Sandang, pangan, dan papan adalah tiga kebutuhan primer dalam kehidupan manusia. Dalam artikel kali ini, kita akan membahas soal papan atau rumah. Kamu pun tentunya sudah paham bahwa memiliki rumah adalah keinginan setiap orang. Rumah lebih dari sekadar tempat untuk beristirahat, tetapi juga untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang membawa manfaat bagi penghuni dan lingkungan sekitarnya.
Sayangnya, tak semua orang, seperti masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), mendapatkan akses atas tempat tinggal yang layak. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah tingginya harga rumah dan rendahnya daya beli masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dan pihak swasta melakukan berbagai inisiatif guna mewujudkan properti terjangkau khususnya bagi MBR.
Seperti yang dijelaskan di awal, papan adalah kebutuhan paling mendasar setiap manusia dan wajib untuk dipenuhi. Jika belum memiliki rumah, berarti kebutuhan primer individu tersebut belum terpenuhi. Hal ini juga menunjukkan bahwa seseorang belum memiliki kehidupan yang layak karena kebutuhan akan papan belum terpenuhi.
Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 1992 mengenai Perumahan dan Pemukiman, istilah rumah dijelaskan sebagai bangunan yang memiliki fungsi sebagai tempat tinggal sekaligus hunian untuk membina keluarga. Jadi, selain sebagai salah satu kebutuhan primer setiap manusia, rumah juga berfungsi sebagai pusat edukasi keluarga, peningkatan kualitas para generasi masa depan, dan persemaian budaya.
Hanya saja, masih banyak individu yang tergolong sudah dewasa dan bahkan sudah memiliki pekerjaan belum bisa memiliki rumah yang layak. Seperti yang disinggung sebelumnya, penyebab utama ketidakmampuan seseorang dalam memiliki rumah sendiri adalah tingginya harga rumah dan rendahnya daya beli. Penyebab dari rendahnya daya beli adalah minimnya upah sehingga butuh waktu lama bagi seseorang (MBR) untuk bisa memiliki tempat tinggal sendiri. Di sisi lain, kebutuhan hidup yang terus berkembang mengharuskan setiap individu untuk segera memiliki rumah.
Untuk mengatasi permasalah tersebut, perlu dilakukan kerja sama dari beberapa pihak, seperti pemerintah dan pihak swasta (pelaku industri properti, masyarakat, dan lain sebagainya) guna mewujudkan properti terjangkau. Diperlukan pula peran dari lembaga keuangan, seperti perbankan dan non-perbankan, untuk menjadi perantara guna meringankan beban finansial kepemilikan rumah.
Indonesia sedang dalam kondisi backlog atau krisis kepemilikan rumah. Istilah backlog sendiri dapat menjadi indikator untuk mengetahui tingkat kesenjangan antara jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat dan jumlah rumah yang sudah dibangun. Pada tahun 2022, data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami backlog perumahan mencapai 11 juta unit.
Data Kementerian PUPR juga menunjukkan bahwa mayoritas backlog berasal dari masyarakat dengan penghasilan rendah (93%) dan MBR pada sektor informal (60%). Sementara pada 2023, terjadi kenaikan backlog mencapai 12,7 juta.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan backlog. Faktor yang pertama adalah perpindahan penduduk dari wilayah non-urban ke urban sehingga terjadi kesenjangan pemenuhan kebutuhan akan pemukiman. Faktor yang kedua adalah tingginya harga properti dan yang ketiga adalah tingkat suku bunga bank yang relatif tinggi bagi masyarakat, khususnya MBR.
Guna mengatasi permasalahan ini, berbagai seminar nasional dan diskusi para pemangku kepentingan, akademisi, dan para ahli sangat dibutuhkan. Tujuannya tak lain adalah untuk merumuskan solusi yang berkelanjutan dan holistik.
Perum Perumnas yang merupakan BUMN di bidang pengembangan hunian masyarakat, terus mengambil inisiatif proaktif untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal. Melalui kampanye “Sekarang Gampang Punya Rumah”, Perum Perumnas mengambil langkah strategis untuk memberikan edukasi terhadap masyarakat mengenai aksesibilitas sekaligus keterjangkauan hunian, khususnya Perumnas.
Dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang segala keuntungan memiliki rumah dari pihak Perumnas, maka diharapkan dapat mendorong minat dan partisipasi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan perumahan.
Namun perlu diakui bahwa penyediaan properti hunian yang terjangkau bukan hanya menjadi tanggung jawab satu pihak saja. Permasalahan ini juga menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, lembaga keuangan, pengembang, dan masyarakat umum.
Sinergi di antara para pemangku kepentingan tersebut tak hanya dapat menciptakan bangunan rumah, melainkan juga memberdayakan MBR dengan keamanan dan kelayakan tempat tinggal. Tujuannya agar mereka dapat memperkuat fondasi kehidupan mereka.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar dan regulasi terkait, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki hak atas tempat tinggal yang layak. Guna menjawab tantangan ini, pemerintah telah aktif terlibat dalam berbagai inisiatif. Adapun inisiatif yang dimaksud antara lain pelaksanaan Rumah Susun Sederhana (RUSUS) dan Rumah Susun (RUSUN) yang ditujukan untuk pekerja dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Kendati langkah-langkah tersebut menjadi bagian dari solusi, data menunjukkan bahwa pada 2020, masih terjadi backlog yang cukup signifikan, khususnya di Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan adanya kompleksitas dan tantangan dalam upaya penyediaan perumahan terjangkau bagi seluruh masyarakat dari berbagai kalangan. Oleh sebab itu, pemerintah dihadapkan pada kebutuhan untuk terus meningkatkan sekaligus menyesuaikan strategi pemenuhan tempat tinggal layak huni bagi masyarakat.
Selain peran pemerintah, dukungan dari lembaga keuangan, seperti bank dan non-perbankan juga memiliki dampak signifikan terhadap pemenuhan hunian layak huni. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) menjadi salah satu instrumen yang efektif dalam mengatasi keterbatasan finansial masyarakat dalam mendapatkan hunian. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. ikut mengambil langkah proaktif dengan menawarkan produk KPR Sejahtera Tapak yang dikembangkan bersama Kementerian Perumahan Rakyat.
Selain dari lembaga perbankan, perusahaan keuangan swasta seperti fintech P2P juga ikut berperan aktif dalam mewujudkan hunian terjangkau bagi masyarakat. Fintech P2P yang bergerak di bidang pembiayaan properti, seperti DanaSyariah, menjadi alternatif bagi masyarakat yang tidak mendapatkan akses pembiayaan rumah dari lembaga perbankan.
Pendekatan ini bukan hanya memudahkan akses perumahan, tetapi juga memperhitungkan dinamika ekonomi masyarakat. Dengan keterlibatan pemerintah dan dukungan dari lembaga perbankan serta non-perbankan, diharapkan upaya pemenuhan hak atas tempat tinggal layak dapat mencapai hasil yang efektif. Sinergi di antara semua pihak tersebut akan menjadi kunci untuk membentuk masyarakat yang memiliki tempat tinggal yang tak hanya layak tetapi juga terjangkau bagi semua kalangan.
Jadi, properti terjangkau lebih dari sekadar tentang memiliki rumah dengan biaya murah, melainkan menghormati dan memastikan pemenuhan hak setiap individu untuk memiliki tempat tinggal yang layak huni. Kolaborasi antar pemegang kepentingan, pemerintah, peran lembaga keuangan, pengembang, dan masyarakat sendiri dapat menciptakan fondasi kuat dalam pemenuhan hak atas tempat tinggal. Sebab, properti terjangkau bukan hanya kebutuhan semata, melainkan investasi dalam kesejahteraan setiap individu.