Pandemi COVID-19 yang berlangsung selama dua tahun memberikan efek yang cukup panjang terhadap kondisi perekonomian dunia. Banyak negara mengalami inflasi tinggi yang diperparah oleh gangguan supply chain karena geopolitik di negara-negara pemasok energi. Kondisi ini masih berlangsung sampai sekarang dan memengaruhi implikasi sekaligus peluang investasi.
Meski sudah empat tahun sejak pandemi COVID-19 terjadi, nyatanya efek yang ditimbulkan terhadap perekonomian dunia masih terasa hingga sekarang. Banyak negara-negara dunia pertama yang mengalami inflasi berat karena mengalami gangguan rantai pasok serta konflik geopolitik di negara-negara pemasok energi, seperti Ukraina dan Rusia.
Pada Juni 2022, negara adidaya Amerika Serikat (AS) mengalami inflasi hingga sekitar 9,1%. Untuk mengendalikan inflasi, mau tidak mau pemerintah AS harus menaikkan suku bunga acuan. Kemudian pada akhir 2023, AS berhasil menurunkan tingkat inflasi menjadi 3,1%.
Sayangnya, situasi yang dialami AS justru membuat banyak negara, tak terkecuali Indonesia, harus mengikuti langkah AS dalam mengatasi inflasi. Alhasil, suku bunga di Indonesia dan negara lainnya ikut melambung dan ini membuat masyarakat harus mengurangi belanja mereka. Menariknya, angka inflasi Indonesia terendah ke-4 dari seluruh negara ASEAN dan ke-19 dari 24 negara di G20.
Namun kondisi ekonomi global yang tidak pasti dan konflik geopolitik tak hanya menyebabkan inflasi. Kondisi ini juga melemahkan nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap dollar AS. Di Indonesia misalnya, sejak akhir 2022 hingga tahun 2023, mata uang rupiah berada di kisaran angka Rp15.000-Rp15.800. Bila dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, nilai tukar mata uang rupiah cukup baik, yakni berada di angka Rp14.000.
Lebih lanjut, kebijakan moneter yang diterapkan oleh bank sentral di berbagai negara juga berdampak secara signifikan terhadap pasar modal global. Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral seperti Federal Reserve (The Fed) di Amerika Serikat menyebabkan terjadinya peningkatan valatilitas pasar. Secara langsung, kondisi ini memengaruhi dinamika investasi global secara signifikan.
Tak hanya itu, perubahan kebijakan dan sikap politik dari pemerintah masing-masing negara juga turut berkontribusi terhadap kondisi pasar modal secara global pada 2024. Faktor-faktor lain seperti ketidakpastian terkait kebijakan perdagangan internasional, sanksi ekonomi karena masalah geopolitik, dan perubahan regulasi lainnya berkontribusi terhadap ketidakstabilan kondisi pasar global.
Meskipun kondisi pasar global 2024 secara keseluruhan berada dalam kondisi yang tidak pasti, beberapa negara di Asia Pasifik justru menunjukkan performa yang cukup baik. Berikut negara-negara di Asia Pasifik dengan kondisi pasar modal yang baik pada paruh pertama tahun 2024 menurut data dari JP Morgan.
Negara dengan penduduk terbesar di dunia ini masuk ke dalam daftar negara dengan pasar modal terfavorit sepanjang tahun 2023. Para investor pun optimis terhadap prospek dalam jangka waktu yang panjang di negara tersebut.
Pertumbuhan ekonomi di India bahkan diprediksi akan melampaui beberapa negara besar di Asia pada 2024. Hal ini merujuk pada data dari indeks acuan Nifty 50 yang menunjukkan bahwa India mengalami kenaikan 20% pada 2023 dan ini termasuk tertinggi sepanjang sejarah.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga memprediksi bahwa India akan mengalami peningkatan PDB hingga 6,3% pada 2024. Prospek pertumbuhan di negara ini berdampak positif terhadap saham-sahamnya saat negara tetangga seperti Tiongkok harus kesulitan untuk memenuhi target kenaikan PDB pada 2023.
Pasar modal di India juga menguat karena pendapatan korporasi yang fantastis. Faktor lain seperti penurunan suku bunga, tahun politik, dan partisipasi dari investor dalam negeri yang lebih besar juga berkontribusi terhadap prospek positif pasar modal India di 2024.
Jepang masuk ke dalam daftar negara di Asia Pasifik dengan kinerja pasar modal yang bagus pada awal 2024. Nikkei 225 Jepang menjadi indeks saham terbaik di Asia pada tahun lalu. Banyak analis memproyeksikan bahwa pasar modal di Negeri Sakura akan menguat pada 2024.
Saham-saham bursa di Jepang terdorong oleh pemasukan korporasi yang cukup kuat. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh harapan terhadap Bank of Japan untuk mengakhiri kebijakan moneternya setelah beberapa dekade terus-menerus mempertahankan suku bunga yang nyaris nol.
Kompetisi di pasar modal Jepang diprediksi juga akan terus berlanjut hingga 2024 seiring dengan meningkatnya jumlah investasi asing. Di samping itu, sektor perbankan dan teknologi menjadi industri pilihan mengingat kedua sektor tersebut fokus pada pertumbuhan sekaligus nilai. Hanya saja, menurunnya aktivitas ekonomi dan menurunnya tingkat inflasi menjadi tantangan besar bagi Bank of Japan dalam prosesnya untuk mengubah kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap pasar modal Jepang.
Vietnam menjadi salah satu negara yang bisa memanfaatkan taktik “China plus one”. Singkatnya, taktik tersebut merujuk pada langkah negara untuk melakukan diversifikasi investasi agar tidak terlalu bergantung pada Tiongkok.
Negara di ASEAN diprediksi akan mengalami pertumbuhan PDB sekitar 6%-6,5% pada 2024. Hal ini didukung oleh kuatnya aktivitas impor dan ekspor serta industri manufaktur yang makin masif. Pasar Vietnam yang optimis pada 2023 juga menarik investasi asing hingga lebih dari 14% lebih banyak dari tahun 2022.
Lebih lanjut, rata-rata nilai perdagangan harian Vietnam meningkat hingga 1 miliar dolar AS dari 500 juta dolar AS. Pasalnya, penduduk Vietnam makin menyadari bahwa saat mereka mempunyai lebih banyak likuiditas, maka mereka enggan untuk menyimpan uangnya di bank. Sebab, suku bunga sudah bukan menjadi hal yang menarik lagi dan mereka mengalihkan aset mereka ke hal lain.
Tiongkok menjadi salah satu negara di Asia Pasifik dengan kinerja pasar modal yang cukup baik. Meskipun Negeri Bambu ini berhasil melalui pandemi, nyatanya tingkat kepercayaan konsumen terhadap Tiongkok masih belum sepenuhnya pulih. Alhasil, kebiasaan konsumsi masyarakat menjadi lebih rasional.
Di samping itu, pesimisme diprediksi masih akan terus mewarnai pasar Tiongkok. Namun pertumbuhan penjualan tampaknya akan membaik pada tahun depan. Perusahaan investasi seperti Jefferies menyarankan investor untuk lebih melirik sektor layanan kesehatan dan sub-sektor konsumsi seperti pakaian olahraga dan bir.
Sementara itu di Indonesia, tahun 2024 tampaknya akan menjadi tahun yang bagus untuk pertumbuhan pasar modal. Hal ini didorong oleh kemungkinan menurunnya suku bunga The Fed dan potensi kenaikan konsumsi setelah penyelenggaraan pemilu.
Namun kondisi global seperti tensi geopolitik antara Ukraina dan Rusia serta Israel dan Palestina dikhawatirkan akan memengaruhi para pelaku pasar. Hal ini menjadi perhatian khusus yang membuat kondisi pasar modal makin sulit diprediksi karena kekhawatiran akan adanya keberpihakan.
Jadi, kondisi pasar modal secara global pada 2024 menghadapi tantangan yang sangat kompleks. Penyebabnya bukan hanya karena faktor ekonomi itu sendiri, tetapi juga karena kondisi sosial dan politik di negara-negara pemasok energi. Untuk itu, investor harus menangkap peluang investasi yang ada dan mengelola risiko dengan baik sebelum membuat keputusan investasi di dalam maupun luar negeri.