Tanggal 1 Muharram merupakan penanda tahun baru dalam kalender Hijriah. Selain itu, tanggal tersebut sekaligus menjadi momen penting bagi seluruh muslim dunia untuk melakukan refleksi spiritual.
Di Indonesia sendiri, suasana 1 Muharram terasa begitu khas. Kamu akan menemukan banyak sekali nilai-nilai keislaman yang menyatu dengan beragamnya budaya lokal Tanah Air dalam bentuk tradisi yang sarat makna. Inilah yang membuat 1 Muharram di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri, yakni menggabungkan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal yang diwariskan antargenerasi.
Muharram adalah satu dari empat bulan yang dianggap mulia dalam Islam, bersama dengan bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Dalam surat At-Taubah ayat 36, Allah Swt. menyebutkan bahwa di keempat bulan itulah, umat Islam dilarang untuk berperang. Hal ini sekaligus menandakan betapa pentingnya bagi muslim untuk saling menjaga perdamaian dan ketakwaan.
Melansir laman NU, penamaan “Muharram” sendiri berarti “yang diharamkan” atau “dilarang”. Sebelum masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, bulan Muharram dikenal sebagai Shafa Awal hingga akhirnya ditetapkan sebagai awal tahun Hijriah berdasarkan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah. Perjalanan ini sekaligus menjadi transformasi spiritual dan sosial yang hingga kini menjadi fondasi peradaban Islam.
Bukan hanya itu, pada tanggal 10 Muharram atau yang juga dikenal dengan hari Asyura, banyak sekali peristiwa yang terjadi dalam sejarah Islam. Salah satunya adalah keselamatan Nabi Musa dari Firaun dan gugurnya cucu Nabi Muhammad saw., yakni Husain bin Ali di Karbala.
Pada hari Asyura, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal saleh, berpuasa, dan merenungi makna hijrah sebagai perubahan dari kondisi buruk menuju kondisi yang lebih baik.
Tanggal 1 Muharram dirayakan dengan berbagai cara, pun begitu di Indonesia. Sebagai negara dengan keragaman budaya lokal, datangnya Islam di Indonesia justru tidak menghapus warisan nenek moyang Indonesia, justru menyatu. Inilah yang disebut dengan sinkretisme budaya atau meminjam istilah Clifford Geertz adalah “agama sebagai sistem simbol”.
Kamu bisa melihat bagaimana ajaran Islam berpadu harmonis dengan tradisi lokal di berbagai perayaan besar dalam agama Islam, termasuk di bulan Muharram. Tradisi-tradisi ini bukan bentuk penyimpangan, melainkan ekspresi spiritual yang dibingkai dalam budaya masyarakat lokal.
Misalnya saja di Jawa, bulan Muharram atau dikenal juga sebagai “bulan Sura” merupakan bulan yang dianggap sakral oleh masyarakat Jawa. Mereka meyakini bulan ini sebagai waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi diri, menghindari hal-hal buruk, dan menggelar berbagai upacara adat yang sarat akan simbolisme.
Tradisi-tradisi ini sekaligus berfungsi sebagai ritus peralihan yang membantu masyarakat dalam menjalani transformasi dengan makna yang lebih mendalam. Jadi, tak heran jika banyak tradisi lokal di Indonesia yang berlangsung di bulan Muharram ini sarat akan unsur reflektif dan spiritual.
Tanggal 1 Muharram dirayakan dalam berbagai bentuk tradisi di berbagai daerah di Tanah Air. Masing-masing memiliki ciri khas dan makna yang mendalam. Berikut beberapa di antaranya:
Di Surakarta, kamu bisa menyaksikan Grebeg Suro pada malam 1 Muharram. Agenda ini merupakan tradisi keraton yang menampilkan pusaka-pusaka kerajaan dan pertunjukan seni seperti tari dan wayang tradisional. Umumnya, pusaka-pusaka kerajaan akan dikirab keliling kota sebagai sebuah simbol keberkahan dan perlindungan.
Sementara itu, di Ponorogo, perayaan Grebeg Suro menampilkan Festival Reog Nasional. Pertunjukan reog tahunan ini lebih dari sekadar hiburan, tetapi juga sebagai simbol identitas budaya dan spiritualitas masyarakat Jawa Timur.
Masyarakat Pariaman merayakan 10 Muharram dengan Tabuik, yakni tradisi yang sebenarnya berasal dari pengaruh budaya Islam dari India. Tabuik merupakan menara yang dihias ornamen dan berbagai simbol spiritual yang kemudian diarak menuju laut.
Tradisi ini diselenggarakan untuk memperingati gugurnya Imam Husain bin Ali. Meskipun berasal dari sejarah yang kelam, Tabuik justru menjadi simbol persatuan masyarakat di Pariaman. Menara-menara Tabuik diangkat ramai-ramai dan dihanyutkan ke laut sebagai simbol melepaskan duka dan merelakan sejarah kelam.
Di Yogyakarta, 1 Suro dirayakan dengan ritual kirab malam hari dari keraton hingga ke makam para leluhur. Kirab ini diikuti oleh abdi dalem dan warga sekitar dengan berjalan kaki dengan penuh khidmat sambil membawa pusaka dan lantunan doa.
Bagi masyarakat Yogyakarta, kirab ini merupakan bentuk penghormatan pada sejarah, leluhur, dan keberkahan yang dibawa oleh pusaka keraton. Selain itu, tradisi ini juga sekaligus menandai awal tahun baru Jawa dan Hijriah yang menunjukkan bagaimana kalender Islam telah melebur dalam sistem budaya lokal.
Meski secara kalender, Muludan atau Maulid Nabi jatuh pada bulan Rabiul Awal, justru di Cirebon persiapannya dimulai sejak Muharram. Biasanya, agenda ini diwarnai dengan kegiatan pengajian, ziarah wali, hingga pentas seni Islam.
Tradisi ini sekaligus mencerminkan bagaimana umat Islam di Cirebon menjaga spiritualitas mereka sambil merayakan nilai-nilai keagamaan dalam kerangka budaya yang lekat dengan penyebaran Islam di tanah Jawa.
Jadi, 1 Muharram di Indonesia bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan menjadi jembatan antara nilai-nilai agama dan realitas budaya. Ketika kamu mengikuti salah satu tradisi di atas, berarti kamu sedang berada di tengah-tengah antara tradisi dan spiritualitas.
Perpaduan ini bukan untuk diperdebatkan, melainkan untuk dipahami sebagai bentuk khas keislaman masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat majemuk, harmoni antara budaya lokal dan Islam ini justru dapat memperkuat kohesi sosial, membangun ruang-ruang dialog, dan memperkaya pemahaman terkait keagamaan.
Jadi, sebagai generasi yang saat ini hidup di tengah era digital, justru kamu memiliki peran penting untuk menjaga sekaligus melestarikan tradisi-tradisi lokal ini. Bukan malah menolaknya, tetapi memahami bagaimana asal-usul tradisi tersebut dan apa relevansinya dengan kondisi saat ini. Sebab, dalam setiap tradisi masyarakat, ada sejarah, keyakinan, dan identitas yang membentuk siapa diri kita sebagai bangsa.