Sudah bukan rahasia lagi bila generasi milenial dan generasi Z tua mengalami kesulitan untuk bisa membeli rumah dengan usaha sendiri. Bahkan fenomena ini sudah dibenarkan oleh Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan dalam pidatonya pada tahun 2022 silam. Beliau mengatakan bahwa daya beli generasi muda saat ini terbilang rendah dan tidak sebanding dengan harga rumah yang terus meroket. Sebab itu, muncul tren rumah kecil sebagai upaya generasi muda untuk bisa memiliki hunian sendiri.
Munculnya tren rumah kecil tak hanya disebabkan oleh rendahnya daya beli generasi produktif seperti milenial dan generasi Z. Tingginya harga rumah juga menjadi penyebab mengapa generasi muda sulit untuk memiliki rumah sendiri. Krisis ini menyebabkan terjadinya housing backlog, yakni fenomena yang menyebabkan kesenjangan antara jumlah kebutuhan hunian dan tingkat ketersediaan rumah.
Menurut data dari studi Jakarta Property Institute yang dipublikasikan oleh laman Media Indonesia, jumlah penduduk Indonesia yang belum memiliki rumah mencapai 15 juta jiwa. Sementara itu di Jakarta, ada angka backlog mencapai sekitar 1,2 juta rumah per 2020.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena backlog di Indonesia. Selain karena rendahnya daya beli, harga tanah yang cenderung tidak terkontrol juga menjadi penyebab utama meroketnya harga rumah. Alhasil, sulit bagi generasi produktif untuk bisa membeli atau membangun rumah dengan usaha sendiri.
Tingginya harga rumah dan tanah di kawasan urban, seperti di Jakarta, membuat banyak masyarakat untuk lebih memilih kawasan suburban atau pinggiran kota. Namun, tingkat permintaan rumah di area tersebut juga makin tinggi. Akibatnya, harga rumah di kawasan suburban juga ikut naik.
Masih berdasarkan data dari hasil riset yang sama, harga rumah di pusat kota dan daerah suburban di Jakarta terus meroket selama kurang lebih satu dekade, dari tahun 2011 hingga 2020. Kenaikannya mencapai kurang lebih 73,53% di pusat kota dan 125,61% di area suburban. Sebagai solusinya, masyarakat memilih untuk membangun atau membeli rumah dengan ukuran kecil.
Kondisi-kondisi yang disebutkan di atas menjadi faktor pendorong generasi muda, khususnya kelas menengah, untuk mencoba alternatif lain agar tetap bisa memiliki hunian sendiri. Salah satu alternatif tersebut adalah membeli atau membangun rumah berukuran kecil.
Jadi, alih-alih membangun rumah di atas tanah yang luas, generasi muda kelas menengan lebih memilih membangun rumah di atas lahan yang cenderung sempit. Namun menariknya, rumah mungil seperti ini biasanya memiliki 3 lantai. Umumnya, kaum muda menggunakan model rumah tumbuh, yakni proses pembangunan rumah yang dilakukan secara bertahap dengan menambah lantai 2 hingga 3 sesuai dengan kebutuhan di masa depan.
Ada juga rumah tiny house living high, yakni rumah kecil yang dibangun di atas tanah dengan luas kurang lebih 44 meter di sebuah gang padat penduduk di salah satu kawasan di Jakarta Selatan. Pemilik rumah, Fay dan Verdi, membagikan banyak informasi menarik terkait rumah mereka. Hal ini termasuk proses pembangunan, arsitektur, hingga kelebihan dan kekurangan tinggal di rumah kecil di kawasan padat penduduk.
Rumah milik pasangan muda tersebut memiliki 2 kamar tidur dengan 2 kamar mandi, dapur, ruang keluarga, taman belakang, dan bahkan rooftop. Jadi, rumah seperti tiny house living high bisa menjadi alternatif kaum muda kelas menengah untuk menyiasati tingginya harga tanah di kawasan suburban dan kebutuhan terhadap hunian pribadi.
Tren rumah kecil dengan desain vertikal memang menarik. Didukung dengan desain arsitektur yang ciamik, rumah seperti ini bakal diburu oleh generasi muda. Namun apakah rumah dengan ukuran mungil cocok untuk dijadikan tempat tinggal jangka panjang?
Pada umumnya, orang Indonesia menganggap bahwa keluarga terdiri dari pasangan suami istri dengan anak satu hingga tiga atau bahkan lebih. Namun melihat tren rumah kecil, seperti rumah subsidi, maksimal hanya memiliki dua tempat tidur dengan satu lantai saja. Lantas, bagaimana caranya hidup di rumah seperti itu? Di sisi lain, rumah adalah kebutuhan primer dan harga rumah dengan dua lantai sangat mahal untuk kelas menengah.
Sekalipun seseorang mau membeli atau membangun rumah dengan ukuran besar menggunakan program KPR, tentunya mereka juga harus mempertimbangkan kebutuhan lainnya. Pasalnya, cicilan KPR bisa memakan waktu 10 atau bahkan hingga 25 tahun. Sementara itu, kondisi finansial masyarakat kelas menengah khususnya, bukanlah sesuatu yang bisa dijamin stabilitasnya sekalipun sudah memiliki dana darurat.
Hal tersebut akhirnya membuat calon pasangan tak hanya harus memikirkan bagaimana caranya membayar angsuran rumah, tetapi juga harus mendiskusikan apakah akan memiliki anak atau tidak. Jika iya, berapa jumlah anak yang mau dimiliki nanti. Semuanya perlu dipertimbangkan karena keputusan untuk membeli atau membangun rumah adalah salah satu keputusan terberat dalam hidup.
Melihat fenomena tersebut, tak heran apabila tren rumah kecil lebih diminati oleh pasangan muda dengan rentang usia 25-35 tahun. Jadi, ada benarnya bila rumah kecil lebih cocok untuk keluarga kecil.
Masyarakat di zaman sekarang perlu berpikir realistis bahwa memiliki rumah besar dengan jumlah anak lebih dari dua atau bahkan satu cukup sulit untuk diwujudkan. Keinginan tersebut harus terbentur dengan kondisi ekonomi global dan nasional yang tak pasti, terlebih untuk masyarakat kelas menengah di Indonesia.
Setiap orang tentunya memiliki mimpi, termasuk mimpi memiliki rumah. Namun ada baiknya untuk berpikir realistis bahwa tak semua mimpi bisa diwujudkan. Jadi, bila memiliki dana yang cukup untuk membeli atau membangun rumah kecil, maka wujudkanlah. Untuk urusan jangka panjang, itu urusan yang bisa dipikirkan nanti. Lebih baik fokus dahulu dengan membangun atau membeli rumah untuk kebutuhan sekarang terlepas dari besar kecilnya ukuran rumah. Selama masih bisa memenuhi kebutuhan dasar dalam hidup, maka rumah kecil tetaplah rumah yang layak huni.