara ikut meningkat di saat pertumbuhan benar-benar kuat.
Ekonom senior INDEF, M. Fadhil Hasan, melalui Kontan, menyampaikan tanggapannya terhadap kondisi yang tidak wajar ini. Menurutnya, terdapat ketidaksesuaian antara data pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan negara dari pajak. Jika konsumsi masyarakat benar-benar mengalami peningkatan, seharusnya penerimaan PPN juga ikut naik. Namun, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Ada beberapa kemungkinan penyebab kondisi ini, yakni:
Kondisi ini tentunya menimbulkan kekhawatiran. Sebab, jika penerimaan pajak terus anjlok, pemerintah bisa kesulitan dalam membiayai program pembangunan. Padahal, belanja negara untuk pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur masih sangat bergantung pada penerimaan negara dari pajak.
Beberapa ekonom bahkan menganggap kondisi ini sebagai alarm bahaya. Sebab, jika benar ada kesalahan dalam proses pencatatan data PDB atau kekeliruan dalam metodologi, maka data pertumbuhan ekonomi yang sekarang sudah disebarluaskan bisa menyesatkan. Pemerintah sendiri didesak untuk lebih transparan dan terbuka dalam menyampaikan data pertumbuhan ekonomi RI untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah tetap menegaskan bahwa data pertumbuhan ekonomi adalah benar adanya. Beberapa stimulus yang digelontorkan pemerintah, seperti diskon tarif transportasi, diklaim memberikan dorongan nyata. Hanya saja, perlu ada evaluasi lebih mendalam terkait sistem penerimaan pajak agar tidak terjadi anomali seperti sekarang.
Kabar terkait pertumbuhan ekonomi RI yang mencapai 5,12% pada kuartal II 2025 sebenarnya membawa optimisme. Namun, anomali antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak membuat banyak pihak kritis dalam membaca data. Benarkah ekonomi RI tumbuh sekuat itu atau justru ada masalah dalam pencatatan?
Ingat, pajak adalah sumber utama pembiayaan negara yang berpengaruh langsung terhadap layanan publik. Dalam hal ini, transparansi dan akurasi data sangat dibutuhkan guna menjaga kepercayaan masyarakat bahwa negara benar-benar mengalmu pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, sistem perpajakan juga harus dibenahi agar penerimaan negara sejalan dengan data pertumbuhan ekonomi.