Di era serba cepat seperti sekarang ini, menjadi orang yang produktif sering kali dianggap sebagai standar kesuksesan. Mungkin kamu juga sering mendengar anggapan bahwa hidup itu harus produktif. Tidak ada yang salah memang, tetapi tahukah kamu bahwa produktif secara berlebihan justru bisa menjadi bumerang untuk kamu sendiri? Itulah yang disebut dengan toxic productivity.
Produktivitas yang toxic ini memang erat kaitannya dengan tren hustle culture yang sedang populer di kalangan generasi muda. Namun, kebiasaan ini bisa berdampak buruk pada kesehatan dan bahkan membuat produktivitas kamu menurun.
Toxic productivity adalah kondisi saat seseorang merasa harus terus produktif secara berlebihan, bahkan ketika tubuh dan pikirannya sudah memberikan sinyal untuk istirahat. Dalam kondisi ini, kamu merasa seolah harus selalu sibuk dan bahkan menganggap punya waktu luang itu adalah sebuah dosa.
Rupanya fenomena ini muncul karena budaya hustle, tekanan sosial, dan adanya dorongan untuk “tidak boleh tertinggal” dari khalayak. Rasa takut dianggap malas oleh rekan sebaya, dianggap tidak cukup baik, atau kalah saing juga menjadi pemicu utama.
Tak jarang, konten-konten yang bertebaran di media sosial memperparah kondisi ini. Ketika kamu melihat orang lain posting konten soal bagaimana ia sering kerja lembur hingga menginap di kantor atau mengerjakan side hustle setelah pulang kerja, secara tidak langsung kamu terdorong untuk melakukan hal serupa karena takut dicap pemalas dan sebagainya.
Menurut Dr. Kathyrn Esquer, psikolog dan pendiri The Teletherapist Network, seperti yang dikutip pada laman Halodoc, toxic productivity sering muncul karena adanya keinginan untuk dianggap “berharga” lewat kerja keras. Padahal, tanpa disadari, kondisi ini membuat kamu kehilangan diri sendiri dan bahkan memengaruhi hubungan sosial kamu dengan orang lain.
Produktivitas yang toxic sering kali memang tidak disadari oleh orang yang menjalaninya. Berikut ciri-cirinya:
Kamu sulit menikmati waktu yang seharusnya untuk bersantai karena di dalam pikiranmu sudah terpatri bahwa “seharusnya” kamu mengerjakan sesuatu. Bahkan saat melakukan aktivitas yang tidak membutuhkan tenaga seperti nonton atau rebahan, otakmu tetap sibuk memikirkan pekerjaan.
Meskipun pekerjaanmu sudah selesai dan target sudah tercapai, kamu masih merasa ada yang kurang. Di dalam pikiranmu seolah selalu ada keinginan untuk bekerja lebih keras lagi dan lebih lama. Bahkan perayaan untuk capaian-capaian kecil pun rasanya tidak perlu bagimu untuk dirayakan.
Ketika kamu merasa kurang produktif hanya karena tidak melakukan banyak hal dalam satu hari, kamu merasa tertinggal atau bahkan tidak berguna. Pikiran seperti ini membuat kamu sering cemas dan tidak nyaman.
Tanpa kamu sadari, kamu menilai dirimu sendiri berdasarkan seberapa banyak hal yang kamu kerjakan atau bisa kamu capai. Nah, ketika kamu merasa tidak banyak yang kamu kerjakan dan produktivitas menurun, kamu merasa seolah-olah gagal sebagai individu.
Kalau kamu mengalami satu atau beberapa ciri di atas dan terjadi secara terus-menerus, berarti sudah saatnya kamu berhenti sejenak. Ambil napas dan evaluasi kembali semua rutinitas kamu. Sebab, toxic productivity akan membuat kesehatan mental kamu terancam.
Dampak dari produktivitas yang toxic tidak hanya sebatas kelelahan secara fisik. Berikut beberapa dampak buruk toxic productivity:
Salah satu dampak dari produktivitas yang berlebihan adalah burnout atau lelah secara mental. Kondisi ini umumnya ditandai dengan kelelahan ekstrem, sinisme terhadap pekerjaan yang selama ini kamu nikmati, hingga menurunnya kemampuan profesional. Bahkan menurut WHO, burnout kini sudah masuk ke dalam kategori fenomena kelelahan dalam bekerja yang diakui secara medis. Burnout juga digambar sebagai sindrom stres kronis akibat pekerjaan.
Stres berkepanjangan akibat dorongan untuk selalu produktif tanpa henti bisa memicu kondisi mental, seperti kecemasan, gangguan tidur, hingga depresi. Kamu mungkin akan sulit untuk berkonsentrasi, mudah marah karena hal-hal sepele, atau merasa kehilangan makna hidup.
Dampak lain dari produktivitas yang toxic adalah kamu kesulitan untuk menikmati hal-hal sederhana dalam hidup, seperti makan bersama keluarga, bercanda dengan teman, atau melakukan hobi yang selama ini kamu sukai. Hidup jadi terasa monoton dan kehilangan warnanya.
Sebuah survei global Deloitte 2022 yang mencakup sebanyak 14.808 responden gen Z dan 8.412 milenial menunjukkan bahwa sekitar 46% dan 45% gen Z mengalami burnout karena tekanan kerja yang berlebihan. Ini menjadi bukti nyata bahwa produktivitas yang toxic adalah isu serius yang perlu dihadapi bersama.
Untuk bisa keluar dari jebakan toxic productivity, tentu kamu harus mulai memiliki kesadaran bahwa istirahat bukan berarti kamu malas, melainkan bagian penting dari kehidupan yang seimbang atau demi mewujudkan work-life balacne.
Langkah pertama adalah dengan mengenali batas kemampuan diri sendiri dan belajar mengatakan “cukup” ketika memang sudah waktunya untuk berhenti. Kamu juga bisa mulai menyusun jadwal istirahat dan waktu luang sebagai bagian dari prioritas hidup kamu saat ini yang sama pentingnya dengan agenda kerja.
Selain itu, kamu juga bisa menerapkan trik manajemen waktu seperti time blocking. Jadi, kamu harus mengalokasikan waktu khusus untuk bekerja, istirahat, bersosialisasi, hingga waktu untuk berkumpul bersama orang-orang terkasih.
Bukan hanya itu saja, kamu juga harus mulai membatasi paparan konten di media sosial yang hanya menampilkan standar kesuksesan tidak realistis. Cara ini akan membantu kamu mengurangi kebiasaan untuk membandingkan diri dengan orang lain dan bisa lebih fokus pada diri kamu sendiri.
Selanjutnya yang tak kalah penting adalah mulai mengubah pola pikir terkait produktivitas itu sendiri. Ingat, produktivitas bukan soal seberapa banyak hal yang bisa kamu kerjakan, melainkan tentang bagaimana kamu bisa tetap waras, sehat, dan punya ruang untuk menikmati setiap hal dalam hidup.
Semua orang berhak sukses, pun begitu dengan kamu. Namun, kamu juga berhak untuk istirahat. Di tengah gempuran tuntutan sosial untuk selalu tampil terbaik, punya pekerjaan terbaik, hingga terlihat selalu sibuk, kita semua menjadi mudah terjebak dalam pola toxic productivity. Kadang, berhenti sejenak adalah cara terbaik agar kamu bisa melaju lebih jauh.