Properti Kian Sulit Terjual, Ada Apa Sebenarnya?

Pasar properti sedang lesu dan rumah makin sulit terjual, apa yang sebenarnya terjadi? Yuk, simak alasan mengapa properti kian sulit terjual di sini.
Sumber : Envato

Pasar properti di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Banyak pemilik rumah mengeluhkan sulitnya menjual aset mereka, bahkan setelah harga diturunkan. Fenomena properti kian sulit terjual ini jelas membuat banyak orang bertanya-tanya, ada apa sebenarnya di balik tren tersebut?

Kondisi Penjualan Properti di Indonesia

properti kian sulit terjual
Sumber : Envato

Kisah seperti yang dialmi oleh Andre Satria Octavino melalui laman Kumparan menjadi salah satu potret nyata. Setelah terkena PHK, ia terpaksa menjual rumah KPR yang baru ia cicil selama 3 tahun. Meskipun harga sudah disesuaikan, pembeli masih tak kunjung datang. Bukan hanya Andre, banyak warganet juga mengeluhkan hal yang sama. Sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun mereka mencoba menjual rumah tetapi tidak membuahkan hasil.

Data dari Bank Indonesia memperkuat fakta tersebut. Pada kuartal II 2024, penjualan rumah primer mengalami kontraksi 12,80% dibandingkan kuartal sebelumnya. Sementara itu, penurunan paling signifikan terjadi pada rumah tipe kecil (16,68%) dan menengah (13,68%). Untuk rumah tipe besar, penjualannya relatif stabil dengan tingkat pertumbuhan 5,08%.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, melalui Kumparan menjelaskan bahwa perlambatan ini dipengaruhi juga oleh melemahnya daya beli masyarakat. Sisa pendapatan masyarakat setelah pajak dan pengeluaran juga terus menurun. Akibatnya, kemampuan untuk mencicil rumah lewat KPR juga makin terbatas.

Faktor lain yang memperburuk kondisi ini adalah harga tanah yang melonjak drastis, yakni mencapai 30-40% per tahun, jauh di atas tingkat inflasi material bangunan. Ini artinya, biaya terbesar dalam proses pembangunan rumah justru terserap pada lahan, bukan pada proses konstruksi. Kondisi ini otomatis membuat harga properti makin tak terjangkau oleh masyarakat dengan penghasilan saat ini.

Sementara itu, Anthony Budiawan, Managing Director PEPS, melalui Kompas juga menilai bahwa penurunan daya beli, melimpahnya pasokan, dan minimnya permintaan menjadi penyebab utama properti sulit lagu. Bahkan, lembaga perbankan pun makin berhati-hati menyalurkan kredit ke sektor properti mengingat risiko kredit macet masih tinggi.

Properti Sulit Terjual Adalah Fenomena Global

Jika kamu berpikir bahwa fenomena properti sulit terjual hanya terjadi di Indonesia, kamu salah besar. Dunia mengalami hal yang serupa. Bahkan negara adidaya seperti Amerika Serikat pun mengalami masalah ini. Setelah sempat booming pascapandemi, pasar perumahan di AS justru mengalami perlambatan.

Di Los Angeles misalnya, agen properti yang dulunya mampu mendapatkan 15 penawaran setelah melakukan open house, kini hanya mendapatkan satu penawaran meskipun rumah ramai dilihat oleh calon pembeli. Fakta utamanya adalah karena suku bunga hipotek yang tinggi, biaya asuransi meningkat, dan harga rumah yang masih tinggi.

Menurut data dari National Association of Realtors (NAR), penjualan rumah di AS sepanjang tahun 2024 hanya mencapai 4,06 juta unit. Angka ini merupakan yang terendah sejak 1995 atau dalam hampir tiga dekade terakhir.

Bahkan, situs pencarian rumah di AS seperti Zillow mencatat lebih dari seperempat penjual yang menggunakan situs tersebut rela memangkas harga jual pada Juni 2025. Di negara bagian Florida, hampir 85% wilayah mengalami penurnan harga tahunan dan ini menjadi yang paling tinggi di antara negara bagia lainnya.

Fenomena ini juga terjadi di Australia. Negeri Kanguru menghadapi krisis hunian yang membuat banyak warga lokal kesulitan membeli rumah pertama. Tingginya lonjakan harga rumah di negara tersebut tidak sesuai dengan tingkat kenaikan gaji. Sementara itu, biaya sewa hunian juga terus melonjak dan membuat kelompok usia muda makin terbebani. Akibatnya, sebagian besar milenial dan gen Z lebih memilih untuk menyewa, meskipun kondisi pasarnya juga tidak ideal.

Tiongkok pun juga tak luput dari masalah ini. Krisis properti yang dialami oleh raksasa developer seperti Evergrande dan Country Garden menunjukkan betapa rapuhnya fondasi pasar properti di sana. Bahkan banyak proyek hunian mangkrak, investor kehilangan kepercayaan, dan calon pembeli menunda transaksi karena takut jika properti yang mereka beli tidak akan selesai dibangun.

Jika ditarik garis besarnya, tantangan pasar properti di berbagai negara memang berbeda-beda, tetapi polanya hampir sama, yakni tingginya harga rumah, beban bunga kredit, hingga ketidakpastian ekonomi. Faktor-faktor ini membuat fenomena properti kian sulit terjual akhirnya menjadi persoalan global, bukan masalah domestik lagi.

Benang Merah Masalah Properti Sulit Terjual

properti kian sulit terjual
Sumber : Envato

Dari berbagai data di atas, ada beberapa benang merah yang dapat ditarik terkait mengapa properti makin sulit terjual, baik di Indonesia maupun dunia. Berikut beberapa alasannya:

1. Daya beli menurun

Pendapatan masyarakat yang tak sebanding dengan harga rumah dan cicilan kredit yang makin mahal membuat banyak orang menunda keputusan untuk membeli rumah. Di Indonesia, sekalipun ada yang bisa membeli rumah, tak sedikit dari merdeka masih disokong secara finansial oleh orang tua.

2. Harga tanah yang melambung

Kenaikan harga tanah di Indonesia mencapai sekitar 30-40% per tahun. Kondisi serupa juga terjadi di Australia dan kota-kota besar lainnya di dunia. Pasalnya, lahan menjadi komponen terbesar dalam biaya konstruksi sehingga harga rumah pun ikut melonjak.

3. Tingginya suku bunga kredit

Di banyak negara, termasuk Indonesia, bunga kredit perumahan masih berada pada level yang tinggi. Akibatnya, cicilan terasa sangat berat dan bahkan penghasilan bulanan masyarakat pun tidak cukup untuk mencicilnya.

4. Krisis kepercayaan

Kasus gagal bayar pengembang properti seperti di Tiongkok atau proyek mangkrak membuat calon pembeli harus lebih berhati-hati. Di Indonesia sendiri, pengalaman buruk membeli rumah dengan proses KPR yang cenderung rumit bagi sebagian masyarakat juga menurunkan minat.

5. Pasokan berlebih vs permintaan rendah

Supply rumah saat ini terus bertambah, tetapi permintaan cenderung stagnan dan bahkan turun. Otomatis, hukum pasar berlaku, yakni properti makin sulit terjual dan bahkan harus dijual rugi.

Fenomena properti kian sulit terjual ini sudah bukan menjadi cerita perorangan yang kesulitan dalam menawarkan rumahnya. Kondisi ini sudah menjadi gambaran pasar secara luas. Lantas, apa yang harus dilakukan? Para pemangku kebijakan, pengembang, hingga sektor perbankan tentu harus saling berkolaborasi untuk menemukan solusi bersama. Jika tidak, maka krisis yang terjadi di pasar properti ini bisa menjadi efek domino yang berdampak pada menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi.

Leave a Reply