Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menjadi salah satu masalah paling serius di Indonesia. Banyak faktor sosial dan budaya yang kerap kali menjadi pemicu utama munculnya KDRT dan membuat korban, khususnya perempuan dan anak, harus menjalani hidup penuh dengan trauma.
Kasus-kasus KDRT yang banyak diunggah di media hanyalah sebagian kecil dari kenyataan yang ada di lapangan. Pasalnya, masih banyak sekali korban yang enggan melapor ke pihak berwajib. Hal ini secara otomatis menggarisbawahi betapa pentingnya upaya bersama dari berbagai pihak dalam mencegah dan menanggulangi masalah KDRT agar setiap individu dalam masyarakat bisa menjalani hidup dengan aman dan damai.
Kasus KDRT yang terjadi di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), tercatat ada lebih dari 15.000 kasus kekerasan di seluruh wilayah Indonesia hingga pertengahan periode 2024. Dari jumlah kasus sebanyak itu, mayoritas korban KDRT adalah perempuan.
Sementara itu, kasus-kasus tersebut sebagian besar terjadi dalam konteks rumah tangga. Kemudian data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga menunjukkan bahwa masalah KDRT di Tanah Air kian hari kian memprihatinkan. Pada tahun 2023, Komnas Perempuan mencatat ada sekitar 401.975 kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di seluruh daerah Indonesia dan didominasi oleh kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Namun ada kenyataan yang memprihatinkan terkait masalah KDRT. Apabila kasus KDRT terjadi pada figur publik atau viral di media sosial, seperti yang dialami oleh selebgram Cut Intan Nabila, maka kasus tersebut akan langsung mendapatkan banyak perhatian. Tindakan cepat tanggap pihak berwajib dalam menangani kasus tersebut memang patut untuk diapresiasi. Namun hal tersebut juga mengingatkan bahwa masih banyak sekali korban KDRT lainnya yang masih harus sabar menunggu keadilan.
Ada banyak faktor utama yang menyebabkan terjadinya masalah KDRT di Indonesia. Di antaranya:
Ketidakstabilan kondisi finansial pasangan suami istri kerap kali menjadi pemicu konflik utama. Pasangan yang umumnya belum siap secara mental, emosional, dan finansial untuk menjalani kehidupan pernikahan lebih rentan menjadikan masalah ekonomi sebagai penyebab salah satu pihak melakukan kekerasaan. Hal ini pada umumnya dilakukan sebagai pelampiasan stres atau ketidakmampuan dalam menghadapi problematika dalam kehidupan pernikahan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas masyarakatnya masih menganut budaya patriarki. Secara umum, patriarki merupakan budaya yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa, termasuk dalam rumah tangga. Kondisi ini menyebabkan sebagian laki-laki yang sudah menikah merasa memiliki hak untuk mengontrol pasangan, anak, maupun anggota keluarga lainnya secara berlebihan, termasuk menggunakan kekerasan.
Kecerdasan emosional yang rendah atau rendahnya pemahaman masyarakat terkait cara mengelola emosi turut menjadi salah satu penyebab kasus KDRT. Orang yang sudah menikah dan tidak mampu mengendalikan emosi dapat berujung pada perilaku kekerasan yang kerap kali dilakukan sebagai respons terhadap situasi yang memicu emosi negatif.
Orang yang hidup di lingkungan yang penuh dengan kekerasan atau mengalami trauma karena kekerasan yang dialami saat masih belum menikah sering kali memengaruhi perilaku mereka saat sudah menikah. Mereka mungkin menganggap kekerasan sebagai reaksi yang normal saat menghadapi masalah dan bahkan cenderung meniru perilaku tersebut dari anggota keluarganya sendiri.
Banyak korban KDRT di Indonesia yang enggan melapor ke pihak berwajib. Hal ini umumnya didasari oleh rasa takut akan stigma, takut terhadap pelaku, atau minimnya dukungan dari lingkungan sekitar. Alhasil, kekerasan yang dialami korban makin parah dan bahkan berujung pada hilangnya nyawa.
Untuk mengatasi dan mencegah kasus KDRT yang kian marak, ada banyak upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah, lembaga penegak hukum, lembaga perlindungan perempuan dan anak, serta masyarakat. Berikut beberapa upaya yang bisa dilakukan:
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menegaskan pentingnya pendekatan zero tolerance bagi semua pelaku KDRT. Dengan menerapkan regulasi dan hukuman yang tegas serta tidak pandang bulu, diharapkan hal ini dapat memberikan efek jera bagi para pelaku.
Penegakan hukum juga diharapkan bisa mencegah timbulnya kasus serupa di masa depan. Selain itu, pihak kepolisian yang menjadi garda terdepan juga bisa bertindak cepat dan responsif dalam menanggapi laporan-laporan kasus KDRT.
Banyak korban KDRT harus melanjutkan hidup penuh dengan trauma psikologis, khususnya perempuan dan anak. Mereka pada dasarnya membutuhkan penanganan khusus agar bisa hidup dengan rasa aman dan damai.
Pemerintah melalui lembaga-lembaga perlindungan perempuan dan anak telah menyediakan fasilitas pendampingan bagi para korban KDRT. Tujuannya tak lain adalah untuk membantu mereka mengatasi segala trauma yang dialami. Selain itu, dukungan psikologis ini juga diperlukan untuk membantu para korban agar bisa kembali percaya diri sehingga bisa melanjutkan hidup tanpa trauma.
Upaya pencegahan juga sangat penting untuk diterapkan guna meminimalkan jumlah kasus KDRT. Salah satu caranya adalah melalui edukasi. Edukasi tersebut bisa diberikan melalui Bimbingan Perkawinan (Bimwin) yang diwajibkan untuk diikuti semua calon pengganti per Juli 2024. Tujuan dari adanya program ini tidak hanya untuk mencegah KDRT tetapi juga sebagai upaya penurunan angka stunting dan peningkatan kesejahteraan keluarga.
Untuk memberikan bantuan kepada korban dalam melaporkan kasus KDRT, pemerintah Indonesia dan sejumlah lembaga terkait harus menyediakan layanan pengaduan khusus. Layanan ini ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi para korban untuk berani melapor tanpa rasa takut dan mendapatkan pendampingan dari tenaga hukum dan psikolog.
Arzeti Bilbina Setyawan yang menjabat sebagai anggota Komisi IX DPR 2019-2024 pun menyarankan agar korban berani melapor untuk bisa mendapatkan perlindungan hukum dan dukungan memadai dari pihak berwenang.
KDRT merupakan ancaman yang dapat merusak kehidupan korban, baik secara fisik maupun mental. Pemerintah Indonesia, lembaga hukum, dan komunitas terkait senantiasa berupaya untuk mengatasi sekaligus menekan jumlah kasus KDRT yang masing tinggi di negara ini. Namun perlu dipahami bahwa penyelesaian dan pencegahan kasus ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak berwenang.
Peran aktif dari seluruh elemen masyarakat diperlukan guna menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari tindak kekerasan. Selain itu, dengan aktif memberikan dukungan kepada korban, menegakkan hukum, dan terus meningkatkan edukasi, maka negara bisa mencegah naiknya angka KDRT dan bahkan setiap individu bisa merasakan ‘rumah’ yang benar-benar nyaman dan aman.