China merupakan negara industri yang produk-produknya banyak dipasarkan di Indonesia. Namun, bisakah kamu membayangkan jika suatu hari nanti banyak pabrik besar asal China yang justru mengalihkan operasionalnya di kawasan industri Indonesia? Nyatanya, hal tersebut sedang menjadi kenyataan.
Sejak beberapa tahun terakhir, dunia industri menyaksikan adanya fenomena relokasi besar-besaran dari China ke negara-negara Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia. Namun, apa sebenarnya yang mendorong terjadinya fenomena ini? Apakah Indonesia sudah siap?
Relokasi pabrik dari negara asal ke negara asing bukanlah suatu hal yang bisa dilakukan secara sembarangan. Ada beberapa faktor besar yang turut mendorong pemerintah dan para pelaku usaha di China untuk memindahkan operasional bisnis mereka ke luar negeri.
Salah satu faktor yang mendorong pabrik-pabrik di China melakukan eksodus adalah adanya kebijakan proteksionisme perdagangan yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Sejak masa pemerintahan Donald Trump, perang dagang yang terjadi antara AS dan China terus memanas.
Hal tersebut ditandai dengan diberlakukannya tarif tinggi hingga dicekalnya produk-produk buatan China yang ingin masuk ke pasar AS. Sebagai balasannya, China juga menerapkan tarif serupa terhadap semua produk asal AS yang ingin masuk ke China. Sejak saat itulah, China dan AS terus memasang bea masuk yang fantastis terhadap barang-barang dari kedua negara tersebut.
Kondisi ini otomatis membuat biaya ekspor produk dari China ke AS menjadi mahal. Alhasil, perusahaan-perusahaan di China harus mengambil langkah baru. Salah satunya adalah memindahkan lokasi produksi ke negara-negara yang tidak terkena tarif tinggi, seperti Indonesia, Vietnam, dan Thailand.
Di sisi lain, biaya tenaga kerja yang makin tinggi di China mendorong pelaku industri untuk mencari lokasi produksi yang lebih murah. Negara-negara ASEAN dengan upah tenaga kerja lebih rendah dari China menjadi pilihan logis untuk melakukan efisiensi produksi. Terlebih lagi, saat ini, kawasan Asia Tenggara menawarkan berbagai insentif menarik bagi para investor asing, termasuk dari China.
Pada tahun 2018, Presiden Kamar Dagang China di Indonesia, Gong Bencai, menyatakan bahwa ada sekitar 1.000 perusahaan asal China yang beroperasi di Indonesia. Meskipun data ini sudah lebih dari 5 tahun yang lalu, tren investasi dari China ke Indonesia menunjukkan adanya peningkatan sehingga jumlah tersebut kemungkinan telah bertambah.
Menurut Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, melalui CNN Indonesia, Indonesia memiliki peluang besar dalam menyambut relokasi pabrik dari China. Salah satu alasannya adalah karena kondisi Vietnam yang sebelumnya menjadi tujuan favorit China kini mulai terancam dengan adanya kebijakan resiprokal dari Amerika Serikat mengingat neraca dagangnya yang besar dengan AS. Ini artinya, relokasi ke Vietnam pun bisa dikenakan tarif.
Kondisi tersebut membuat Indonesia menjadi pilihan yang menarik. Terlebih lagi, pemerintah juga sudah menyusun strategi dengan mengembangkan sejumlah kawasan industri yang siap pakai, memberikan insentif fiskal untuk menarik para investor asing, dan menuntaskan masalah ‘preman’ yang membuat investor asing gagal membangun pabrik di Indonesia.
Salah satu lokasi yang akhir-akhir ini menjadi sorotan untuk menerima relokasi pabrik dari China adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal di Jawa Tengah. KEK terus mengalami perkembangan pesat dan kabarnya sudah ada 42 perusahaan dengan total investasi mencapai Rp86 triliun per akhir 2024.
Hingga saat ini, 90% dari 1.000 hektare lahan di fase pertama sudah terisi. Sisa lahan kabarnya akan dilengkapi dengan fasilitas penunjang seperti kawasan komersial dan perumahan. Sementara itu, pengembangan tahap kedua KEK sudah direncanakan dengan tambahan lahan mencapai 1.200 hektare.
Dengan kesiapan infrastruktur dan dukungan aktif dari pemerintah daerah maupun pusat, kawasan seperti KEK Kendal menjadi simbol kesiapan pemerintah Indonesia dalam menyambut relokasi besar-besaran perusahaan-perusahaan asal negeri Tirai Bambu.
Selain KEK, Kawasan Industri Morowali (IMIP) juga menjadi bukti bahwa Indonesia siap menjadi tempat relokasi perusahaan asal China. Kawasan ini merupakan hasil kolaborasi antara Bintang Delapan Group dari Indonesia dan Tsingshan Steel Group dari China. Saat ini, IMIP menampung sebanyak 54 perusahaan yang sebagian besar dari China dan fokus pada pengolahan nikel dan baja. Di samping itu, kawasan ini mempekerjakan sebanyak 80.000 tenaga kerja lokal serta 11.000 tenaga kerja asal China.
Relokasi pabrik dari luar negeri tentu membawa banyak peluang emas bagi Indonesia. Pertama, masyarakat bisa berharap terbukanya lapangan kerja baru di sektor industri manufaktur. Tenaga kerja dalam negeri juga akan mendapatkan kesempatan untuk dilatih dan dipekerjakan dalam pabrik-pabrik. Dengan kata lain, jumlah pengangguran bisa ditekan dan daya beli masyarakat ikut meningkat.
Kedua, relokasi pabrik asing juga turut mendorong pertumbuhan industri pendukung, seperti penyedia bahan baku lokal, logistik, hingga sektor properti dan transportasi. Hal ini juga menjadi peluang emas bagi para pelaku UMKM yang ingin ikut masuk ke supply chain industri besar.
Namun, di sisi lain juga harus disadari bahwa relokasi tidak selalu berjalan lancar. Ada beberapa tantangan yang harus diatasi, di antaranya:
Guna menghadapi kendala tersebut, pemerintah Indonesia berupaya mempercepat proses birokrasi, penyederhanaan izin usaha melalui platform OSS (Online Single Submission), dan penanganan kasus-kasus ormas yang diduga menjadi dalang batalnya investasi asing di Indonesia.
Jadi, relokasi pabrik dari China ke Indonesia bukan sekadar isapan jempol belaka. Fenomena ini benar-benar terjadi dan Indonesia berada dalam posisi yang cukup strategis untuk memanfaatkannya. Dengan persiapan yang matang, baik dari segi regulasi, infrastruktur, hingga tenaga kerja, maka bisa dipastikan bakal terjadi perubahan besar dalam dunia industri Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.