Pemilikan rumah, khususnya backlog perumahan, masih menjadi masalah pelik yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia, terutama mereka yang termasuk golongan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Guna mengatasi masalah ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPT) mengemban tugas yang sangat krusial. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk mengatasi backlog perumahan, khususnya di tahun 2024.
Backlog perumahan merupakan kondisi kompleks yang menggambarkan adanya kesenjangan antara permintaan dan persediaan unit rumah. Pengertian dari backlog sendiri tergantung pada sudut pandang pengukuran yang digunakan.
Menurut Kementerian PUPR, backlog merujuk pada jumlah ketersediaan unik rumah layak huni yang dapat ditinggali oleh masyarakat, termasuk rumah sewa. Hal ni menunjukkan bahwa bila ada rumah yang tersedia untuk disewa, kendati rumah tersebut tidak dimiliki oleh individu atau keluarga yang menempatinya, berarti tidak masuk dalam perhitungan backlog. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) berpendapatan berbeda, bahwa semua rumah yang ditempati oleh suatu keluarga, sekalipun dalam status menyewa, tetap dianggap sebagai backlog.
Perbedaan dalam definisi tersebut secara langsung memengaruhi metode pengukuran sekaligus penanganan masalah backlog perumahan. Bagi Kementerian PUPR, fokus utama mereka adalah pada penyediaan unit-unit rumah layak huni. Sementara itu, BPS cenderung lebih memperhitungkan jumlah rumah yang ditinggali oleh keluarga.
Kedua perspektif tersebut tentunya memiliki implikasi yang krusial dalam merancang kebijakan terkait perumahan dan penanggulangan masalah backlog. Oleh sebab itu, penting sekali bagi para regulator termasuk Kementerian PUPR untuk memahami perbedaan ini sebagai salah satu upaya mengatasi masalah perumahan di Tanah Air.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya masalah backlog perumahan. Salah satunya adalah melonjaknya kebutuhan akan tempat tinggal yang layak. Secara langsung, lonjakan ini disebabkan oleh tingginya jumlah penduduk.
Seperti yang diketahui, hunian adalah kebutuhan pokok manusia. Jadi, saat populasi terus bertambah, otomatis kebutuhan akan tempat tinggal juga ikut mengalami peningkatan. Faktor selanjutnya yang menyebabkan tingginya persentase backlog adalah daya beli atau kemampuan beli masyarakat yang masih rendah.
Rendahnya daya beli masyarakat disebabkan oleh tingginya harga properti yang relatif naik setiap tahun, terutama properti residensial, seperti rumah tapak. Di sisi lain, rendahnya rata-rata penghasilan masyarakat juga berkaitan dengan rendahnya daya beli masyarakat. Sementara, kebutuhan akan tempat tinggal terus meningkat dan akhirnya berujung pada masalah backlog.
Sebagai regulator pertama terkait masalah perumahan di Indonesia, Kementerian PUPR memiliki peran yang sangat vital dalam upaya mengatasi masalah backlog. Dengan menyadari betapa peliknya masalah tersebut, Kementerian PUPR mengambil sejumlah langkah strategis untuk mereduksi persentase backlog, khususnya di tahun 2024.
Salah satu inisiatif utama yang diimplementasikan oleh Kementerian PUPR adalah Program Sejuta Rumah. Program ini merupakan upaya kolaborasi antara pemerintah dan swasta (perusahaan pengembang perumahan) untuk menyediakan rumah-rumah layak huni bagi masyarakat dengan harga yang terjangkau.
Diluncurkan pertama kali pada 2015, program ini telah berhasil menyediakaan jutaan unit rumah untuk masyarakat Tanah Air. Namun, tujuan utama dari program ini sendiri adalah untuk memberikan akses mudah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk memiliki hunian sendiri.
Kementerian PUPR juga aktif menjalin kerja sama dengan berbagai pihak terkait guna mengatasi masalah backlog di Indonesia. Adapun pihak yang dimaksud antara lain adalah pemerintah daerah, perusahaan pengembang properti, lembaga perbankan, dan sektor swasta lainnya.
Kolaborasi ini menjadi salah satu kunci utama bagi Kementerian PUPR. Sebab, kolaborasi yang sinergis dapat memungkinkan kementerian untuk menggandeng semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama mengatasi masalah backlog dengan menyediakan rumah yang layak dan terjangkau.
Untuk melancarkan program-program penanganan backlog, Kementerian PUPR tentunya membutuhkan dana yang tak bisa dibilang kecil. Pada tahun anggara 2024, Kementerian PUPR menggelontorkan dana sebanyak Rp13,72 triliun. Dana tersebut ditujukan untuk melangsungkan pembangunan 166.000 unit rumah bersubsidi melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Dana tersebut juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam memangkas persentase backlog perumahan di Tanah Air.
Kementerian PUPR tak pernah berhenti dalam berupaya untuk menyediakan hunian yang layak huni melalui program-program mereka. Hal ini termasuk penyediaan sistem regulasi yang selaras, pemanfaatan beragam inovasi teknologi, dan peningkatan kerja sama antar pemangku kepentingan. Dengan cara ini, Kementerian PUPR bisa memperkuat Program Sejuta Rumah dan mempercepat pemangkasan angka backlog perumahan.
Bukan hanya mengeluarkan program-program, Kemeneterian PUPR juga secara aktif mendorong inovasi dalam pembangunan properti residensial. Misalnya, dengan mempromosikan program pembangunan hunian dengan konsep berkelanjutan. Selain itu juga ada program Rumah Inti Tumbuh Tahan Gempa (RITTA) dengan melibatkan penggunaan dana dari Corporate Social Responsibility (CSR). Inovasi-inovasi ini ditujukan agar rumah-rumah yang dibangun tidak memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga tahan terhadap bencana dan bersifat ramah lingkungan.
Dalam upaya mengatasi backlog perumahan di Indonesia, Kementerian PUPR tentunya menyadari bahwa diperlukan kerja yang lebih keras lagi dan kolaborasi sinergis dari semua pihak terkait. Dengan adanya program-program seperti di atas serta upaya yang kolaboratif, Kementerian PUPR berkomitmen untuk terus berperan secara aktif dalam memenuhi kebutuhan perumahan layak bagi masyarakat Indonesia. Dengan begitu, angka backlog perumahan dapat berkurang hingga mencapai target nol pada era Indonesia Emas atau tahun 2045 mendatang.