Nama Timnas Indonesia akhir-akhir ini sedang naik daun. Setiap kali tim kebanggaan bangsa Indonesia ini bertanding, stadion selalu penuh, linimasa media sosial ramai, dan jutaan mata terpaut di layar televisi.
Namun, tahukah kamu bahwa Timnas lebih dari sekedar simbol sepak bola tanah air? Di balik euforia suporter, ada potensi besar di balik nama Timnas Indonesia yang dapat mendorong pergerakan ekonomi nasional. Pasalnya, saat ini, tim kesebelasan Indonesia tak hanya menjadi representasi olahraga tanah air, melainkan juga menjadi aset investasi strategis bagi negara ini.
Selama lima tahun terakhir, Timnas Indonesia mengalami perubahan besar. Bukan hanya dari segi performa di lapangan, tetapi juga dalam strategi yang digunakan dalam membangun tim. Pemerintah bahkan menggelontorkan dana mencapai Rp277 miliar dari APBN 2025 khusus untuk mendukung pengembangan sepak bola nasional.
Dari angka tersebut, sekitar 73% berasal dari pajak yang kamu bayarkan. Dana ini digunakan untuk persiapan Piala Dunia 2026, pelatihan pemain muda, hingga program kerja PSSI.
Timnas bukan lagi sekadar proyek olahraga, tetapi sekarang sudah menjadi proyek nasional. Kemenangan 1-0 melawan China dalam kualifikasi Piala Dunia yang disambut makan siang bersama Presiden Prabowo menjadi sinyal bahwa sepak bola kini juga menjadi alat diplomasi, kebudayaan, hingga penggerak perekonomian.
Timnas Indonesia dianggap sebagai penggerak perekonomian negara karena brand value mereka yang cukup kuat. Pasalnya, setiap kemenangan Timnas mampu menciptakan gelombang antusiasme nasional dan bahkan sorotan dari media luar. Otomatis ini bisa meningkatkan brand value sepak bola tanah air di mata dunia.
Jadi, saat Timnas mampu menunjukkan performa yang optimal baik di Piala AFF atau kualifikasi Piala Dunia, bukan hanya masyarakat Indonesia yang memperhatikan, tetapi juga para sponsor, investor, dan bahkan pelaku industri olahraga.
Dengan memiliki brand value yang kuat, maka bisa terbentuk peluang kerja sama internasional, investasi stadion dan pusat pelatihan, hingga kerja sama bisnis. Bahkan, menurut pengamat ekonomi Gunawan Benjamin melalui Tribunnews Medan, pertandingan Timnas melawan China pada 5 Juni yang lalu mampu meningkatkan penjualan merchandise, suvenir, hingga layanan akomodasi di sekitar lokasi pertandingan.
Bukan hanya itu saja, ketika Timnas berlaga, stadion Gelora Bung Karno menjadi magnet ekonomi bagi masyarakat sekitar. Pedagang kaki lima, penyedia jasa transportasi, hingga UMKM lokal ikut merasakan dampaknya. Ini menunjukkan bahwa sepak bola bukan hanya soal pertandingan di lapangan, tetapi juga menjadi penggerak roda ekonomi.
Untuk terus meningkatkan brand value Timnas, tentu butuh investasi yang tidak main-main. Bukan hanya investasi berupa uang, tetapi juga pemain. Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini, naturalisasi masih menjadi jalan instan untuk menggenjot daya saing Timnas di kancah internasional.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, nama-nama seperti Marc Klok, Stefano Lilipaly, hingga Ragnar Oratmangoen telah menjadi andalan Skuad Garuda. Mereka membawa pengalaman bermain dari liga luar negeri dan kualitas teknik yang dapat membantu mempercepat adaptasi tim di laga berat.
Namun kini proses naturalisasi lebih selektif. Pemerintah dan PSSI hanya mengutamakan pemain muda yang memiliki darah Indonesia dan aktif di klub-klub Eropa. Strategi ini terbukti lebih ampuh dibanding naturalisasi pada masa lalu ketika pemain dinaturalisasi di usia senja tanpa kontribusi yang optimal.
Dalam jangka pendek, naturalisasi bisa menjadi investasi bagi Timnas karena belum mampu mengisi kekosongan tersebut dengan pemain lokal. Tentu ini strategi yang penting agar Timnas tetap kompetitif sembari menunggu regenerasi dari sistem pembinaan pemain muda. Namun apakah ini cukup?
Untuk membangun fondasi kuat, Indonesia tak bisa bergantung selamanya pada naturalisasi. Inilah mengapa Indonesia membutuhkan strategi investasi jangka panjang, yakni dengan mengembangkan pemain lokal dan ini harus diprioritaskan.
Program pelatihan pemain usia muda saat ini sudah makin intensif, mulai dari Elite Pro Academy, kolaborasi dengan akademi bola luar negeri, hingga kompetisi nasional usia dini, seperti Liga Kompas U-14, Durava Liga Anak Indonesia by Inaspro, dan Bali 7s. Melalui program-program tersebut, maka makin kuat pula fondasi masa depan sepak bola Indonesia.
Di samping itu, pemain lokal yang berkembang di lingkungan domestik cenderung memiliki loyalitas tinggi dan pemahaman budaya yang baik. Dengan investasi yang tepat, mereka bisa menjadi ikon olahraga sekaligus influencer yang dapat mendorong kemajuan industri bola dalam negeri.
Melansir laman Skor.id, formula terbaik bukan soal memilih antara pemain lokal atau naturalisasi, tetapi bagaimana menggabungkan keduanya. Naturalisasi bisa memberikan contoh pengalaman sedangkan pemain lokal dapat memberikan semangat nasionalisme dan kontinuitas.
Kombinasi ini sebenarnya sudah terlihat dalam performa Timnas saat ini. Pemain naturalisasi seperti Ivar Jenner bisa menjadi semacam mentor bagi pemain muda seperti Arkhan Fikri atau Marselino Ferdinan. Kolaborasi ini bisa menciptakan kompetisi yang sehat dalam tim sekaligus mempercepat transfer ilmu dan budaya sepak bola modern.
Jika kolaborasi ini dijaga dan bahkan ditingkatkan, maka dalam beberapa tahun ke depan, Timnas tidak hanya akan kuat di lapangan, tetapi juga bisa menjadi salah satu penggerak utama produk ekonomi dan budaya Indonesia.
Saat ini, Timnas Indonesia bukan hanya sekumpulan pemain yang berusaha mencetak gol di gawang lawan. Mereka adalah simbol harapan, alat diplomasi, dan bahkan menjadi motor penggerak ekonomi negara. Pemerintah tentu telah menyadari potensi ini dengan investasi ratusan miliar rupiah.
Jika dikelola dengan tepat, maka sepak bola Indonesia dan bukan hanya Timnas bisa menjadi aset negara yang dapat menyumbang dalam proses pembangunan ekonomi kreatif, pariwisata, dan tentunya industri olahraga. Jadi, ketika kamu menonton laga Timnas, kamu tidak hanya menonton pertandingan, tetapi juga menyaksikan sebuah investasi masa depan bangsa Indonesia.