Di era seperti sekarang ini, mungkin kamu sudah sering melihat balita yang lebih “pintar” menggunakan tablet dibanding bermain blok bongkar pasang. Percayalah, bukan kamu saja yang pernah melihat pemandangan seperti ini.
Harus diakui bahwa saat ini gadget seperti smartphone, tablet, hingga smart TV sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari banyak keluarga Indonesia. Selain itu, kemudahan akses dan daya tarik konten digital membuat gadget seolah menjadi “penyelamat” bagi orang yang sibuk atau enggan membersai anaknya.
Di balik segala kemudahan tersebut, muncul masalah besar, yakni efek buruk penggunaan gadget bagi anak-anak dan bahkan orang tua.
Saat orang tua zaman sekarang sibuk bekerja dari rumah atau sedang menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, memberikan gagdet pada anak seolah seperti solusi cepat. Anak tidak akan rewel menonton video atau bermain game. Sementara itu, orang tua memiliki waktu untuk menyelesaikan tugas.
Namun, bukan hanya orang tua yang sibuk. Orang tua yang malas membersamai anak atau malas mengajak bermain anak, biasanya akan memilih gadget sebagai jalan keluar agar anak terhibur dan tidak rewel. Jika kebiasaan seperti ini diteruskan, otomatis bisa menjadi ketergantungan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan bahwa sekitar 39,71% anak usia dini di Indonesia sudah menggunakan telepon seluler dan 35,57% lainnya sudah bisa mengakses internet. Tak heran jika gadget kini kerap disebut sebagai “pengasuh instan” yang praktis tetapi membawa banyak risiko besar jika tidak diawasi dengan bijak.
Kemudahan parenting zaman now ini memang sangat menggoda. Pasalnya, banyak aplikasi edukatif yang khusus dirancang untuk mendukung perkembangan anak, mulai dari belajar membaca, berhitung, hingga mengenal bahasa asing. Namun yang jadi masalah adalah, apakah semua konten yang dikonsumsi anak sudah sesuai dengan usia mereka?
Harus dipahami bersama bahwa penggunaan gadget pada anak bukan sesuatu yang sepenuhnya buruk. Namun, jika anak menggunakan gadget secara berlebihan dan bahkan tanpa pengawasan, otomatis bisa menimbulkan efek buruk pada perkembangan anak.
Studi Rahayu dkk. (2021) yang dikutip dalam artikel CLSD Psikologi UGM menemukan bahwa anak-anak yang terlalu sering terpapar layar cenderung mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasa. Anak biasanya menjadi sulit berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga kemampuan komunikasinya pun terganggu.
Kamu mungkin pernah berpikir kalau konten-konten di YouTube Kids itu aman. Namun kenyataannya, masih banyak hal-hal negatif yang disisipkan di konten-konten tersebut, seperti bahasa kasar, kekerasan halus, atau bahkan perilaku kurang sopan yang ditampilkan dalam bentuk kartun.
Belum lagi banyak anak-anak yang sudah bisa mengakses media sosial seperti TikTok dan mereka mengonsumsi konten-konten yang tidak sesuai dengan usia mereka karena minimnya pengawasan orang tua. Jika ini dibiarkan, maka anak bisa saja meniru perilaku tersebut tanpa memahami konteks sosial yang benar.
Penelitian juga menunjukkan bahwa paparan gadget secara berlebihan dapat mengganggu fungsi prefrontal cortex, yakni bagian otak yang bertanggung jawab atas mengendalikan emosi, pengambilan keputusan, dan moralitas.
Jadi, anak yang terlalu sering bermain gadget menjadi rentan mengalami ledakan emosi, sulit fokus, dan bahkan kurang mampu mengontrol diri. Parahnya, efek ini juga terjadi pada orang dewasa yang terlalu sering terekspos dengan konten-konten media sosial.
Setiap mendapatkan notifikasi atau berhasil menyelesaikan satu level game, maka akan timbul hormon dopamin, yakni hormon yang menimbulkan rasa senang. Lama-kelamaan, anak bisa menjadi kecanduan karena tubuh mereka terus-menerus mencari “rasa senang” tersebut. Jika hal ini tidak segera dikurangi atau dihentikan, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang mudah bosan dan bahkan cenderung kurang gigih dalam menghadapi tantangan di dunia nyata.
Sebagai orang tua, kamu tidak bisa hanya sekadar melarang atau membatasi anak dalam menggunakan gadget. Kamu juga harus bisa menjadi role model yang baik bagi anak sebab anak belajar dari meniru.
Jadi, jika kamu sendiri sibuk dengan ponsel sepanjang hari atau lebih memilih scrolling media sosial saat berkumpul dengan anak, jangan heran kalau anak pun bakal mengikuti. Untuk itu, tunjukkan bahwa kamu bisa menyeimbangkan waktu online maupun offline. Gunakan gadget untuk hal produktif dan ajak anak untuk melakukan aktivitas tanpa layar.
Memang mustahil jika anak sekarang sama sekali tidak menggunakan gadget. Sebagai orang tua, kamu bisa mengikuti rekomendasi WHO terkait durasi penggunaan gadget. Untuk anak usia 2-5 tahun, maksimal hanya 1 jam per hari dan sebaiknya selalu dalam pengawasan orang dewasa. Sementara itu, untuk anak usia 6 tahun ke atas, buat aturan bersama dan pastikan disiplin.
Selain itu, perhatikan pula konten-konten yang boleh dikonsumsi oleh anak. Pilihlah konten yang sesuai dengan usia anak dan bisa membantu tumbuh kembang mereka. Jika anak sudah paham tentang konten yang mereka tonton, ajak mereka berdiskusi tentang apa yang boleh mereka tonton dan apa isi dari tontonan mereka. Cara ini sekaligus bisa menjadi kesempatan untuk membangun komunikasi dan menanamkan nilai-nilai positif.
Nah, untuk mengurangi screen time, usahakan kamu meluangkan banyak waktu untuk mengajak anak bermain tanpa gadget sama sekali. Kamu juga bisa memanfaatkan momen-momen ini untuk menanamkan kebiasaan positif, seperti membaca buku bersama.
Namun, jika anak mulai menunjukkan tanda-tanda kecanduan gadget, jangan langsung memarahinya. Bisa jadi yang salah adalah kamu karena tidak mau membersamai anak, malas bermain dengan anak, atau mungkin tidak berusaha untuk meluangkan waktu bersama anak.
Memang, mengasuh anak bukan perkara mudah, terlebih di era digital seperti saat ini. Gadget bisa menjadi alat belajar yang luar biasa tetapi juga bisa menjadi jebakan yang dapat memengaruhi perkembangan anak. Sebagai orang, di sinilah peran pentingmu.
Usahakan untuk selalu hadir dan terlibat dalam proses belajar anak serta saat mereka menggunakan teknologi. Ingat, yang dibutuhkan anak bukan hanya layar yang bisa membuat mereka tidak rewel, tetapi yang paling penting adalah kehadiran orang tua yang peduli dan penuh kasih.