Setiap tahun, ribuan mahasiswa di Indonesia berhasil menyandang gelar sarjana. Mereka merayakan kelulusan dengan penuh harapan. Namun, realitas menunjukkan banyak dari mereka yang akhirnya harus menyandang gelar tambahan, yakni “sarjana pengangguran”.
Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan. Sebab, bukankah seharusnya gelar sarjana menjadi salah satu tiket menuju kehidupan yang lebih baik? Sayangnya, realitas memang selalu lebih mengerikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang dan didominasi oleh lulusan SMA dan perguruan tinggi.
Data ini sekaligus menunjukkan bahwa sekadar punya ijazah dan gelar saja bukan jaminan orang bisa langsung mendapatkan kerja. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa banyak sarjana di Indonesia sekarang justru menganggur?
Ternyata, masalah banyaknya sarjana yang menganggur tak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, negara-negara seperti Korea Selatan, Inggris, India, dan China pun mengalami hal serupa. Misalnya saja di Korea Selatan, negara ini mencatat ada lebih dari 1,2 juta anak muda usia 15-29 tahun yang menganggur. Mengejutkannya lagi, mayoritas dari mereka adalah lulusan perguruan tinggi.
Contoh lainnya adalah China yang melahirkan banyak individu cerdas. Di negara ini, ada fenomena sosial yang disebut dengan “full-time children”. Istilah ini menggambarkan situasi anak-anak muda yang lebih memilih tinggal bersama dan dibiayai oleh orang tua mereka karena sulitnya mencari pekerjaan.
Fenomena ini tentu dapat menunjukkan bahwa masalah pengangguran adalah masalah global, bukan sekadar persoalan domestik. Lalu, apa penyebab di balik fenomena sosial ini? Jelas, bukan hanya karena sistem pendidikan, tetapi lebih rumit dari itu. Terlebih lagi, kondisi seperti perkembangan teknologi, disrupsi pasar kerja, hingga dampak pandemi COVID-19 ikut memperparah situasi ini. Indonesia pun tak luput dari kondisi serupa.
Salah satu penyebab mengapa sarjana pengangguran makin marak adalah karena fakta bahwa gelar akademik sudah bukan jaminan utama. Bahkan banyak perusahaan saat ini lebih mengutamakan keterampilan praktis dibanding sekadar gelar formal. Hal ini dilaporkan oleh EasyHireIndonesia yang menyebutkan bahwa perusahaan global seperti Google, Apple, dan IBM lebih percaya pada portofolio dan bukti kompetensi nyata, bukan sekadar gelar.
Selain itu, laporan dari Harvard Business Review juga menunjukkan makin banyak perusahaan yang lebih memprioritaskan “skill-based hiring” atau proses perekrutan pegawai berdasarkan keterampilan. Ini sekaligus menandakan bahwa perusahaan lebih tertarik pada keterampilan yang dimiliki oleh kandidat daripada sekadar apa yang tertulis di ijazah.
Lantas, apa yang menggeser paradigma ini?
Namun, bukan berarti ijazah perguruan tinggi sudah tidak relevan. Gelar jelas masih diperlukan, khususnya untuk bidang yang membutuhkan pengetahuan mendalam, seperti hukum, kedokteran, dan akademik.
“Masa sarjana kerja di pabrik?”
“Masa sarjana jualan sih?”
“Capek-capek kuliah kok gajinya Cuma UMR.”
Kamu pasti sering mendengar pernyataan seperti itu dan ini menjadi gambaran nyata bahwa masyarakat Indonesia memiliki ekspektasi tinggi dari gelar di belakang nama. Mereka menganggap lulusan S1 harus kerja kantoran. Akibatnya, banyak lulusan sarjana yang terlalu gengsi jika harus bekerja dari nol.
Bahkan, data dari Dinar Ketenagakerjaan Sumenep melalui RRI menunjukkan bahwa banyak pencari kerja menolak pekerjaan karena gengsi atau merasa gajinya terlalu kecil. Padahal, pekerjaan tersebut bisa menjadi batu loncatan dalam mengawali karier. Jadi, jangan heran jika banyak pengangguran di negara ini.
Perlu diingat pula, pengalaman kerja itu berharga, ibarat investasi jangka panjang. Kamu bisa mulai dari pekerjaan yang paling kecil dan kemudian mencari peluang yang lebih baik seiring dengan bertambahnya pengalaman.
Masalah lain yang memicu munculnya banyak sarjana pengangguran adalah mismatch antara studi selama kuliah dan kebutuhan industri. Tak sedikit lulusan perguruan tinggi yang ternyata tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Sebagai contoh, lulusan manajemen mungkin hanya memiliki pemahaman bisnis secara teori. Namun dia tidak memiliki kemampuan pemasaran digital atau data analysis yang banyak dibutuhkan oleh industri saat ini.
Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi dari UGM menyebutkan bahwa ketidaksesuaian ini menjadi salah satu bukti kegagalan sistem pendidikan nasional dalam menghubungkan dunia akademik dan dunia kerja. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan terapan dan pelatihan vokasi sebagai salah satu solusi jangka panjang.
Jumlah sarjana pengangguran tentu akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah lulusan perguruan tinggi dan kesenjangan jumlah lapangan kerja dalam negeri. Tentunya, ini membutuhkan solusi yang konkret yang tidak hanya mengandalkan gelar di belakang nama.
Lulusan perguruan tinggi harus memiliki mindset untuk senantiasa mau belajar. Pasalnya, apa yang kamu pelajari selama perkuliahan tidak selalu relevan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini. Jadi, kamu wajib untuk terus meningkatkan keterampilan, misalnya mengikuti pelatihan online bersertifikat. Selain mendapatkan skill baru, kamu mendapatkan sertifikat yang bisa menambah peluang diterima kerja.
Selain itu, kamu juga bisa mulai bekerja atau magang sejak masih kuliah. Nah, kalau kamu memilih karier di bidang kreatif atau teknologi digital, kamu bisa mulai membangun portofolio sejak dini. Dengan begitu, kamu punya bukti nyata kompetensimu dan bukan sekadar IPK di atas kertas.
Penting juga untuk diingat bahwa setiap pekerjaan entry-level adalah batu loncatan menuju jenjang karier yang lebih baik. Intinya, jangan pernah gengsi mulai dari entry-level. Kalau kamu mementingkan gengsi saat mencari kerja, maka kamu hanya akan menambah angka pengangguran di negeri ini.
Terakhir, jika kamu merasa sudah tidak ada jalan keluar, cobalah untuk merantau ke luar negeri. Lagi pula, sudah banyak warga negara Indonesia yang saat ini bekerja di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Jerman.
Kalau begitu, berarti kuliahnya sia-sia dong? Tentu saja tidak. Sebab, tujuan kuliah yang sebenarnya adalah untuk membangun pola pikir dan menciptakan individu yang senantiasa mau belajar.
Memiliki gelar sarjana memang suatu kebanggaan, tetapi untuk saat ini sudah bukan jadi jaminan kesuksesan. Ingat, dunia itu dinamis dan akan selalu ada yang namanya perubahan, pun begitu dalam dunia kerja. Untuk itu, sebagai individu yang pernah mengenyam bangku perkuliahan, wajib hukumnya untuk selalu bisa beradaptasi, senantiasa mau belajar keterampilan baru, dan berpikiran terbuka terhadap berbagai peluang.