Beberapa hari yang lalu, sektor keuangan dunia dikejutkan dengan kabar bahwa The Fed menurunkan suku bunga untuk pertama kalinya di 2025. Langkah ini diambil karena masalah tenaga kerja di AS, seperti melemahnya pasar tenaga kerja, tingkat pengangguran di kelompok rentan meningkat, dan jam kerja mingguan yang terus berkurang.
The Fed memangkas sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,00-4,24% yang sekaligus menjadi sinyal bahwa kemungkinan akan ada penurunan lagi jika kondisi ekonomi global masih tidak stabil. Di saat bersamaan, bank sentral Indonesia dalam hal ini adalah Bank Indonesia (BI) juga mengambil langkah serupa. Lantas, apa dampaknya bagi perekonomian Indonesia?
Keputusan The Fed untuk melonggarkan suku bunga dipengaruhi oleh beberapa alasan. Kepala The Fed, yakni Jerome Powell, menekankan bahwa pasar tenaga kerja saat ini menjadi perhatian utama. Melihat lambatnya pertumbuhan lapangan kerja, maka besar kemungkinan angka pengangguran akan naik lebih cepat dari perkiraan.
Di samping itu, kelompok rentan dan anak muda usia produktif juga dianggap paling berisiko jika kondisi ekonomi dunia tidak segera membaik.
Sementara itu, dari sisi politik, pemangkasan suku bunga juga dipengaruhi oleh tekanan dari Presiden Donald Trump yang sudah lama mendesak agar The Fed menurunkan suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun tidak semua permintaan Trump dipenuhi, ada indikasi jelas bahwa kebijakan moneter AS saat ini mengarah pada pelonggaran.
Mengingat kebijakan AS selalu berdampak ke negara lain, jelas penurunan suku bunga The Fed menjadi angin segar, khususnya bagi negara berkembang. Penurunan suku bunga ini turut menurunkan imbal hasil obligasi pemerintah AS dan bahkan melemahkan indeks dolar sehingga biaya pendanaan global ikut menurun. Ini artinya, arus modal berpotensi mengalir kembali ke emerging markets, tak terkecuali Indonesia.
Di pasar keuangan dalam negeri, respons terhadap menurunnya suku bunga The Fed relatif positif. Seperti yang dijelaskan, penurunan ini berdampak juga pada imbal hasil obligasi AS sehingga membuka peluang bagi investor asing untuk kembali melirik aset Indonesia.
Berdasarkan data Bank Indonesia, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor 2 tahun sudah turun hampir dua poin sejak awal tahun 2025. Di samping itu, arus modal portofolio asing juga terlihat mulai masuk lagi pada kuartal III tahun ini. Hal ini menunjukkan adanya kepercayaan investor terhadap kondisi ekonomi Indonesia.
Lebih lanjut, nilai rupiah terhadap dolar masih relatif stabil, meskipun sempat tertekan hingga Rp16.726. Keterlibatan BI di pasar valas dan juga kewajiban konversi devisa hasil ekspor juga turut membantu menjaga fluktuasi nilai tukar agar tidak terlalu ekstrem. Dengan begitu, iklim investasi dalam negeri menjadi lebih kondusif.
Namun, kebijakan The Fed dalam menurunkan suku bunga bukan berarti bebas risiko. Jika The Fed kembali memangkas suku bunga, otomatis volatilitas pasar ikut meningkat, khususnya jika investor ingin mencari keuntungan cepat di negara berkembang. Oleh sebab itu, Indonesia tetap harus menjaga kebijakan fiskal dan moneter agar tidak kehilangan daya tarik di mata investor global.
Langkah The Fed memberi peluang bagi Bank Indonesia untuk lebih leluasa dalam menurunkan suku bunga acuan. Dalam tiga bulan terakhir, BI sudah menurunkan bunga acuan secara berturut-turut hingga terakhir berada di level 4,75%. Penurunan ini diharapkan dapat menjadi penggerak konsumsi rumah tangga dan investasi yang keduanya menjadi tonggak pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Josua Pardede selaku ekonom dari Bank Permata melalui Liputan6 menyampaikan bahwa arah kebijakan The Fed dan BI selaras menuju pelonggaran. Menurutnya, hal ini bisa mengurangi tekanan dari luas sekaligus membuka peluang bagi BI untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas.
Kendati demikian, BI tetap harus berhati-hati. Pasalnya, ruang pelonggaran ini hanya akan berlanjut jika tingkat inflasi tetap terkendali dan nilai rupiah tidak terlalu tertekan. Dalam hal ini, BI juga memiliki tanggung jawab besar agar kebijakan moneter tidak hanya ditujukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka pendek, tetapi juga mendorong pemulihan.
Sementara itu pada level riil, dampak dari penurunan suku bunga The Fed juga bisa dirasakan oleh masyarakat dan dunia usaha. Seperti yang dijelaskan, suku bunga acuan BI juga menurun karena kebijakan The Fed. Jika suku bunga menurun, otomatis bunga kredit perbankan juga menurun. Dengan begitu, pelaku usaha punya peluang untuk mengembangkan usaha. Di sisi lain, masyarakat juga lebih mudah dalam mendapatkan akses kredit konsumsi maupun KPR.
Selain itu, penurunan suku bunga The Fed juga membuka peluang bagi perusahaan Indonesia yang membutuhkan suntikan dana eksternal yang bunganya lebih murah. Hal ini otomatis bisa meningkatkan cash flow bisnis, khususnya yang membutuhkan modal besar seperti di bidang properti, manufaktur, dan infrastruktur.
Bagi pemerintah, pelonggaran ini juga berdampak positif terhadap ruang fiskal. Pasalnya, jika biaya utang lebih rendah, maka APBN akan lebih fleksibel dalam mendukung program pembangunan. Selain itu, kombinasi antara longgarnya kebijakan moneter dan belanja fiskal produktif diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hingga di atas 5%.
Namun, jika pemangkasan suku bunga The Fed dan BI tidak disertai dengan peningkatan produktivitas, maka bisa memicu terjadinya inflasi. Oleh sebab itu, pelonggaran suku bunga ini harus diarahkan untuk mendorong pertumbuhan sektor riil, bukan sekadar mendorong konsumsi untuk jangka pendek.
Jadi, keputusan The Fed dalam menurunkan suku bunga memang bisa membawa dampak luas, baik bagi pasar global maupun domestik di seluruh negara, tak terkecuali Indonesia. Namun efek positif dari kebijakan ini sepenuhnya bergantung pada sejauh mana negara bisa memanfaatkan peluang tanpa mengabaikan risiko yang ada.