Buat kamu yang aktif menggunakan layanan keuangan digital, tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah pinjol atau pinjaman online. Istilah satu ini kini begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di tengah maraknya layanan keuangan digital yang menawarkan banyak kemudahan.
Sayangnya, pinjol kerap kali diidentikkan dengan hal-hal yang berkonotasi negatif, seperti bunga mencekik, penagihan kasar, hingga maraknya praktik pinjaman ilegal. Melihat stigma ini, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memutuskan untuk mengambil langkah besar.
Baru-baru ini, istilah pinjol secara resmi diganti menjadi pindar yang merupakan singkatan dari “pinjaman daring”. Sebenarnya, makna dari kedua istilah tersebut sebenarnya sama. Lantas, mengapa istilah pinjol tetap diganti?
Mengapa istilah pinjol harus diganti? Pertanyaan ini mungkin juga sempat terbesit di benakmu. Ketua Umum AFPI, Entjik S. Djafar melalui Liputan6 menyampaikan bahwa istilah pinjol sudah lama dikaitkan dengan hal-hal yang berkesan negatif.
Pinjol juga kerap dianggap sebagai layanan keuangan yang tidak aman, bahkan cenderung ilegal. Hal ini disebabkan oleh menjamurnya kasus penyalahgunaan pinjaman online oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Padahal, semula pinjaman online bukan termasuk layanan yang negatif. Namun semenjak praktik pinjol ilegal menjamur, otomatis perusahaan-perusahaan pinjol yang berizin OJK ikut kena getahnya.
Itulah sebabnya AFPI bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkenalkan istilah baru yang disebut “pindar”. Seperti yang disampaikan sebelumnya, baik pindar maupun pinjol sebenarnya adalah istilah yang sama, satu menggunakan “online” dan yang satunya lagi menggunakan istilah “daring” yang merupakan terjemahan dari kata “online” itu sendiri.
Namun dengan adanya istilah baru, masyarakat diharapkan bisa lebih mudah membedakan antara layanan pinjaman daring yang legal dan yang ilegal. Di samping itu, pihak AFPI juga menekankan pentingnya sosialisasi ke masyarakat, khususnya kepada pelaku UMKM dan masyarakat menengah ke bawah yang kerap menjadi target utama layanan pinjaman daring.
Namun, mengganti istilah pinjol bukanlah tugas yang mudah. Tak sedikit pihak yang meragukan apakah perubahan ini bisa langsung memengaruhi persepsi masyarakat. Bahkan Tauhid Ahmad, seorang ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) melalui CNN Indonesia menyampaikan bahwa kebiasaan masyarakat yang sudah sangat terbiasa dengan istilah pinjol akan membuat transformasi ini sulit untuk diterima. Di samping itu, istilah pindar juga mungkin masih akan dikaitkan dengan stigma lama dari pinjol.
Lantas, apakah penggantian istilah pinjol ini benar-benar memberikan dampak yang masif? Jawabannya masih menjadi perdebatan. Di satu sisi, langkah ini menunjukkan langkah proaktif dari AFPI dan OJK untuk memperbaiki citra industri pinjaman daring di Tanah Air. Hanya saja, di sisi lain, masih ada banyak tantangan yang perlu diatasi agar perubahan ini benar-benar memberikan dampak yang positif.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masyarakat sudah terbiasa dengan istilah pinjol. Bahkan istilah ini kerap digunakan dalam konteks informal di media sosial. Tentunya mengubah kebiasaan ini membutuhkan waktu dan usaha yang konsisten. Sebab itu, edukasi menjadi kunci utama agar masyarakat mampu memahami perbedaan antara pinjol ilegal dan pindar legal.
Mengganti istilah pinjol saja sebenarnya tidak cukup apabila tidak disertai dengan peningkatan literasi keuangan. Masih banyak sekali masyarakat yang belum memahami sepenuhnya risiko dan manfaat menggunakan layanan pinjaman daring.
Data menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia berada di angka 65,4% pada tahun 2024. Angka ini tentunya harus terus ditingkatkan dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun pelaku industri keuangan seperti industri pindar.
Perusahaan-perusahaan pindar bisa memberikan edukasi secara masif dan berkelanjutan kepada masyarakat. Mereka bisa memberikan informasi terkait cara memilih layanan pindar yang legal, memahami istilah-istilah dalam pinjaman, hingga menghindari jebakan pinjaman ilegal. Semua ini harus disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami.
Perlu dipahami bahwa stigma negatif terhadap layanan pinjaman daring bukan hanya muncul karena istilahnya. Stigma ini juga muncul karena pengalaman buruk yang dialami banyak orang, seperti bunga yang mencekik, penagihan yang kasar, hingga pelanggaran privasi data. Oleh sebab itu, banyak masyarakat ragu untuk menggunakan layanan ini.
Maka dari itu, pindar yang legal harus mampu membuat pembuktian bahwa layanan mereka berbeda dari pinjol ilegal. Caranya adalah dengan memberikan pengalaman yang aman, terjamin, dan transparan bagi semua nasabah.
Jadi, perubahan istilah pinjol menjadi pindar merupakan langkah penting yang telah diambil oleh AFPI dan OJK guna memperbaiki citra industri layanan pinjaman daring di Indonesia. Namun, keberhasilan dari langkah ini tidak hanya bergantung pada penggantian istilah saja. Sosialisasi, peningkatan literasi keuangan, serta pengawasan terhadap operasional layanan pindar juga tetap harus berjalan secara beriringan.
Sebagai masyarakat, kamu juga mengemban peran penting dalam perubahan ini. Dengan meningkatkan pemahaman terkait perbedaan layanan yang legal dan ilegal, maka kamu bisa membuat keputusan yang lebih baik dan bahkan ikut mengedukasi orang-orang terdekat terkait hal tersebut.
Jadi, jika suatu saat kamu membutuhkan pinjaman cepat dari layanan pinjaman daring atau mungkin orang-orang terdekat kamu membutuhkannya, pastikan untuk memilih pindar yang terdaftar dan diawasi secara resmi oleh OJK. Ingat, kondisi keuangan yang sehat dimulai dari kemampuan diri sendiri dalam membuat keputusan yang cerdas.