Beberapa bulan terakhir, dunia kerja Indonesia menghadapi gelombang transformasi besar-besaran. Diperkirakan salah satu pemicunya adalah peningkatan penggunaan artificial intelligence (AI). Di satu sisi, teknologi ini memang menjanjikan efisiensi dan inovasi. Namun di sisi lain, kehadirannya juga menimbulkan ketakutan bagi banyak pihak, yakni PHK massal karena AI.
Mengejutkannya lagi, PHK tak hanya terjadi di sektor konvensional. Bahkan perusahaan teknologi yang dianggap stabil pun juga ikut terkena imbasnya. Di tengah kondisi seperti ini, benarkah AI menjadi penyebab utama PHK besar-besaran di berbagai negara, termasuk Indonesia?
Gelombang PHK yang menerjang industri global tak bisa dianggap angin lalu. Laporan World Economic Forum (WEF) “Future of Jobs Report 2025” yang dikutip oleh Detik.com, mengungkapkan bahwa sebanyak 41% perusahaan global berencana untuk melakukan PHK massal pada 2025-2030 karena adopsi AI.
Laporan tersebut jelas bukan sekadar spekulasi. Bahkan beberapa perusahaan besar dunia seperti Duolingo dan Dropbox secara terbuka menyebut bahwa penggunaan AI adalah alasan utama mereka melakukan pengurangan tenaga kerja.
Mengejutkannya lagi dua perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak di sektor teknologi. Sektor ini adalah sektor yang selama ini banyak dianggap sebagai sektor yang tahan banting.
Contohnya lagi adalah DBS Group, salah satu institusi keuangan terbesar di Asia yang berbasis di Singapura. Piyush Gupta, CEO DBS Group, mengaku kesulitan menciptakan lapangan kerja karena pemanfaatan AI yang makin dominan. Bahkan perusahaan ini berencana melakukan pemutusan kerja terhadap 4.000 karyawan kontrak dalam tiga tahun ke depan. Sebagai gantinya, mereka akan menggunakan sistem otomatis untuk mengerjakan sebagian proyek-proyek digital.
Melihat data-data tersebut, jelas bahwa PHK massal karena AI bukan mitos belaka. Namun apakah benar AI menjadi satu-satunya penyebab lay-off? Apakah AI benar-benar “musuh” pekerja?
AI sejatinya diciptakan sebagai alat bantu pekerjaan manusia, bukan untuk sepenuhnya menggantikan peran manusia. Namun, fakta di lapangan ternyata tidak sesederhana itu. Banyak perusahaan jor-joran mengadopsi sistem otomatis karena bisa menghemat biaya operasional. Tugas-tugas repetitif seperti input data, layanan pelanggan, hingga pembuatan konten tulisan atau gambar sederhana kini bisa dilakukan oleh mesin.
Kendati demikian, AI tidak selalu menjadi “the bad guy” dalam skenario ini. Dalam laporan PwC 2025 Global AI Jobs Barometer yang dikutip oleh CNBC, menunjukkan perubahan skill di pekerjaan yang terdampak AI secara langsung terjadi 66% lebih cepat dibandingkan profesi lain. Dengan kata lain, kebutuhan tenaga kerja sebenarnya tidak hilang, melainkan bergeser.
Sebagai contoh, ketika posisi desainer grafis mulai tergeser karena keberadaan AI seperti Midjourney, permintaan untuk posisi “AI Prompt Engineer” dan “AI Model Trainer” justru meningkat. Kini banyak perusahaan yang tak hanya menggantikan pekerja, melainkan juga melakukan pelatihan ulang (reskilling) karyawan agar bisa memanfaatkan AI.
Menurut laporan WEF seperti yang dikutip oleh Detik.com, sebanyak 77% perusahaan dunia berencana akan melakukan reskilling pekerja agar siap menghadapi era AI. Tentunya, ini membuka peluang baru, khususnya bagi para pekerja yang terbiasa terus belajar dan beradaptasi dengan hal baru.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa perusahaan-perusahaan teknologi pun tetap terkena imbas AI. Padahal, dunia kerja di bidang teknologi bisa dibilang cukup aman. Dulu mungkin iya, tetapi sekarang semuanya berubah.
Sektor teknologi justru menjadi sektor dengan tingkat dinamika dan ketidakstabilan yang cukup tinggi. Tidak ada lagi jaminan aman bahkan bagi mereka yang bisa bekerja di raksasa global seperti Google, Meta, atau Amazon.
Perusahaan teknologi memang cenderung bergerak sangat cepat. Inovasi demi inovasi membuat mereka harus merombak tim dan bahkan struktur kerja. Nah, di tengah lingkungan yang bergerak cepat ini, AI muncul sebagai suatu alat untuk melakukan efisiensi. Namun kemunculannya juga dianggap sebagai pemicu ketidakstabilan kerja.
Harus dipahami pula bahwa siklus hidup produk teknologi cenderung pendek dan kompetisi global sangatlah ketat. Akibatnya, muncul tekanan bagi perusahaan-perusahaan global untuk terus melakukan inovasi yang sering kali membuat mereka harus melakukan restrukturisasi. Dalam hal ini, AI dianggap mampu mempercepat proses tersebut. Di satu sisi, perusahaan bisa menghemat biaya, tetapi di sisi lain para pekerja akan kehilangan pekerjaan bahkan sebelum mereka bisa beradaptasi dengan teknologi baru.
Mengejutkannya lagi, para lulusan perguruan tinggi, bahkan dari yang ternama, tetap tak luput dari dampak ini. Laporan PwC menyebutkan bahwa kini gelar akademis makin cepat usang, khususnya dalam bidang yang terdampak oleh AI. Ini artinya, pendidikan formal saja tidak cukup untuk bertahan di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Kamu harus siap mandiri, terus belajar dan kuasai keterampilan baru agar tetap relevan.
PHK massal karena AI adalah sebuah realita, tetapi bukan akhir dari segalanya. Justru, fenomena ini seharusnya bisa menjadi pelajaran bahwa dunia kerja itu dinamis, terus berubah, dan kamu juga harus ikut arusnya.
Berikut beberapa pelajaran penting yang bisa kamu ambil dari kondisi ini:
Pendidikan formal memang penting tetapi bukan satu-satunya penentu perjalanan karier kamu. Saat ini, perusahaan lebih melihat keterampilan yang kamu miliki, melihat apa yang bisa kamu lakukan saat ini, bukan apa yang kamu pelajari lima tahun yang lalu.
AI bukan sekadar tren yang akan redup pamornya. Justru AI harus bisa menjadi “partner” kerja kamu. Oleh sebab itu, kamu juga harus belajar cara mengoptimalkan penggunaan AI tools seperti ChatGPT, Google Gemini, dan lain sebagainya. Bahkan kamu juga harus belajar soal dasar pemrograman atau prompt engineering.
Jangan memandang AI sebagai saingan. Justru lihat AI sebagai alat yang bisa membuat proses kerja kamu lebih efisien. Misalnya, kalau kamu bekerja sebagai penulis konten, AI bisa membantu melakukan riset topik atau menyusun kerangka. Sementara itu, pengembangan kerangka tetap kamu lakukan secara manual.
Bekerja di era digital ini, kamu butuh jejak digital yang bisa mendongkrak perjalanan karier kamu. Punya LinkedIn aktif, blog pribadi, atau portofolio online bisa menjadi poin plus saat kamu melamar kerja.
Dunia kerja saat ini menuntut kamu untuk bisa belajar hal baru dengan cepat. Kalau kamu dulunya bekerja sebagai admin, mungkin sekarang kamu bisa upskilling menjadi customer experience digital dengan sedikit upskilling.
Jadi, PHK massal karena AI memang benar adanya dan terdengar menyeramkan. Namun bukan berarti ini akhir dari segalanya. Dunia kerja memang sedang melakukan perubahan besar-besaran. Di sisi lain, hal ini membuka peluang baru yang bisa kamu kejar. Dengan catatan, kamu harus punya mental selalu ingin belajar dan tidak takut beradaptasi.