
Program rumah subsidi bertujuan memberi hunian layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun fakta di lapangan menunjukkan masih banyak rumah subsidi tak layak huni. Berbagai temuan menunjukkan kualitas bangunan yang sering kali buruk dan ini membuat penghuni harus menanggung risiko seperti biaya renovasi.

Kunjungan lapangan yang dilakukan langsung oleh pejabat Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menemukan banyak masalah dalam pembangunan rumah subsidi. Masalah yang dimaksud mencakup kondisi konstruksi yang tidak sesuai dan bahkan banyak unit yang tidak layak fungsi serta aman untuk dihuni. Misalnya, tanah yang tidak dipadatkan dengan proses yang benar sehingga keramik retak setelah dipasang dan tembok sering kali mengelupas karena kualitas material atau pengerjaan yang tidak sesuai prosedur.
Selain itu, ada juga masalah saluran sanitasi dan pembuangan air yang tidak sempurna. Akibatnya, air menggenang saat hujan dan kondisi seperti ini menimbulkan risiko kesehatan bagi penghuni. Laporan lain bahkan menyebut lokasi perumahan terlalu jauh dari pusat transportasi publik. Ada juga yang jaringan listriknya tidak tertata rapi dan bahkan saluran pembuangan limbah buruk. Semua kendala ini membuat lingkungan perumahan rumah subsidi tidak nyaman, tidak sehat, dan bahkan tidak layak huni.
Selanjutnya menurut hasil temuan yang dilansir dari Liputan6, ada sebanyak 14 pengembang yang akan diaudit oleh BPK karena diduga melakukan pembangunan rumah subsidi tak layak huni. Selain itu ada juga sejumlah pengembang yang bahkan telah membangun ratusan hingga ribuan unit yang ternyata bermasalah. Data lapangan menyebutkan bahwa unit paling bermasalah tersebar di kawasan Jabodetabek. Lebih lanjut, rata-rata pengembang yang dipersoalkan telah membangun sekitar 1.000-1.200 unit.
Kondisi unit-unit rumah subsidi yang tak layak huni ini tidak hanya merugikan calon penghuni, tetapi juga negara. Pasalnya, kepemilikan rumah bersubsidi lebih banyak menggunakan skema KPR FLPP yang menggunakan anggaran publik sehingga kualitas unit harus diutamakan. Jika kualitas dibiarkan buruk, otomatis program subsidi tidak berhasil direalisasikan.
Pemerintah tentunya telah memberikan respons terhadap temuan buruk ini dengan mengambil langkah pengawasan dan tindakan administratif. Selain itu, Kementerian PKP juga sudah mengirim surat kepada BPK untuk segera melakukan audit terhadap pengembang yang diduga melakukan kelalaian.
Inspektur Jenderal BPK juga menegaskan bahwa pengembang yang terbukti melakukan pembangunan rumah tidak layak, maka mereka tidak lagi berhak mendapatkan fasilitas FLPP di masa mendatang. Di samping itu, kementerian terkait juga berencana untuk menambah kriteria bagi pengembang rumah bersubsidi, seperti rumah harus layak huni dan harus ada dokumen kelayakan lingkungan seperti AMDAL.
Sementara itu, dukungan dari segi finansial untuk program rumah bersubsidi juga tetap meningkat karena stakeholder lain juga menginginkan percepatan penyediaan unit rumah subsidi. Bank Indonesia juga dilaporkan akan menaikkan insentif likuiditas bagi bank untuk menyalurkan KPR hingga Rp80 triliun guna mendukung target program.
Namun perlu digarisbawahi bahwa peningkatan penerima kuota FLPP juga harus diimbangi dengan pengawasan mutu agar tidak ada lagi rumah subsidi tak layak huni. Oleh sebab itu, pemerintah menyatakan mekanisme pengaduan sehingga masyarakat bisa langsung melaporkan temuan di lapangan dan segera ditindaklanjuti oleh kementerian terkait.

Para praktisi di bidang properti juga memberi kritik keras terhadap para pengembang nakal. Pasalnya, aspek kualitas bangunan sering kali dikorbankan demi menekan biaya operasional. Hal ini bisa dilihat ketika perumahaan murah menggunakan bahan bangunan murah dan pengerjaannya cenderung terburu-buru.
CEO Leads Property Services, Hendra Hartono, melalui Kompas menyampaikan bahwa rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah sering kali memiliki kualitas rendah, kondisi air buruk, serta sanitasi yang tidak memadai. Akibatnya, penghuni terpaksa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk renovasi. Di samping itu, lokasi rumah yang jauh dari fasilitas publik juga membuat rumah subsidi kurang diminati. Sebab itulah, banyak unit tidak berpenghuni dan bahkan kosong.
Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, seperti Singapura misalnya, penyediaan hunian layak huni dilakukan dengan menggabungkan regulasi ketat dan standar teknis yang jelas. Dengan begitu, penghuni jarang sekali harus melakukan renovasi besar dan bahkan unit kosong segera terisi. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan temuan di dalam negeri yang menunjukkan banyak masalah struktural hingga sanitasi.
Standar layak huni suatu hunian mengacu pada beberapa kriteria teknis. Dalam hal ini, rumah subsidi harus memenuhi aspek keselamatan, luas, sanitasi, serta akses air minum.
Berdasarkan analisis Puslitbang Permukiman dan standar SNI, kebutuhan luas rumah minimal 36 meter persegi untuk empat orang atau sekitar 47,56 meter persegi. Selain luas, seluruh komponen struktur seperti pondasi, sloof, balok, kolom, serta kualitas bahan bangunan harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kriteria lainnya mencakup fasilitas sanitasi yang layak, seperti sarana mandi cuci kakus dan sistem pembuangan limbah yang memadai. Selain itu, akses air minum yang mudah dijangkau juga harus diperhatikan. Idealnya, rumah subsidi juga harus dibangun dengan tata letak lingkungan yang baik, saluran drainase optimal, dan akses transportasi yang mudah.
Nah, untuk memastikan pengembang patuh terhadap standar yang berlaku, pemerintah bisa memberikan insentif. Sebaliknya, pengembang yang tidak patuh terhadap standar harus dikenai sanksi administratif atau dilarang mendapatkan fasilitas subsidi lagi. Pasalnya, masalah rumah subsidi tak layak huni bukan hanya perkara teknis, melainkan sudah termasuk masalah keadilan sosial mengingat penerima manfaat adalah mereka yang rentan secara ekonomi.