Beberapa tahun terakhir ini, mungkin kamu sering mendengar cerita inspiratif tentang anak muda asli Indonesia yang sukses berkat startup-nya. Kisah-kisah mereka cukup menginspirasi dan menggambarkan bagaimana masa depan yang cerah dapat dicapai melalui teknologi dan inovasi.
Namun, di balik gemerlap valuasi tinggi dan gelar “unicorn”, ternyata dunia startup juga punya sisi gelap yang kini mulai terbuka ke publik. Dari kebangkrutan mendadak hingga skandal keuangan dengan nilai triliunan, bisa dipahami bahwa tidak semua startup seindah luarnya.
Belakangan ini, berita tentang skandal atau bahkan bangkrutnya startup di Indonesia seperti sudah menjadi hal yang umum. Mungkin kamu ingat kasus TaniFund yang gagal bayar, eFishery yang terjerat skandal keuangan senilai Rp9,7 triliun hingga yang terbaru adalah Investree yang gagal bayar. Di luar negeri, ada Luckin Coffee, Wirecard, dan Theranos yang penuh dengan skandal dan kebohongan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang menyebabkan ini semua?
Salah satu faktor utamanya adalah adanya tekanan pertumbuhan yang tidak realistis. Startup kerap dituntut untuk tumbuh cepat agar bisa menarik banyak investor. Namun dalam prosesnya, banyak dari mereka cenderung memaksakan skala tanpa memiliki fondasi bisnis yang solid.
Akibatnya, dana investor harus dibakar demi menunjukkan adanya pertumbuhan. Akan tetapi, ketika arus kas perusahaan tidak lagi mampu menopang biaya operasional, otomatis yang terjadi hanyalah kebangkrutan.
Menurut data CB Insights 2023 melalui laman Katadata, sekitar 70% startup Indonesia gagal pada tahun ketiga. Sekitar 35% disebabkan karena tidak ada pasar yang sesuai, 38% karena kehabisan dana, dan 14% karena tim yang dianggap tidak kompeten.
Data ini menunjukkan bahwa memiliki visi dan misi yang besar saja tidak cukup dan perlu ada perencanaan matang sekaligus eksekusi yang transparan.
Kamu pasti sering mendengar laporan bahwa ada startup yang mengklaim memiliki ratusan ribu pengguna, pendapatan meroket, atau bahkan menerapkan teknologi yang belum ada tandingannya. Namun ternyata, sebagian angka yang dilaporkan oleh startup tidak selalu bisa dipercaya.
Contohnya saja kasus eFishery yang sempat menggegerkan Indonesia. Dalam laporan investasi yang dirilis pada awal 2025, ditemukan bahwa perusahaan ini telah memalsukan pendapatan mencapai 75% lebih besar dari data asli. Bahkan, kabarnya, mereka juga menggunakan dua versi laporan keuangan, yakni satu untuk internal dan satunya lagi untuk investor.
Kondisi seperti ini membuat investor startup, baik perorangan maupun institusi, kesulitan untuk membedakan mana perusahaan yang jujur dan mana yang hanya menjual omong kosong. Tanpa adanya transparansi, baik calon investor atau pengguna layanan maupun produk startup bisa ikut merugi.
Sayangnya, tak sedikit founder startup yang masih memprioritaskan pencitraan alih-alih keterbukaan. Mereka lebih sibuk menjual narasi sosial untuk menarik simpati publik dan calon investor daripada membangun model bisnis yang berkelanjutan.
Salah satu sisi gelap dunia startup, khususnya di Indonesia, adalah adanya budaya “bakar uang” atau istilah formalnya adalah burn rate. Budaya ini biasanya tampil dalam bentuk program gratis ongkir, cashback besar-besaran, atau diskon pada tanggal kembar.
Startup e-commerce besar seperti TikTok Shop, Shopee, dan Tokopedia masih menggunakan cara ini untuk menguasai pasar. Mereka rela membakar miliaran rupiah setiap bulannya untuk menggaet pengguna meskipun belum tentu menghasilkan keuntungan. Bahkan tak jarang startup baru melakukan strategi “bakar uang” guna menarik perhatian target pasar.
Masalahnya, strategi ini banyak risikonya apabila dilakukan secara terus-menerus. Jika aliran dana dari investor menurun, maka bisnis yang tidak memiliki pemasukan nyata bisa mengalami efek domino. Inilah yang menimpa banyak startup dalam negeri seperti Urbanhire dan Tumbasin.id yang akhirnya gulung tikar karena kehabisan dana karena jor-joran “membakar uang”.
Jadi, apa yang bisa dibenahi dari strategi bisnis startup agar bisa bertahan lama? Kunci utamanya adalah transparansi. Baik pendiri, investor, atau bahkan pengguna harus mendorong adanya keterbukaan data dari perusahaan. Laporan keuangan juga harus bisa diaudit, ada bukti, dan janji sosial perusahaan jangan hanya menjadi strategi pemasaran.
Kedua, startup tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai dasar seperti integritas, tanggung jawab, dan keberlanjutan. Jangan hanya ngebet mengejar gelar “founder” atau bahkan “unicorn”, tetapi fokuslah membangun perusahaan yang mampu bertahan lama.
Ketiga, para investor wajib lebih cermat dan melakukan due diligence sebelum menanam modal di suatu startup. Jangan asal menanam saham hanya karena ketinggalan tren. Di samping itu, regulator keuangan seperti Otoritas Jasa Keuangan juga harus lebih memperketat pengawasan atas laporan keuangan startup. Jika tidak, maka kasus-kasus seperti eFishery dan Investree bisa terus berulang dan bahkan menghancurkan kepercayaan publik terhadap startup.
Terakhir, ekosistem startup ada baiknya juga mulai mengubah narasi keberhasilan. Alih-alih fokus pada pertumbuhan yang sifatnya cepat, alangkah baiknya jika perusahaan fokus pada keberlanjutan dan dampak jangka panjang.
Memang, dunia startup sangat menarik karena penuh dengan janji, inovasi, dan harapan akan masa depan yang lebih menjanjikan. Namun di balik itu semua, ada sisi gelap yang tak boleh diabaikan. Kasus-kasus startup yang gulung tikar karena penipuan dan lain sebagainya bisa menjadi bukti bahwa tidak semua startup bisa langsung dipercaya.
Namun, bukan berarti startup sepenuhnya tidak bisa dipercaya. Baik sebagai pengguna, investor, atau sekadar pengamat, kamu bisa aktif mendorong transparansi, menegakkan etika, dan bahkan menghapus pola pikir instan dalam merintis suatu bisnis. Sebab pada akhirnya, startup adalah tanggung jawab besar.